[email protected]

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Sepasang Mata Itu, Miliknya

Ia masih tersenyum. Pandangannya tak lepas dari sepasang mata yang menatapnya dengan sangat melankolis. Sepasang mata dua dimensi yang hanya terbuat dari guratan-guratan pensil. Sepasang mata yang selalu menyimpan rahasia.

Gadis itu terduduk. Matanya berkaca-kaca menatap gambar sederhana yang terpajang disetiap sudut rumahnya. Kekaguman dan kerinduan beradu dalam rasa kecewa yang kadang menghampirinya. Tanpa terasa, butiran-butiran hangat mengalir di wajahnya. Dadanya semakin sesak menahan perasaan. Tanpa berniat menghapus air matanya, ia meraih gambar di hadapannya. Memeluknya seerat mungkin. Melepaskan segala kebenciannya, kekecewaannya, kesakitannya, dan terlepas dari itu semua, ia sangat merindukan sosok itu.

“Agh !” Ia membuang gambar itu dengan rasa benci. “Kemana dirimu?”

Ia menatap tajam pada benda yang dibuangnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Dihapusnya segera. Ia bahkan tak sudi jika gambar itu balas menatapnya yang sedang berurai air mata.

“Kemana?! Jawab aku! Mengapa kau hanya diam?!”

Tak ada sahutan dari gambar itu. Sosok di gambar itu masih tersenyum sendu. Gadis itu memungut kembali gambar itu. Memandangnya lama. Menggigit bibir penuh emosi yang tertahan. Ia mulai terisak.

“Mengapa kau hanya bisa tersenyum, sementara aku di sini sangat membencimu?”

Ia melempar kembali gambar itu. Kemudian ia berdiri. Membiarkan gambar itu tak berdaya di lantai dan beranjak pergi. Namun sebuah tangan mencekal pergelangan tangannya. Gadis itu menarik nafas panjang, lalu berbalik dan memeluk pemilik tangan itu.

“Aku sudah pernah mengatakan padamu. Apa kau pikir dengan tingkahmu itu, gambar-gambar itu bisa memberi alasan mengapa ia meninggalkanmu?”

Gadis itu hanya diam. Ia menundukkan kepalanya. Bahunya naik turun. Lagi. Entah untuk yang keberapa kalinya hal ini terjadi. Ia kembali berusaha menyembunyikan tangisnya.

“Nak, kau tahu. Jauh di lubuk hatinya, ia sangat menyayangimu. Mencintaimu. Namun, untuk sekarang ini, kau tidak bisa bersamanya. Mungkin suatu saat nanti, waktu itu akan tiba, dan tak ada yang bisa memisahkan ikatan kalian. Percaya padaku.”

Gadis itu mengangguk dalam dekapan ayahnya. Lalu ia tersenyum, menatap ayahnya penuh terima kasih. Karena setiap ia mulai meragukan itu semua, ayahnya akan kembali meyakinkannya, bahwa betapa besar rasa cinta antara dia dan sosok di gambar itu.

“Aku sayang Ayah.”

Pria itu menepuk-nepuk bahu gadis itu, lalu beranjak pergi.

Angin mulai menusuk tiap jengkal tulangnya. Namun ia tak berniat sedikitpun untuk beranjak dari jendela mungil itu. Butiran-butiran halus beberapa waktu lalu mulai deras jatuh dari langit. Ia menengadahkan tangan ke luar jendela, tertawa saat air menusuk-nusuk tangannya. Aku rasa, kaupun sedang menangis. Apa kau ikut merasakan kegundahanku? Padahal kau berada di atas sana. Harusnya kau bisa bahagia, tak sepertiku, gumamnya dalam hati.

Pikirannya melayang jauh. Saat hujan sebelas tahun yang lalu. Saat menanti hujan bersamanya. Berteduh setelah kedinginan, dan banyak kenangan lagi saat hujan. Terlepas dari itu semua, ia sangat merindukan belaian sayang ibunya.

“Bunda,” bisiknya pelan. “Dulu pernah janji padaku, suatu saat nanti akan datang menemuiku. Menjemputku. Kita akan berkumpul bersama lagi. Tapi, ini sudah terlalu lama aku menanti. Apakah akau harus tetap seperti ini? Tanpa sedikitpun kabar?”

Ia tersenyum. Inikah jawaban atas harapan-harapan atas janji Bunda? Bunda tidak ada bedanya dengan seorang munafik. Entah apa yang Bunda lakukan di sana sampai tega mengingkari janji Bunda sendiri. Setelah sekian lama Bunda meninggalkanku, bahakan saat meneleponpun, bukan kabarku yag Bunda tanya. Tapi janji yang tak bisa Bunda tepati. Itu yang Bunda berikan selama ini padaku. Harapan palsu. Kasih sayang palsu. Bahkan cinta tulus yang sering kubaca dalam novel-novel tak kutemukan pada Bunda. Hanya pengkhianatan yang kudapati dari diri Bunda.

“Aku gadis tanpa seorang ibu yang menyayangiku,” bisiknya sendu.

Ia tertawa sejenak. Namun matanya berkaca-kaca. Bahunya naik turun menahan tangis.

“Aku tak lagi punya ibu. Ibuku telah pergi.”

***

Pria itu duduk di sofa coklat ruang tamu. Menikmati coklat hangat yang mengepul di cangkirnya. Pandangannya tak lepas dari layar televisi.

“Ayah tahu, kau sangat terpukul. Tapi Ayah yakin, bunda terpaksa melakukan itu, Nak.”

“Aku sudah tidak peduli lagi, Yah. Karena dari dulu aku tak pernah tahu mengapa ia meninggalkan kita. Aku tak pernah mengerti, mengapa ia tiba-tiba saja menelepon setelah sekian lama, dan mengatakan itu.”

Pria itu mengusap-usap kepala putrinya. “Suatu saat kau akan tahu penjelasan dari bunda, Nak.”

“Sampai kapan, Yah? Aku sudah tak percaya lagi pada janji bunda. Percaya pada bunda membuat aku terus menanti. Membuatku terluka menahan rindu padanya. Namun bunda dengan seenaknya merobek-robek harapan yang telah dijanjikannya.”

Pria itu tersenyum hangat. Pandangannya beralih pada sepasang mata putrinya. Sepasang mata yang sangat mirip dengan istrinya. Sepasang mata yang sangat dirindukannya. Sepasang mata yang sangat dicintainya, walaupun ia telah disakiti berkali-kali.

“Sampai kau mengerti arti semua ini,” gumam ayahnya pelan.

Gadis itu terdiam. Lama. Berusaha mencerna perkataan ayahnya. Tapi, yang ia tahu, saat ini ia hanya iangin berusaha untuk melupakan harapannya pada ibunya. Melupakan wanita yang sangat disayanginya itu. Ia tak mau telalu lama larut dalam keterpurukan ini. Baginya, kata terakhir bunda di telepon kemarin, telah cukup menghentikan rasa rindunya. Telah cukup membuatnya mengerti bahwa ibunya tak pernah benar-benar ingin kembali untuknya.

***

Sepuluh tahu lalu…

Wanita itu tersenyum lembut. Tatapannya tak lepas dari wajah gadis kecilnya. Ia membelai rambut putrinya penuh kasih. Kemudian mendekap erat tubuh putrinya, yang hanya diam tak bergeming.

“Nanti Bunda akan kembali untukmu, Sayang,” bisik wanita itu lembut.

Gadis itu menatap ibunya. “Bunda mau kemana?”

“Bunda mau pergi. Tapi, Bunda janji akan kembali lagi untuk menjemput kamu, Sayang.”

Gadis kecil itu tersentak kaget. “Bunda mau ninggalin aku? Kenapa? Apa karena aku ada salah sama Bunda? Aku sayang Bunda. Jangan tinggalin aku, Bunda? Nanti aku sama siapa? Siapa yang akan menemaniku bermain hujan? Siapa yang akan memelukku saat aku kedinginan? Siapa yang akan menyuapiku makan kalau aku sakit? Bunda nggak boleh pergi,” rengeknya dalam tangis. Ia menarik lengan baju ibunya. Berharap pembatalan atas niat ibunya.

“Ada ayah yang selalu ada untuk kamu, Sayang.”

Wanita anggun itu menatap suaminya, mengangguk, lalu tersenyum penuh arti. Pria itu segera menggendong putri kecilnya.

“Aku mau Bunda!” teriaknya sambil berusaha turun dari gendongan ayahnya.

“Suatu saat nanti, Bunda akan kembali untuk kamu, Sayang.”

Gadis kecil itu diam. Menatap ibunya yang mulai melangkah menjauhinya. Entah kemana.

“Aku akan nunggu Bunda!” teriaknya sekeras mungkin. Lalu ia memeluk ayahnya. Menangis tersedu-sedu, kemudian terlelap cukup lama. (Nola Pritanova)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post