Kupandangi tumpukan cucian yang belum disetrika. Akhir-akhir ini rasanya lelah sekali sejak Marni, asisten rumah tanggaku, aku pulangkan karena sakitnya tak kunjung sembuh. Aku khawatir dengan keadaannya maka kuputuskan untuk mengantarnya pulang ke desa. Ternyata tidak mudah mencari pengganti Marni. Beberapa orang menawarkan tenaga baru tetapi kami belum merasa cocok. Untungnya aku hanya tinggal berdua dengan suamiku. Dua belas tahun menikah kami belum diberi buah hati meski berbagai usaha sudah kami lakukan.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Lama-kelamaan kami terbiasa hidup tanpa asisten rumah tangga. Aku masih berharap Marni akan kembali bekerja padaku jika dia sudah sembuh dari sakitnya. Dia sudah tiga tahun bekerja denganku dan aku puas dengan kinerjanya selama ini. Suamiku sependapat denganku. Sudah enam bulan ini pekerjaan suamiku banyak di luar kota jadi aku lebih sering mengurus diriku sendiri. Dia hanya pulang di akhir pekan.

Suamiku mengabariku tidak pulang minggu ini karena ada pertemuan dengan pejabat daerah di mana suamiku mengerjakan proyek jalan raya. Untuk mengisi akhir pekanku aku memutuskan untuk mengunjungi Marni di desa sambil menanyakan kesediaannya bekerja denganku lagi. Ketika sampai di rumah Marni aku melihat pemandangan yang menusuk jantungku. Aku melihat seorang pria sedang menggendong bayi dan bercengkerama mesra dengan Marni. Ketika melihatku wajah mereka memucat karena pria itu suamiku.