Noer Hamid S Ag Pd SH MM

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Polemik pendidikan II

Polemik pendidikan II

(1) Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai cara-cara mendidik anak

Cara-cara mendidik anak yang salah banyak membawa akibat yang negatif bagi perkembangan atau pembentukan kepribadian remaja. Cara-cara mendidik anak yang salah antara lain sebagai berikut :

1. Terlalu dimanja

Orang tua yang bersikap terlalu memanjakan terhadap anak-anaknya sebenarnya adalah merupakan hal yang salah, Karena hal ini berarti memperkecil kepribadian si anak. Apabila anaknya mengalami kesulitan kecil saja, orang tua segera membebaskan dengan pertolongan yang berlebihan, seolah-olah si anak tidak diperbolehkan menghadapi problem hidup yang sebenarnya sangat penting bagi perkembangan dan kematangan anak remaja.

Akibat pemanjaan atau perlindungan yang berlebihan terhadap anak, maka anak akan mengalami kesulitan tertentu dalam mengadakan hubungan dengan dunia sekitarnya, seperti dijelaskan dengan dunia sekitarnya, seperti dijelaskan oleh Zakiah Darajat :

“Betapa besar bahaya yang diderita oleh si anak karena ia terlalu dimanja. Ia menjadi bingung, Karena tidak mendapat kesempatan untuk belajar menghadapi kesukaran. Ia seakan-akan dipenjara oleh kasih sayang yang berlebihan. Ia ingin wajar, tetapi tidak tahu bagaimana caranya.21

2. Penolakan orang tua

Yang dimaksud penolakan orang tua yaitu apabila salah satu atau kedua orang tua tidak merasa senang dengan kehadiran anak dalam lingkungan keluarganya. Orang tua yang menolak anak-anaknya biasanya menunjukkan sikap-sikap seperti di bawah ini :

§ Menghukum anaknya secara berlebihan

§ Anak itu kurang diperhatikan mengenai makanan, pakaian, kemajuan di sekolah dan kegiatan sosial.

§ Kurang sadar terhadap anaknya dan mudah marah.

§ Ancaman-ancaman untuk mengusir anak

§ Anak yang bersangkutan diperlukan lain dibandingkan dengan saudara-saudaranya.

§ Sangat kritis terhadap anak tersebut.22

Adanya sikap penolakan orang tua akan menyebabkan para remaja kurang mendapatkan kasih sayang dan merasa diabaikan, terhina, malu dan sebagainya. Sehingga akan mudah mengembangkan pola tingkah laku dalam bentuk kenakalan, seperti yang dijelaskan oleh Zakiyah Darajat sebagai berikut :

Akibat yang mungkin terjadi pada anak-anak apabila ia merasa kurang disayangi atau kurang diperhatikan itu banyak sekali, antar lain akan terganggu kesehatan mentalnya. Diantara gejala kelakukan yang dapat terlihat dengan nyata adalah :

· Suka memperhatikan gerak-gerik orang tua, banyak tanya atau sedikit seperti pergi kemana, dari mana, yang kadang-kadang menyakitkan hati orang tuanya seolah-olah mereka diperintah oleh anaknya.

· Senang melakukan hal-hal yang menarik perhatian untuk memperoleh kasih sayang, misalnya banyak keluhan dan pengaduan. Menjerit-jerit, suka membuat ribut, kekacauan dan sebagainya.

· Mungkin pula si anak akan melukai menyakiti dirinya sendiri, misalnya : mogok makan, tidak mau berbicara, membiarkan dirinya jatuh dan sebagainya. Sebaliknya ia mungkin pula menjadi keras kepala, tidak mau mendengar nasehat orang tua, nakal yang berlebih-lebihan baik di dalam maupun di luar rumah, suka merusak dan sebagainya.

· Kelakukan dan sikap menunjukan bahwa ia benci kepada orang, acuh tak acuh, sering sakit dan sebagainya.23

3. Terlampau dikuasai

Sikap orang tua yang demikian biasanya disebabkan oleh adanya keinginan orang tua agar anaknya menjadi orang uang dicita-citakan seperti agar menjadi dokter, hakim, insinyur dan sebagainya. Orang tua seperti ini ingin anaknya cepat pandai, rajin belajar, mendapat kedudukan yang terpandang dalam masyarakat dan sebagainya sehingga tidak segan-segan mendorong anaknya dengan berbagai macam cara, seperti dengan cara memarahi, menghukum, memukul atau dengan meperkenalkan segala permintaan anaknya agar mau melakukan apa yang dicita-citakannya, tanpa memperhatikan kemampuan, kecerdasan, bakat dan minat anaknya. Sebagai akibatnya si anak akan mengalami kelelahan dan kekecewaan yang mendorong anak untuk bersikap menentang orang tua atau anak menjadi minder, apatis dan sebagainya seperti dijelaskan oleh Zakiah Darajat :

“Kadang-kadang orang tua karena ambisi atau keinginannya yang berlebih-lebihan sering mendorong anaknya untuk melakukan sesuatu yang di luar batas kemampuanya. Tindakan seperti ini akan menyebabkan si anak tidak mau bertanggung jawab dan menyebabkan sering gagal. Kegagalan itu sangat berbahaya, ia akan merasa rendah diri, apatis dan sebagainya”.24

Dari uraian di atas jelaslah bahwa mendorong anak untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu tanpa memperhatikan bakat dan kemampuannya akan berakibat merugikan diri si anak.

(2) Keadaan ekonomi keluarga

Keadaan ekonomi yang tinggi maupun yang rendah, keduanya dapat menyebabkan para remaja menjadi nakal. Hal ini mungkin terjadi karena pada kalangan ekonomi tinggi orang tua terlalu sibuk mencari nafkah pada kalangan ekonomi rendah, sehingga lupa menyediakan waktu untuk berkomunikasi yang baik dengan anak-anak mereka.

Pada kalangan ekonomi tinggi sering kita lihat, banyak ibu-ibu pejabat yang sibuk berorganisasi, arisan, piknik, menolong korban banjir dan sebagainya. Kesemuanya itu menyebabkan para ibu lupa tugasnya sebagai pendidik. Mereka tidak sempat memberikan perhatian, tuntunan dan kasih sayang yang wajar terhadap anak-anaknya. Kenyataan kita temui kebanyakan keluarga kaya, mempercayakan pemeliharaan anak-anaknya kepada pembantu yang mendidiknya relatif rendah, dimana mereka kurang mengerti bagaimana memelihara atau mendidik anak yang baik.

Sementara orang tua ada yang beranggapan bahwa anak cukup hanya dengan diberi uang, perhiasan tanpa mengingat kebutuhan rohaniah anak. Tindakan orang tua semacam ini dapat menyebabkan remaja kurang menjadi tingkah laku yang baik, merasa berkuasa, berandal dan melawan pada orang tua.

Sebaliknya keadaan ekonomi yang rendah atau buruk dalam suatu keluarga, dapat pula menimbulkan broken home dan juga merupakan hambatan bagi perkembangan kepribadian remaja. Hal ini disebabkan karena orang tua sibuk memenuhi kebutuhan dalam rumah tangga, sehingga pendidikan anak menjadi terlantar.

Di samping itu akan usia remaja biasanya mempunyai keinginan-keinginan, keindahan-keindahan dan penuh dengan cita-cita, mereka menginginkan berbagai macam mode pakaian, hiburan, kendaraan dan sebagainya. Apabila orang tua tidak dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya itu, maka anak remaja akan merasa tertekan, kemudian timbullah khayalan-khayalan kalau memiliki harta yang banyak seperti halnya teman-temannya. Karena orang tuanya tidak dapat memenuhi keinginanya, mungkin ia akan berusaha memperolehnya dengan jalan mencuri, merampas, menjambret dan sebagainya.

3) Lingkungan sekolah

Ajang pendidikan kedua setelah keluarga adalah sekolah, sekolah mempunyai peranan penting dalam membina anak untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab. Dalam rangka pembinaan anak didik ke arah kedewasaan itu kadang-kadang sekolah juga menjadi sumber terjadinya konflik-konflik psikologis anak, sehingga anak menjadi nakal. Hal ini dapat bersumber dari guru itu sendiri, fasilitas pendidikan yang kurang lengkap, kekurangan guru serta norma-norma pendidikan dan kelompok guru.25

(1) Faktor guru

Pengaruh yang negatif yang terjadi pada anak sekolah dapat timbul karena perbuatan guru yang menangani langsung proses pendidikan seperti karena kesulitan ekonomi yang dialami oleh guru, sehingga guru atau pendidik tidak dapat memusatkan perhatiannya terhadap anak didiknya. Karena kesulitan tersebut ia akan berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya di luar sekolah, mungkin ia akan banyak mengajar di sekolah lain (sebagai guru honorer), bisnis dan lain-lain usaha. Sebagai akibatnya guru datang terlambat, tidak bisa mengajar dan sebagainya. Sehingga murid-murid diliburkan atau dipulangkan. Jika peristiwa ini sering terjadi, maka murid sering dongkol, resah, berkeliaran tanpa pengawasan guru, kelas menjadi kacau, mereka menjadi terbiasa tak terawasi, tanpa disiplin dan menjadi liar. Maka terjadilah pengoloran kelas, pencurian di kelas, perkelahian antar siswa, antar kelompok dan lain-lain kenakalan.

Ada pula guru yang kurang simpatik, tidak memiliki dedikasi pada profesi, tidak menguasai didaktif metodik, materi pelajaran dangkal sifatnya, tidak sesuai dengan kebutuhan siswa dan tidak menarik minat anak didik. Ada juga yang tidak sabar mudah tersinggung serta tidak memiliki rasa humor. Keadaan tersebut di atas jelas bahwa guru tidak bisa menciptakan proses belajar mengajar yang baik. Akibatnya timbul kecemasan pada diri siswa, mereka tidak lagi semangat dan tekun belajar. Maka timbullah perilaku membolos, hidup santai dan siswa akan lebih tertarik kepada hal-hal non persekolahan.

(2) Minimnya fasilitas-fasilitas pendidikan

Faktor lain yang amat penting dalam menentukan gangguan pendidikan adalah minimnya fasilitas-fasilitas pendidikan yang disediakan sekolah, seperti laboratorium, sarana olah raga, alat-alat kesenian dan sebagainya. Kurangnya fasilitas pendidikan dapat menyebabkan penyaluran bakat dan keinginan murid-murid terhalang.26

Terhalangnya bakat dan keinginan siswa pada waktu sekolah, mungkin akan mencari penyalurannya kepada kegiatan yang negatif, seperti apabila sekolah tidak mempunyai lapagan olah raga, maka ini berarti anak didik tidak mempunyai tempat olah raga dan bermain sebagaimana mestinya. Karena bakat dan keinginanya tidak tersalurkan kepada aktivitas-aktivitas yang positif, maka akan mencari penyalurannya kepada kegiatan-kegiatan yang negatif, misalnya bermain di jalan raya, di pasar dan sebagainya yang mungkin akan berakibat buruk kepada anak remaja. Kekurangan fasilitas yang lain seperti : alat-alat pelajaran, alat-alat praktik atau alat-alat kesenian, juga dapat merupakan sumber gangguan pendidikan, yang juga dapat mengakibatkan terjadinya berbagai tingkah laku yang negatif pada diri anak didik.

(3) Kekurangan guru

Kekurangan tenaga pengajar atau guru akan menyebabkan jalannya pendidikan teganggu. Jika pada suatu sekolah tenaga pengajarnya tidak mencukupi, maka kemungkinan yang akan terjadi adalah sebagai berikut :

§ Penggabungan kelas-kelas oleh seorang tenaga guru

§ Pengurangan jam pelajaran

§ Meliburkan murid-murid.27

Apabila kelas-kelas itu digabung-gabungkan karena tenaga pengajar kurang, maka guru akan merasa letih, kelas menjadi ribut dan pelajaran tidak berketentuan. Akibatnya timbul tingkah laku yang negatif pada diri murid seperti bolos mengganggu temannya dan lain-lain.

4) Lingkungan masyarakat

Ajang pendidikan ketiga setelah keluar dari sekolah adalah masyarakat. Karenanya bagaimana keadaan masyarakat sekitarnya, baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan pengaruh terhadap kehidupan anak remaja. Adapun hal-hal yang mungkin dapat menimbulkan kenakalan dari lingkungan masyarakat adalah sebagai berikut :

(1) Lingkungan tempat tinggal remaja yang kurang baik

Dalam hidupnya manusia selalu membutuhkan komunikasi dengan manusia lain, yang akhirnya terbentuklah kelompok manusia yang disebut masyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa melepaskan begitu saja dari masyarakat dimana ia tinggal. Proses kematangan sosial anak dibentuk dalam masyarakat, maka ia pun membutuhkan masyarakat. Apabila pembentukan kematangan sosial masyarakat itu baik, maka akan membawa tingkah laku yang baik pula, sebaliknya apabila masyarakat itu tidak baik, maka dapat membawa seseorang menjadi tidak baik.

Gabril Tarde mengatakan bahwa :

“Semua saling berhubungan (social interuction) itu berkisar pada proses contoh-mencontoh, dalam sosial, dengan demikian lingkungan buruk akan cenderung akan membuat pada hal-hal yang buruk, demikian juga sebaliknya”.28

(2) Kurangnya sarana-sarana serta pemanfaatan waktu senggang remaja

Suatu faktor yang juga ikut memudahkan timbulnya kenakalan adalah kurangnya sarana-sarana kegiatan kepemudaan dalam masyarakat, sebagai tempat untuk mengisi waktu terluang remaja, seperti organisasi olah raga, karang taruna, kesenian dan sebagainya.

Dalam kehidupannya sehari-hari remaja sering mempunyai waktu luang yang cukup lama. Seperti, sisa waktu belajar, bekerja atau liburan sekolah. Usia remaja adalah usia goncang, suka berkhayal dan melamunkan sesuatu hal yang jauh. Jadi pada usia remaja terdapat gejala-gejala yang disebut gejala negatife phase. Adapun gejala-gejala negatife phase antara lain adalah berkurangnya kemauan untuk bekerja (disinchination to work), kegelisahan (retlessness), penantangan terhadap kewibawaan orang dewasa (resistence to authority) dan kesukaan berkhayal (day dreaming).29

Adapun sarana-sarana sebagai tempat untuk mengisi atau menggunakan waktu terluang tidak ada, serta tidak adanya bimbingan dari orang tua atau guru maka akan banyaklah khayalan-khayalan atau lamunan-lamunan yang jauh dari kenyataan dan waktu terluang tersebut sering digunakan untuk aktifitas-aktifitas yang negatif seperti mabuk-mabukan, kebut-kebutan dan sebagainya. Sehubungan dengan hal inilah kita sering melihat orang yang tidak ada pekerjaan terjerumus ke dalam kenakalan atau perbuatan lain yang banyak menggelisahkan masyarakat.

(3) Pengaruh media massa

Media massa seperti film dan buku bacaan yang menggambarkan kejahatan, kelicikan perampok, pencuri, cerita-cerita porno, memberikan kesempatan kepada anak-anak remaja untuk mengungkapkan rasa hati yang terpendam, disamping pengaruh merangsang untuk mencontohnya dalam kehidupan sehari-hari, akhirnya secara tidak disadari mereka telah meniru apa yang terdapat dalam film maupun dalam bacaan-bacaan tersebut. Secara psikologis para pelajar yang usianya berada pada usia remaja mempunyai sifat imitative, yaitu ingin meniru apa yang dilakukan oleh idolanga, yang diperoleh ketika membaca buku, film dan sebagainya. Tidak selektifnya para remaja dalam memilih buku bacaan, majalah, film vedio atau media massa lainnya dapat mengakibatkan kenakalan pada sekelompok remaja, karena remaja sifatnya mencontoh.

(4) Pengaruh budaya asing

Faktor lain yang dapat mempercepat timbulnya kenakalan adalah banyaknya kebudayaan asing yang memperkenalkan dan dikembangkan dalam masyarakat, terutama kebudayaan asing yang sebenarnya bertentangan dengan jiwa pancasila.

Masuknya kebudayaan asing ke Indonesia dapat melalui orang asing itu sendiri seperti dimana oleh turis, melalui orang Indonesia yang telah lama tinggal di luar negeri dan yang tak kalah pentingnya adalah melalui alat-alat komunikasi seperti film, TV, radio, surat kabar, majalah dan buku-buku,

Melalui alat-alat komunikasi diperkenalkan kepada anak-anak muda budaya luar, seperti budaya pergaulan bebas yang datangnya dari barat, minuman keras dan sebagainya. Budaya itu akan banyak ditiru oleh anak muda yang sedang mengalami kegoncangan jiwa dan budaya semacam itu cepat menjalar terutama di kota-kota besar bahkan sudah sampai ke desa-desa. Sekarang anak desa sudah banyak yang terpengaruh oleh budaya semacam itu, karena masyarakat di desa masih berpegang kuat kepada agama dan adat sehingga sering menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitarnya. Timbulnya pertentangan antara norma yang dianut oleh remaja dengan yang berlaku pada masyarakat adalah merupakan sumber timbulnya kenakalan.

1. Pengertian Perilaku

Dalam pengertian sehari-hari perilaku sering diartikan atau dihubungkan dengan ciri-ciri tertentu yang dominan dengan pada individu. Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa perilaku merupakan sruktur dan proses kejiwaan tetap yang mengatur pengalaman-pengalaman seseorang dan membentuk tindakan-tindakan serta responnya terhadap lingkungannya.[1]

Perilaku dalam kehidupan manusia disebut dengan akhlak. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluq yang artinya tabiat, budi pekerti dan watak.

a. Menurut Hussain Bahreisj mengartikan akhlak sebagai kelakuan-kelakuan juga berarti ilmu kesopanan, ilmu kesusilaan, etika pekerti atau moral.[2]

b. Menurut Mudhor Ahmad mengartikan akhlak adalah tingkah laku atau perangai manusia yang melekat dalam hati manusia yang dari padanya keluar kemauan pilihan atas baik buruknya perkataan.[3]

c. Hamzah Yakub berpendapat bahwa kata akhlak yang bahasa arabnya khuluk menurut lughot berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Adapun pengertian terminologinya adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia secara lahir dan batin. Kemudian untuk membentuk watak yang baik adalah dengan membiasakan akhlak baik dan meninggalkan akhlak yang buruk. Akhlak seseorang itu baik dan buruk tergantung dari kebiasaan (perbuatan) yang dilakukan.[4]

Perilaku adalah mencakup segi-segi fisik dan seluruh kehidupan psychis dari seseorang dengan segenap kepastiannya sebagai makhuk yang paling sempurna.[5] Sedangkan pengertian Ihsan menurut bahasa adalah berbuat baik dan menurut hadist Nabi Muhammad SAW Ihsan adalah “bahwa engkau beribadah (mengabdi) kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya dan sesungguhnya Allah juga melihatmu” (HR. Muslim).[6]

Dari uraian tersebut dapat diambil pengertian bahwa akhlak atau perilaku ialah perangai, budi pekerti, kelakuan dan kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang dan dengan kebiasaan yang dilakukan itu, maka akhlak seseorang bisa dinilai baik atau buruk berdasarkan norma-norma yang ada. Jadi perilaku adalah gambaran adanya pribadi yang berakhlak.

2. Aspek-aspek Perilaku

Adapun aspek-aspek perilaku ada beberapa macam, antara lain sebagai berikut :

a. Karakter

Karakter adalah konsekuen dalam mematuhi etika atau teguh tindakannya dalam memegang pendirian atau pendapat.

b. Temperamen

Temperamen adalah cepat lambatnya seseorang untuk mereaksi terhadap sesuatu yang datang dari lingkungannya.

c. Sikap

Sikap adalah sambutan terhadap objek (orang, benda, peristiwa, norma dan lain-lain) yang bersifat positif, negatif atau ragu-ragu.

d. Stabilitas Emosional

Stabilitas emosional adalah kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan, seperti mudah tidaknya tersinggung, marah, sedih, gembira dan putus asa.[7]

Ahmad Tafsir mengatakan bahwa manusia adalah makhuk ciptaan Allah yang utuh berdiri sendiri dari jasmani, akal dan rohani sebagai potensi pokok.[8]

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan perilaku ada lima macam, diantaranya yaitu :

a. Lingkungan Keluarga

Pertamakali yang dikenal seorang anak adalah lingkungan keluarga yaitu tempat yang pertama kali anak menerima pendidikan dari orang tuanya, kepribadian orang tua, sikap hidup dan cara hidup merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung dengan sendirinya akan masuk ke dalam pembentukan perilaku anak.[9]

Suasana keluarga sangat penting bagi perkembangan perilaku anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang harmonis dan agamis dalam arti orang tua memberikan curahan kasih sayang, perhatian serta bimbingan dalam kehidupan berkeluarga, maka perkembangan perilaku anak tersebut cenderung positif. Dan sebaliknya, anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang broken home, kurang harmonis, orang tua bersikap keras terhadap anaknya atau tidak memperhatikan nilai-nilai agama dalam keluarga, maka cenderung akan mengalami perilaku yang menyimpang.[10]

b. Lingkungan Sekolah

Tempat pendidikan yang kedua kalinya setelah keluarga yaitu sekolah. Di sekolah anak akan dibina, dididik, diasuh, dibimbing oleh seorang guru. Guru adalah wakil dari orang tua yang berkewajiban mengajarkan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan sekaligus menanamkan nilai-nilai moral dalam rangka pembentukan perilaku ihsan dalam pergaulan dengan anak.[11]

Setelah masuk sekolah anak mulai bergaul dengan teman sebayanya dan menjadi anggota dari kelompoknya. Pada saat itulah ia mengalihkan perhatiannya untuk mengembangkan sifatnya atau perilaku yang cocok atau dikagumi teman-temannya walaupun mungkin tidak sesuai dengan harapan orang tuanya. Melalui bergaul dengan teman-temannya anak belajar menilai dirinya sendiri dan kedudukannya dalam kelompok.[12]

d. Lingkungan Masyarakat

Manusia dalam kehidupannya selalu mengadakan hubungan dengan sesama orang lain. Oleh sebab itu lingkungan masyarakat juga membentuk akhlak baik dalam hal positif maupun negatif.

Selain itu, setiap lingkungan masyarakat (ras, bangsa, suku) memiliki tradisi, adat atau kebudayaan yang khas. Tradisi atau kebudayaan suatu masyarakat memberikan cara berfikir maupun bersosialisasi dengan orang lain. Hal ini dapat dilihat dari adanya perbedaan antara masyarakat modern yang budayanya relatif maju dengan masyarakat primitif yang budayanya relatif masih sederhana.[13]

4. Proses Terbentuknya Perilaku

Setiap individu berkembang secara tetus-menerus dari masa bayi sampai mati dan melalui seluruh perkembangan hidup yang mengalami perubahan-perubahan sehingga mengarah pada pembentukan kepribadian itu berlangsung. Hal ini diperlukan suatu proses waktu yang tidak sebentar bahkan waktu yang panjang dan berangsur-angsur. Dikatakan oleh Patty: Dalam seluruh perkembangan itu tampak bahwa tiap perkembangan muncul dalam cara-cara yang kompleks dan tiap perkembangan didahului oleh perkembangan sebelumnya, ini berarti perkembangan itu tidak saja kontinyu, tetapi perkembangan fase yang satu diikuti dan menentukaan perkembangan fase yang berikutnya.[14]

Untuk mengetahui tentang proses pembentukaan perilaku ihsan ada beberapa tahap yaitu :

a. Latihan dan Pembiasaan

Pada tahap ini tidak hanya cukup diberikan secara teoritis saja melainkan juga diiringi dengan penerapan dalam praktek kehidupan sehari-hari baik melalui latihan maupun pembiasaan, ini akan lebih bisa diserap dalam jiwa anak. Latihan dan pembiasaan ini bertujuan untuk memberi kecakapan berbuat dan mengucapkaan sesuatu pengetahuan yang diperolehnya dan mampu memelihara tingkah laku yang baik setelah mereka dewasa. Dalam hal ini M. Athiyah Al-Abrasy mengatakan: “Siapa yang membiasakan sesuatu di waktu mudanya, waktu tua akan menjadi kebiasaannya juga.”[15]

Dalam hal ini, Zakiah Darajat memberikan pernyataan “Apabila si anak telah terbiasa dengan peraturan-peraturan akhlak dan hubungan sosial yang sesuai dengan ajaran agama sejak kecil, maka akhlak yang baik akan menjadi bagian integral dan kepribadiannya dengan sendirinya akan mengatur tingkah laku dan sikapnya waaktu ia dewasa nanti”.[16]

b. Keteladanan

Keteladanan merupakan metode influentif yang paling menentukan keberhasilan dalam mempersiapkan dan membentuk sikap dan perilaku moral, spiritual dan sosial anak. Oleh karena itu, masalah keteladanan menjadi faktor penting dalm hal baik-buruknya perilaku anak.[17]

Pada dasarnya keinginan untuk mencontoh merupakan pembawaan atau sifat asli manusia ketika seseorang masih berusia anak-anak, sebab secara psikologis anak-anak adalah masa yang membuthkan figur atau telasdan. Bimbingan keagamaan yang diberikan dengan memberikan contoh atau keteladanan orang tua adalah salah satu bimbingan yang paling membekas pada diri anak. Dengan keteladanan ini timbullah gejala identifikasi positif yaitu penyamaan diri dengan orang yang ditiru.[18]

c. Adanya Nasehat

Merupakan sajian tentang kebenaran dan kebajikan dengan maksud mengajak orang yang dinasehati untuk menjauhkan diri dari bahaya dan membimbing ke jalan yang benar daan berfaedah baginya.[19]

e. Pembentukan Kerohanian yang Luhur

Yaitu pembentukan atau menanamkan nilai-nilai agama yang terdiri atas :

1) Iman kepada Allah

2) Iman kepada Malaikat-malaikat-Nya

3) Iman kepada Kitab-kitab-Nya

4) Iman kepada Rosul-rosul-Nya

5) Iman kepada Hari kiamat

6) Iman kepada Qodho dan Qodar.[20]

Dalam proses pembentukan perilaku ada beberapa unsur-unsur yang diperhatikan yaitu :

a. Ciri-ciri watak yang berhubungan dengan cirri umum yang tidak berubah yaitu ciri-ciri yang membedakan respon seseorang tanpa memperhatikan rangsangan yang menyebabkan kecepatan bereaksi terhadap sesuatu hal.

b. Kemampuan dan kesanggupan mental yaitu menentukan kemampuan untuk melakukan pekerjaan tertentu yang tercermin dalam kecerdasan dan kemampuan hitung serta ketrampilannya.[21]

Pembentukan perilaku yang sempurna dan terpadu akan terpadu jika daalam prosesnya tanpa mengabaikan sedikitpun dari tiga tahap pembentukan yang harus berjalan lancar dan bersamaan dengan aspek-aspek serta unsur-unsur penunjang yang mempengaruhi pembentukan perilaku. Semua itu dibutuhkan proses kerja secara serasi dan seimbang.

c. Kebiasaan berperilaku baik. Sudah diketahui bersama bahwa manusia dalam hidupnya itu akan mengadakan hubungan dengan orang lain. Dengan adanya hubungan ini ia harus berusaha menyesuaikan dengan lingkungan yang dihadapinya. Dalam perilaku baik itu manusia itu harus sifat yang dihadapinya. Dan pada hakikatnya manusia itu telah diberi kesadaran untuk memilih yang baik dan buruk dari Sang Pencipta, seperti firman Allah Al Qur’an :

وهدينه النّجدين .....

Artinya : “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan”. (Q.S. Al-Balad : 10).[22]

Perilaku baik dan buruk merupakan suatu yang mendasar dalam diri manusia. Karena manusia mempunyai kebebasan untuk memilih yaitu kehendak bebas dan bertanggung jawab yang menempati antara dua kutub yang berlawanan.[23]

Dengan andanya kehendak bebas itu, maka manusia perlu mengarahkan untuk memilih atau menentukan kehendaknya agar manusia tidak terperosok dalam lempung busuk. Untuk itu, diperlukan suatu pendidikan yang akan mendidik manusia untuk berperilaku ihsan atau baik. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia itu tidak dapat hidup sendiri. Oleh karena itu, manusia dalam hidupnya harus menggunakan bahasa yang benar, menghormati sesama, tolong menolong, menepati janji dan lain-lain.[24] Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :

وتعاونوا على البرّ والتّقوى صلى ولا تعونوا على الاثم والعدوان صلى واتّقوالله انّ الله شد يد العقاب.

Artinya : “Hendaknya kamu tolong menolong atas perbuatan kebaikan dan taqwa. Dan janganlah kamu tolong menolong atas dosa dan dirinya dan bertaqwalah kepada Allah”. (QS. Al-Maidah : 2)[25]

Oleh karena itu manusia diwajibkan untuk berbuat baik dan bila hal itu menjadi kebiasaan dalam hidupnya sehingga akan melekat pada jiwanya dan akhirnya akan menjadi akhlak. Selanjutnya dengan adanya kebiasaan-kebiasaan yang baik tersebut akan membentuk perilaku ihsan seseorang.

21 Zakiah Darajat, Kesehatan Mental, Gunung Mulia, Jakarta, 1983, hlm 84.

22 B. Simanjuntak, Op. Cit., hlm. 319.

23 Zakiyah Darajat, Op. Cit., hlm. 80.

24Ibid., hlm. 86.

25 Sofyan S. Willis, Op. Cit., hlm. 69.

26 Ibid, hlm. 71.

27 Ibid, hlm. 72.

28 B. Simanjuntak, Op. Cit., hlm. 120.

29 Andi Mappiare, Op. Cit., hlm. 32.

[1]Clifford T. Morgant, Intructions to Psichology, MC. Graw Hill International Book Company, New York, 1979, hlm. 683.

[2]Hussain Bahreij, Ajaran-Ajaran Akhlaqul Karimah, Bumi Aksara, Bandung, 1997, hlm. 23.

[3]Abu Tauhid, Seratus Hadits, Yayasan Pendidikan Islam Imam Furo, Purworejo, 1987, hlm. 15.

[4]Hamzah Yakub, Etika Islam Membina Akhlaqul Karimah Suatu Pengantar, CV. Diponegoro, Bandung, 1988, hlm. 23.

[5]Kartini Kartono, Teori Kepribadian dan Mental Hygenie, Alumni, Bandung, 1974, hlm. 12.

[6]Aminah Abd. Dahlan, Hadist Arbain An-Nawawiyyah, Al-Ma’ruf, Bandung, 1982, hlm. 14.

[7] Syamsul Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hlm. 127-128.

[8]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 1994, hlm. 37.

[9]Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematika, FIP. IKIP. Yogyakarta, 1987, hlm. 33.

[10]Ibid, hlm. 120.

[11]Zakiah Darajjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hlm. 127.

[12]Ibid, hlm. 128.

[13]Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hlm. 128-129.

[14]Patty, et.al, Pengantar Psikologi Umum, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 130.

[15]M. Athiyyah Al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm. 109.

[16]Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1982, hlm. 130.

[17]Abdul Kholiq, Pemikiran Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 66.

[18]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, PT. Al-Ma’ruf Jakarta, 1974, hlm. 85.

[19]Abdurrohman An-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung, 1992: hlm 404.

[20]Ibid, hlm. 81-86.

[21]Musthofa Fahmi, Penyesuaian Diri, Bulan Bintang, Jakarta, 1983, hlm. 52.

[22]Al-Qur'an, Surat Al-Balad Ayat 10, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag. RI, Jakarta, 1987, hlm. 1061.

[23]Ali Syariati, Tentang Sosiologi Islam, Alih Bahasa Syaifullah Muhyidin, Ananda, Yogyakarta, 1992, hlm. 114.

[24]Ibid, hlm. 115.

[25]Al-Qur'an, Surat Al-Maidah Ayat 2, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag. RI, Jakarta, 1987, hlm. 157.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post