Kamu tiba-tiba menanyakan sesuatu, yang tak mungkin singgah di kepala bila kau tak tahu maknanya. Bila itu benar-benar karena kau mengetahuinya betapa kau perempuan luar biasa. Kau berbeda dari perempuan kebanyakan, yang sering kutemui dalam pertemanan.

Aku lalu jadi menikmati setiap percakapan, bahkan candaan yang kau lontarkan. Kau begitu memukau. Kau pun pandai menyembunyikan perasaan. Aku tahu kau suka padaku. Bisa kutebak dari caramu menjawab sapaan saat kita bertemu, kau tampak kaku.

Namun saat kita terlibat adu argumen kau pun mulai menikmati kebiasaanmu, suka bercerita panjang lebar. Hingga kau pun sepertiya lupa kalau aku yang di depanmu itu sedang menatapmu, menikmati kepandaianmu merangkai kata yang keluar dari pikiran penuh pengetahuan, bukan sekadar mengirim pesan.

Namun malam itu kau tampak tak acuh. Saat aku bertamu ke kamarmu kau membuka pintu dengan ragu. Kau pun tampak tak berniat keluar kamar. Kau hanya melongokkan kepala dan setengah badan.

Aku berusaha memperpanjang percakapan. Aku katakan ada hal penting yang harus dibicarakan. Dengan elegan kau menolak berlama-lama berdiri di depan pintu dengan alasan masalah yang kuungkapkan bukan masalah yang tak bisa kupecahkan

Ah, andai kau belum ada yang punya, bahagia rasanya bisa duduk bersamamu seperti sore itu. Kita sampai lupa banyak rekan menatap tak suka. Namun untungnya kau segera menyadari ada yang salah dengan rasa yang kita ciptakan sendiri.

Dan saat kita berpisah kita membalikkan badan menuju tujuan masing-masing. Lalu kita pun lupa bahwa kita pernah memiliki satu rasa.

(Memori Desember kembali)