Seperti biasa, pagi itu aku mengantarkan anak sulungku ke sekolah menerobos kemacetan pagi dengan jangkrik tua ku. Yang lebih menantang pagi ini adalah menerobos macet ditengah hujan deras. Tepat dipertigaan sebelum sekolah anakku, telah berdiri 3 orang ustadz yang siap menunggu kedatangan siswa, mengenakan mantel lusuh dan payung yang patah tangkainya. Agak berat hati ini melepas turunnya anakku dari mobil dengan dijemput langsung oleh ustadznya tersebut. Kalau ada yang melihat, mungkin mataku sedang berkaca-kaca. Begitu mulia pengorbanan para ustadz. Begitu besar keikhlasannya, mengatur lalu lintas para wali murid yang mayoritas mengendarai mobil.

Anakku berjalan dengan dipayungi ustadnya, berlalu, hilang dari pandangan. Ku putar setir, melesat ditengah hujan. Masih terbayang dimata pemandangan yang mengharukan tadi. Tanpa pikir panjang, langsung kuarahkan roda ini menuju warung sarapan pagi, dan meminta untuk dibungkuskan soup 4 bungkus. Pakai nasi uni, dipisah kuahnyo.

Ku pesan Gojek untuk layanan Gosend. Aku inginn mengirimkan soup kepada para ustadz yang pasti kedingan dipertigaan sekolah anakku tadi. Ku sertakan secarik kertas yang bertuliskan “untuk ustadz yang dengan ikhlas berdiri dalam hujan dipagi ini.” Dari wali murid. Ku memang tak mau mereka tau, siapa yang mengirimkan soup itu pada mereka.

Aku kembali melanjutkan perjalanan ke madrasah tempat aku mengabdikan diri. Masih di pelataran parkir madrasah, salah seorang temanku berkata, “Honor yang kemaren udah bisa diambil sekarang di ruang bendahara” Berbalas sudah, Alhamdulillah yaa Allah.