Nining Suryaningsih

Guru Bahasa Inggris SMP di Bandung Barat ini tak pernah merasa bisa menulis, sampai akhirnya MediaGuru mendongkrak rasa percaya dirinya untuk menghasilkan karya...

Selengkapnya
Navigasi Web
Rani dan Puisi (2)

Rani dan Puisi (2)

Part 2

Lagi-lagi Rani menjadikan Haryo tak bisa berpaling ke lain hati. Saat Rani dinyatakan sebagai satu-satunya siswi yang mendapat nilai istimewa dalam pelajaran Akuntansi, Haryo semakin yakin permaisuri yang ditaksirnya itu memang pintar, bukan sekadar menarik. Bu Ine mengatakan di depan kelas kalau ulangan Akuntansi tentang Buku Besar itu memang sering sulit dikerjakan oleh siswa. Di kelas ternyata hanya ada 5 siswa dengan nilai di atas 8, dan Rani salah satunya. Walau Haryo tak masuk nominasi, dia ikut berbangga hati saat Rani maju ke depan kelas untuk menerima hasil ulangan dari Bu Ine. Semakin hari kelebihan Rani semakin tampak nyata di mata Haryo. Saat ulangan Agama Rani sering menjadi tempat bertanya para rekan. Biasalah kalau ulangan tentang terjemahan ayat biasanya banyak yang menyerah. Rani ternyata cepat sekali menyelesaikan soal-soal tentang terjemahan ayat. Konon Rani pernah belajar di pesantren saat libur panjang pasca lulus SMP, sebelum melanjutkan ke jenjang SMA.

***

Haryo bergegas mengambil beberapa buku di bawah mejanya. Dia tak sempat mengecek semua buku yang sudah diambilnya dari bawah meja. Hari itu hari Jumat. Laki-laki kelas 12 IPS 1 kebagian wajib shalat Jumat di sekolah. Bayu yang sudah berdiri di depan pintu kelas memanggil Haryo untuk bergegas ke masjid bersamanya karena mereka sudah terlambat. Apalagi beberapa cewek di kelas yang menjadi petugas piket hari itu sambil bercanda mengusir mereka agar segera keluar kelas.

“Hei, cowok, cepet dong keluar. Napa sih gak dari tadi beresin bukunya?” ucap Marni sambil menggerutu.

“OK, Mar. Aku keluar. Sapu-sapunya yang bersih ya, Sayang ...” teriak Haryo sambil menggoda Marni.

Marni mendelik, bahkan dia melemparkan kertas yang dipungutnya dari meja Mas’ud. Untunglah Haryo berkelit sambil lari. Tak lupa dia melirik ke arah meja tempat Rani berada. Rasaya tak afdol kalau pulang tanpa melihat bidadarinya. Namun Haryo tak menyadari kalau ada hati yang berdesir tatkala Haryo mengucap kata ‘Sayang’ pada Marni.

“Aih, Sayang Sayang. Apaan tuh? Awas lho ada yang cemburu!” teriak Dira yang sedang membersihkan papan tulis tanpa membalikkan badannyamenghadap ke arah Haryo yang tinggal selangkah menuju pintu.

“Dira ..., shut up!!!” teriak Rani sambil berlari ke arah Dira yang berlari menjauhi Rani saat tahu Rani memburunya ke depan.

Haryo sempat tertegun. Namun teriakan Bayu dari luar kelas membuat Haryo berlari keluar seperti diburu setan.

“Ran, kamu bagian barisan cowok, ya. Aku barisan sini,” Marni menyeru Rani.

“Siap, Bos!” jawab Rani sigap sambil melempar senyum ke arah Marni hingga dia harus berhenti mengejar Dira .

Setelah menyapu sekian meter, Rani melirik ke meja Haryo. Ada sesuatu yang menyembul dari bawah meja. Ternyata sebuah buku, cukup tebal. Pas Rani memungutnya, bagian belakang buku itu terbuka. Ada beberapa kalimat yang menarik hati Rani, seperti sebuah puisi.

Tanpa sepengetahuan Marni dan yang lain Rani mengambil buku itu lalu segera dia kempit di ketiaknya. Tak ada yang curiga buku apa yang dikempit Rani di ketiaknya sampai Rani memasukkan buku itu ke dalam tasnya dan melanjutkan beres-beres kelas.

Setelah pamitan pada teman-temannya yang sama-sama piket hari itu Rani segera pergi ke taman. Dia mencoba beristirahat sebentar, sebelum nanti menuju ruang OSIS. Maya yang tadi mendatangi kelasnya meminta semua panitia berkumpul pasca shalat Jumat untuk membahas persiapan terakhir kegiatan class meeting dua minggu lagi.

Tak biasanya dia duduk di taman. Namun rasa penasaran dengan tulisan seperti puisi yang ada di halaman belakang buku yang ditemukan di bawah meja Haryo mendorongnya untuk berjalan melewati koridor di depan kelas 11 IPA 5. Sambil berjalan ke arah taman Rani membuka buku tebal itu.

Benar, itu adalah puisi. Susunan kalimatnya indah, seperti sebuah curahan hati yang mengagumi seseroang. Rani yang suka membaca mengagumi susunan kata yang ditulis Haryo. Tapi di akhir puisi Rani tercekat mendapati sebuah nama di sana. Ya, nama Rani tertulis jelas di sana. Rani hampir saja menjatuhkan buku itu karena kaget. Segera dia duduk di bangku taman yang tak jauh dari koridor kelas 11 IPA 5. Belum sempat dia membaca halaman berikutnya untuk memastikan nama Rani mana yang dimaksud di buku Haryo, tiba-tiba Haryo sudah berdiri di hadapannya.

“Eh, kamu. Kok ada di sini? Bukannya ke masjid?” tanya Rani kikuk.

“Tolong kembalikan bukuku,” terdengar suara Haryo lirih.

Rani tetap memegang buku itu tanpa ada gerakan memberikannya kepada Haryo.

“Jawab dulu pertanyaanku, siapa yang kau puja-puja di puisi yang ada di belakang bukumu itu?”

“Eu ..., eh ..., ah sudahlah, Ran. Aku buru-buru. Maaf,” sambil berkata demikian Haryo merebut buku di tangan Rani.

Baru beberapa langkah Haryo meninggalkan Rani, Haryo menghentikan langkahnya.

“Jadi kamu sekarang sudah tau,” tanpa membalikkan badan Haryo mengatakannya.

“Tau apa?” tanya Rani mencoba menebak ke mana arah pertanyaan Haryo.

“Ah, aku jadi malu. Maaf ya kalo aku memujamu. Aku ..,” Lalu dia menghela napas panjang sambil membalikkan badan.

“Kenapa kamu hanya menuliskannya di situ, Har?” tanya Rani tiba-tiba.

“Maaf, Ran. Aku ..., eh ..., aku ragu.”

“Ragu kenapa Har?”

Kamu bukan tipe cewek yang GR kan, Ran? Tapi kamu percaya kan dengan tulisanku di buku itu?” tanya Haryo sambil menundukkan pandangan seperti seorang anak yang berbuat salah dan sedang meminta maaf pada orang tuanya.

“Mmh ..., aku ..., aku juga ...,” Rani berkata terbata-bata. Namun belum sempat dia meneruskan kalimatnya terdengar suara adzan dari masjid sekolah. Haryo bergegas pergi sambil berlari dan berseru, “Tunggu aku di situ ya, Ran, sampai shalat Jumat udahan.”

“Belum sempat Rani membuka mulutnya lagi Haryo melesat pergi.

Rani tertegun sesaat. Lalu dia baru menyadari ada yang salah dengan ucapannya tadi.

“Ah, andai tadi dia tak keceplosan, mungkin Haryo tak akan menyuruhnya menunggu. Eh, tapi gimana kalo dia menanyakannya yang hampir kuucapkan tadi? Aduh, kok aku jadi gini sih?” rutuk Rani.

****

(bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Dahsyat

10 Jan
Balas

aduh, ngumpet ah

10 Jan

nostalgia putih abu-abu...btw Haryo rajin juga ya,,dulu perasaan jarang cowok punya diary ...mantap Bun cerpennya..ditunggu kelanjutannya...sehat n sukses..barakallah

10 Jan
Balas

dah ada 'sentuhan'kekinian, hahaha

10 Jan

ini settingnya bukan dulu lho, tp skrg. Kalo dulu SMA g ada istilah kls 10, adanya kls 1, penjurusan br ada d kls 2, heuheuheu (jangan2 yg komen baper, berasa ada d masa SMAnya, hahaha)

10 Jan



search

New Post