MENEPIS "COMMON WOMAN BRANDED"
“Haruskah aku mengganti aturan sekolah yang kemarin telah kulontarkan?” beberapa kali pertanyaan itu mengusik nuraniku. Bukan tanpa alasan hal itu terjadi. Baru tahun ini sekolah yang aku pimpin diberlakukan lima hari kerja dengan hitungan 40 jam seminggu bagi guru. Siang ini, dua guru perempuan meminta ijin untuk pulang ketika jam mengajarnya telah selesai. Mereka mengeluhkan pemberlakuan aturan bahwa guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus tetap berada di sekolah selama delapan jam sehari untuk mengerjakan tugas-tugasnya sebagai pengajar; membuat administrasi guru, membimbing siswa, dan sebagainya. Mereka ingin mendapatkan dispensasi karena sebagai isteri dan ibu, banyak pekerjaan yang wajib dikerjakan di rumah. Untuk itu, mereka beranggapan bahwa lebih baik mereka pulang dan mengerjakan administrasi guru di rumah saja.
Aku juga seorang isteri dan ibu. Aku memaklumi keluhan mereka. Tak dapat dipungkiri, memang tugas perempuan di rumah sangat banyak. Apakah aku zalim jika tetap menahan mereka di sekolah? Bukankah tugas utama perempuan adalah sebagai isteri dan ibu di keluarganya? Kembali pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan yang harus segera mendapatkan jawaban.
Sebagai kepala sekolah, kuajak guru tersebut berbicara dari hati ke hati tentang aturan pemerintah yang wajib dipatuhi. Sambil tersenyum ramah kuceritakan bahwa aku juga seorang perempuan, mengalami apa yang mereka rasakan. Setiap kali meninggalkan rumah untuk bekerja, kutinggalkan tugas-tugas muliaku di rumah. Kadang terbersit rasa bersalah. Oleh karena itu, aku berprinsip bahwa sebagai perempuan harus dapat membayar rasa bersalah dengan kerja yang berkualitas. Jangan sampai kita hanya bekerja secara standar. Harus melebihi standar. Delapan jam meninggalkan rumah harus terbayar dengan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Kita harus menjadi luar biasa, menepis ”common woman branded”, bahwa perempuan itu lemah, kinerja perempuan dimaklum karena kelemahannya dan beberapa cap lain tentang lemahnya perempuan. Sehingga pengorbanan sebagai perempuan yang bekerja, tidak menjadi sia-sia. Lega sekali, guru tersebut paham dan kembali bekerja dengan penuh semangat.
Catatan:
Penulis adalah peserta pelatihan Sagusabu Solo.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Beautiful story
pengabdian yang terbaik untuk keluarga, bangsa, dan negara. Salut buat bu Kasek yang hebat ini
Mantap bu Nita... seperti biasanya begitu renyah untuk di baca
Setuju sekali bu........ Sangat inspiratif.........
Tulisan yang luar biasa, Bu. Top pokoknya!
*sebagai perempuan harus dapat membayar rasa bersalah dengan kerja yang berkualitas* amazing bu Nita... i agree with u...
hebat bu sudah sangat ngepop
jangan biarkan pengorbanan hanya sekedarnya, tapi selalu berikan yang terbaik. Salut Bu.
Heemm, asyik membacanya. Siip
Mantaff ibu