Kenangan

Kenangan seringkali egois. Sesukanya saja ia hinggap pada hal yang terkadang remeh temeh. Mengaduk-aduk perasaan dan memeras derai tangis. Untuk kemudian ia berlalu dan mencari persinggahan yang baru. Namun, ia tak pernah mau peduli. Mudah saja ia datang dan menguasai semesta jiwa. Sementara diri ini susah payah berjibaku meredakan gelombang yang kacaukan hamparan rasa.

Seperti yang kali ini terjadi. Kenangan seenaknya menghantam damai diamku. Ketika aku duduk menunggu jemputan dan telinga menangkap syair lagu tentang rindu dari gawai seseorang yang duduk di sebelahku, kenangan seenaknya berulah. Membuat benakku terlempar ke dimensi lain.

Aku tersaruk-saruk dalam sendu mencari serekah senyum dan selingkaran peluk ibunda yang teramat kurindukan. Senyum yang selalu mampu menjadi obat termanjur untuk selebam apa pun luka yang mendera. Sayang senyum itu kini tinggal siluet yang samar terbayang dalam ingatanku yang semakin menua.

Seketika aku merapuh, meluruhkan sedu sedan dalam racauan doa-doa. Namun, semakin deras pilu kuperas, kenangan justru semakin menyerang ganas. Setiap sudut benakku dibombardir dengan potongan kisah teristimewa bersama ibunda.

Kala jemarinya cekatan membersihkan lelehan darah dari luka sobek yang menganga di pelipis gadis mungilnya yang terjatuh. Ketenangannya mampu menyerap tangis dan rasa sakit. Obat terbaik yang pernah ada.

Ketika seucap kata dari lisannya merupa doa yang seketika mewujud nyata. Ketika sesingkat apa pun gerak refleks buah hatinya selalu mampu dimengerti dengan sempurna oleh bening batinnya.

Ah, sungguh mengingat segala tentangmu membuat rinduku meluap, meronta-ronta mengharap jumpa. Kenangan, jika sudah begini, bisakah kau bertanggungjawab?

Sukabumi, 7 Oktober 2023