[email protected]

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Pertanyaan Pada Kenangan

Buat apa menulis jika hanya menyisakan kenangan. Sebuah akhir. Sebuah kisah yang memiliki awal dan akhir. Aku tahu bahwa semua kisah pasti memiliki awal dan akhir. Tetapi bukan akhir seperti ini yang aku harapkan. Benar, aku sama sekali tidak berharap akan akhir yang seperti ini.

Lagi, aku duduk di depan jendela. Hanya satu jendela di sini. Jendela dengan tulangnya yang berwarna cokelat. Hangat. Senada dengan ruangan kecil yang berwarna pastel ini. Sekiranya dapat mengubah suasana hati menjadi lebih hangat.

Lagi-lagi berharap! Beberapa waktu ini aku bener-benar menjadi pengharap. Padahal aku tahu itu hanya sebuah harapan. Hanya sebatas pengharapan.

Bolehkan aku bertahan?

Dapatkah aku mempertahankan semuanya?

Kuhirup nafas panjang. Merasakan aroma embun yang masih pekat. Sisa-sisa bulir hujan masih bergantung di beberapa dahan pepohonan di halaman. Tanpa melihat ke luarpun aku tahu. Sudah acap kiranya aku berharap sembari menghitung tetesan bulir sisa hujan semalam. Namun kini cukup kurasakan aroma embun, seperti pagi-pagi lainnya. Mencoba merasakan dingin seakan hangat. Tak menyatu. Tak seperti dulu. Hangat yang kurindu.

Hangat yang teramat dalam kurindu. Hangat yang kupeluk erat. Hangat yang menjadi kenangan. hangat yang kubingkai dalam hati. Hangat yang selalu terpatri di dasar jiwa ini. Hangat yang memberiku kuat. Hangat yang menjadikanku tegar. Hangat yang selalu mendukungku. Hangat yang menjanjikannya lewat warna. Menjanjikannya melalui puisi. Menjanjikannnya dalam rangkaian kisah pendek tentangnya, bahkan tentang hal lainnya. Hangat yang merangkulku untuk merangkai kalimat demi kalimat, utuh, manis. Hangat yang memberi arti sendiri untuk impianku. Hangat yang teramat baik. Hangat yang terhangat.

Aku masih ingat ketika pertama kali bertemu dengannya. Masih terngiang pertama kali ia menyapaku. Masih terbayang senyum pertamanya untukku. Ya, hanya untukku. Tidak untuk dia ataupun orang lain. Senyum yang membuatku yakin akan hadirnya.

Aku ingat bagaimana ia menatapku. Mendengarkan segala kesahku. Menghapus segala laraku. Aku ingat ketika aku minta ia menemaniku ke toko buku. Itulah pertama kalinya aku jatuh cinta. Cinta yang teramat dalam pada buku, khususnya novel. Ia memilihkan sebuah novel yang bagus. Dan menjadi novel penuh kenanganku, sebuah novel remaja karya sastrawan terkenal di kota kita. Aku masih ingat tiap detil ceritanya. Bukan hanya karena ceritanya yang memang menarik, tapi jauh dari itu karena itu pilihanmu. Kau yang mengajariku untuk jatuh cinta pada duniamu. Dunia baca-tulis.

Kunjungan pertama ke toko buku itu memberiku arti akan kecintaanmu padaku. Bahwa kau ingin akupun mencintai kesukaanmu. Dan kita sepakat memiliki hari bersama untuk kunjungan-kunjungan berikutnya ke toko buku. Tidak hanya satu toko buku yang kita jajaki. Hampir seluruh toko buku di kota kita telah kita jelajahi. Dan tentu saja kita pulang membawa setumpuk novel-novel terbaru. Novel-novel yang menurutmu layak kubaca.

Masih jelas di ingatanku, ketika kau tersenyum lembut mengangguk ketika aku memelas meminta tambahan satu novel lagi. Padahal dikeranjangku telah ada 10 novel, dan aku masih saja tidak mampu menahan tanganku untuk mengambil novel tersebut dari salah satu rak dan memboyongnya ke meja kasir.

Terkadang ketika aku sedang duduk di teras depan rumah, kau datang dengan motor bebekmu. Melambaikan sebuah novel. Dan aku akan berlari menyongsongmu, meraih novel di tanganmu dan berucap, “Terima kasih.”

Kau berikan aku novel-novel karya urang awak katamu dalam gelak. Kau bahas kisah-kisahnya yang terasa dekat dengan kita. Kau paksa aku memaknai hal-hal tersirat dalam tiap alurnya. Kemudian membandingkannya dengan dunia nyataku agar aku bisa melihat dengan jelas beda imajinasi dan kenyataan, serta hal-hal yang menjembataninya. Kau hidupkan dunia fiksiku, lalu kembali kau bangunkan aku pada kenyataan.

Hal-hal yang sepelu dulu, teramat berarti bagiku. Sungguh, kau yang mengajariku. Dan aku kini benar-benar jatuh cinta. Padamu. Pada duniamu. Dan juga pada rinduku. Rindu yang kau hempas dalam senyap tanpa mampu ku terbangun. Bahkan jembatan nyata dan imajinasi itu terasa sangat abstrak kini.

Lagi, ku bertanya. Masih dalam rindu yang semakin menggebu.

Di mana kau kini?

Apa kau baik-baik saja?

Apa kau masih mengingatku? Mengingat segala kenangan yang kau punya? Apa kau memiliki angan sepertiku, sehingga kau mengajariku duniamu?

Bolehkah aku bertanya satu hal padamu?

Ku sesap capucinoku yang mulai mendingin. Kembali ku bertopang dagu. Mengingat kepingan kenangan yang mulai berserak. Mengumpulkan bagai puzzle yang mulai terlupa. Ah ya, mungkin nanti aku akan lupa. Tapi tidak! Aku tidak ingin lupa. Sama sekali tidak.

“Seberapa jauh itu?” tanyaku dalam gerimis yang mulai turun. Daun-daun lebar di depan rumah mulai bergoyang mengikuti tetes air. Sepoi angin mulai terasa dingin, ditambah embun yang masih menyisa.

“Mengapa kenyataan selalu tidak sesuai harapan?”

Aku tahu jawabannya. Tapi aku hanya berharap ada orang lain yang mampu menjawabnya untukku, sekadar untuk menyenangkan hatiku saja, tak apalah. Tapi hanya geming yang kurasa. Hanya angin yang mendesau.

Kuraih selimut di ujung kasur. Kurapatkan ke tubuh, berharap ada hangat di sini. Benar, hangat. Hangat di luar saja, tidak di hatiku.

“Apa itu masalah?”

Ya, aku tahu jawabannya. Tapi tidak adakah yang mampu menenangkanku?

Aku meraih pulpen di atas meja, membuka lembaran buku mungilku yang berwarna cokelat krem dengan gambar pohon di sampulnya. Hangat. Sebagian besar telah terisi. Hampir semuanya berisi pertanyaan. Pertanyaan tanpa jawaban. Pertanyaan yang tidak pernah terjawab.

Tentu saja, aku tidak hanya mengingatmu dengan dunia baca-tulis yang kau tularkan padaku. Banyak hal yang kau selipkan dalam tawamu. Segala ucapmu yang bagai sihir untuk ku ikuti. Kebenaran atas kefanaan, yang tentunya akan menuntunku kelak. Tanpamu.

Hangat masih tak terasa.

Dan aku di sini masih bertanya-tanya.

Mengapa kau menjauh?

Apa itu masalah?

Mengapa harus ada masalah?

Mengapa masalah harus melibatkan aku di dalamnya?

Mengapa masalah tidak menyelesaikan dirinya sendiri?

Mengapa masalah tidak mampu berdiam lalu lenyap dalam senyap?

Lalu apa itu dewasa?

Apa kaitan dewasa dan masalah?

Mengapa harus masalah dan dewasa?

Mengapa masalah harus ada menjadi dewasa?

Apa dewasa tidak mampu berdiri sendiri?

Mengapa harus menunggu masalah lahir, baru menjadi dewasa?

Apa dewasa tidak mampu lahir begitu saja?

“Arggggggghhhhhhh!”

Aku melempar buku cokelat itu ke dinding kamar. Sebanyak apapun kutulis mengapa-dan mengapaku, tetap tidak akan pernah ada yang mencoba menjawabnya. Tidak ada yang mempedulikan pertanyaan itu.

“Buat apa hangat jika dingin mampu memberi dingin yang layak?” Aku tarik selimut. Ku lempar kembali ke sudut tempat tidur. Kubuka jendela lebih lebar. Kubiarkan angin dan hujan memelukku.

“Jika dingin mampu mendinginkanku dengan bijaksana, maka lebih baik seperti ini. Dingin mendinginkanku menjadi lebih dingin, sedingin yang ku yakini membekukan tiap dingin yang ada.”

Ku tatap baju kuruang merah perpaduan kuning keemasan di pinggir tempat tidur. Baju itu mulai usang. Baju itu mulai pudar. Mulai berdebu. Baju yang telah bertahun-tahun ku simpan asal di bawah ranjang. Baju kecintaanku dulu. Baju yang mengingatkanku padamu. Pakaian kebanggaanku untuk menari. Ya, baju yang sangat kucintai, kado ulang tahun darimu karena kecintaanku akan tari. Tari asalku, Minang. Pakaian sederhana ini selalu kulengkapi dengan suntiang. Suntiang mungil, penghias rambutku. Agar selaras dengan hentak halus gerakku. Dan kau akan selalu bangga melihatku.

Ah, sudahlah!

Banyak hal memang yang mengingatkanku padamu. Terlalu banyak. Jamak yang membuatku merindu. Terlepas dari kejamakan itu, aku teramat tergugu dengan kehilanganmu. Kehilangan penyemangatku.

Ingatkan kau tentang kalimat sederhana yang terus kau ucapkan padaku? Kalimat yang terus terngiang-ngiang di benakku. Sebuah kalimat sederhana yang dulunya teramat tidak berarti buatku. Namun kini saat dalam terpatri dalam hatiku. Kalimat yang ku inap-inapkan. Kalimat yang menjadi tonggak hidupku. Kalimat yang kujaga demi kasihku padamu. Kalimat yang terkadang menjadi obat rinduku.

Ingatkah kau akan kata demi kata yang kau ajarkan padaku? Sebuah kalimat yang berupa mantra yang kusadari benar artinya saat kau tidak lagi di sini. Gabungan frasa demi frasa yang benar-benar membelengguku, namun juga membimbingku. Ah!

Tak masalah jika ia membelengguku. Namun aku tetap saja butuh dirimu untuk mengartikan semua. Membantuku mencerna kata demi kata yang terkadang tidak mampu kutangkap dengan logika mudaku. Penggalan kalimat yang terlalu kuno jika kubandingan dengan kehidupanku saat ini. Ah, apa aku yang terlalu modern? Entahlah. Kalimat itu benar-benar membelenggu yang merindu. Aku butuh dirimu. Sungguh.

Apa kau lupa?

Ingat adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah

Bahkan caramu berucap masih jelas di mataku. Kau acungi tunjukmu yang kerap kali menghipnotis tiap orang agar tunduk pada perkataanmu. Tutur lembutmu yang mampu menaklukkan tiap deras perlawananku. Ucapmu yang hanya satu-demi-satu, selalu membuatku terdiam lama.

Ah, tidakkah kau mengingat?

Kuikat rambut sebahuku. Kubiarkan dingin semakin merangkulku dalam, jatuh ke pelukannya. Rintik hujan yang terbawa angin tanpa malu-malu masuk ke kamarku lewat jendela yang kubuka lebar. Beberapa tetesnya melukis di wajahku. Bulirnya luruh bersama air mata.

Ya, lagi!

Aku kembali menangis.

Bahkan ketika aku mencoba melupakan hangat yang berkali-kali menjauh, meninggalkanku, tetapi untuk meninggalkannya selalu memberi kesakitan untukku. Air mata selalu menjadi akhir dari usahaku melupakan. Aku tahu, sampai kapan tidak akan pernah dapat kulupakan. Dan memang selayaknya aku tidak pantas untuk melupakan. Walaupun segenap jiwaku ingin melupakan, tetapi sejatinya aku tidak boleh melupakan. Selayaknya aku harus tetap mengingatnya, mengingatnya bahwa ia pernah menjadi kenanganku. Ia memberiku banyak pengalaman dan pembelajaran, bukan?

Tidak semua akhir sesuai dengan keinginan bukan?

Tidak semua harapan sesuai kenyataan bukan?

Untuk menjadi dewasa, memang perlu melewati banyak masalah, agar pribadi menjadi matang dan siap akan dunia. Begitu bukan?

Awal ada, karena begitu sejatinya hidup ini bukan?

Dan selayaknya mencintai proses, bukan akhir. Akhir adalah awal baru akan proses lainnya. Begitulah siklusnya. Jadi sebenarnya tidak ada akhir. Kecuali kematian. Tetapi bukankah kematian adalah awal dari kehidupan baru lainnya?

Jadi benar-benar tidak ada akhir. Benarkah?

Lalu apa ini awal proses pendewasaan yang baru?

Apa harus melalui masalah?

Mengapa tidak diam menunggu dalam senyap? Maka akan dewasa dengan sendirinya. Tidakkah dapat begitu?

Lalu bagaimana denganku?

Apa aku akan mampu menyelesaikan segala masalahku?

Apa ini sebuah pendewasaan untukku?

Atau aku harus menganggap ini bukan masalah?

Apakan merindu hanya hal picisan yang tak pantas kuselipkan dalam doaku?

Apakah berharap adalah sebuah kesalahan? Lalu mengapa kau ajarkan aku sebuah pengharapan? Mengapa kau ajarkan arti harapan? Agar aku berusaha meraihnya? Untuk apa aku meraih harapanku jika akan ada banyak masalah menghadang?

Aku masih butuh banyak jawaban lainnya. Dapatkah kau menjawab pertanyaan-pertanyaanku kelak, Ayah? Dingin menyakitkan. Walaupun hangatmu masih lebih menyakitkan, tetapi selalu ada harapan untuk menunggu. Tentu saja menunggumu kembali.

Bukan begitu, Ayah?

Dan aku akan menunggumu. Walau bukan sekarang. Setidaknya tetap peluk aku dengan hangatmu. (Nola Pritanova)

*urang awak : orang kita, berasal dari daerah yang sama

*suntiang : sunting

*baju kuruang : baju kurung, baju khas Minangkabau

*adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah : pepatah minang, segala hal yang ada pada masyarakat Minangkabau dilandasi oleh adat yang berlandaskan kitab Allah. Karena dalam sejarahnya seluruh masyarakat Minangkabau beragama Islam.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post