Nurani Ike

I wanna be what I wanna be...

Selengkapnya
Navigasi Web

Selaksa Cinta di Gunung Halimun

Aku duduk di antara kerumunan para peserta penjelajahan Gunung Halimun yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Setelah turun dari truk Brimob yang membawa kami dari Buper Cibubur, kami beristirahat sebentar. Kemudian kami bersiap untuk melanjutkan penjelajahan ke Gunung Halimun.

"Sok atuh ambil, Teh." Seorang peserta perempuan yang duduk di sebelahku menawarkan jajanan kemasan kepadaku. Aku ambil sedikit. Memang aku tidak berselera untuk makan. Ya biasalah karena kalau naik kendaraan aku pasti mabuk.

"Ayo, Adik-adik, kita akan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ya." Teriakan kakak instruktur dari Universitas Tri Sakti membahana. Kami pun dikumpulkan berdasar kelompok masing-masing. Setelah berkumpul, kami berjalan sesuai dengan kelompok masing-masing. Aku sekelompok dengan peserta dari Bali, dari Gorontalo, dari Jawa Timur, dan dari Kalimantan. Kami pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Lelah rasanya. Namun, hati yang senang karena bisa mengikuti kegiatan ini, mengalahkan segalanya. Aku tetap bersemangat untuk melangkahkan kaki meskipun rasa pegal dan nyeri karena perjalanan yang jauh dan terjal harus aku tempuh.

Selama setengah hari sejak dari perjalanan etape kedua, kami akhirnya tiba di tempat yang dituju. Tempat lapang yang akan kami gunakan untuk bermalam. Kami dirikan tenda dari ponco untuk kami bermalam. Hawa dingin mulai merasuk ke dalam tulang. Minuman penghangat badan pun tidak bisa mengurangi dinginnya malam ini.

"Adik-adik yang di tenda ini berhati-hati ya, karena biasanya monyet-monyet pada turun," pesan Kak Banjung kepada kami.

Kami para gadis bergidik. Apa jadinya kalau tiba-tiba serombongan monyet turun ke camp kami.

"Tenang aja. Kami akan menjaga kalian para cewek." Suara seorang laki-laki menenangkan kami.

Aku melirik asal suara itu. Dia berjalan dari depan bivak kami, lalu berjongkok untuk bergabung bersama kami, para cewek. Dia dan cowok-cowok yang lain berada di luar bivak. Mereka akan menjaga kami selama tidur. Aku belum mengenal namanya. Saat berkumpul, kami pun berkenalan dan saling menyebutkan asal daerah masing-masing.

***

Keesokan paginya, aku berjalan mendekati tebing dekat camp. Deru suara aliran air sungai begitu keras terdengar. Ternyata camp kami dekat dengan sungai yang masih asli.

"Sudah sarapan?" tanya Kak Dewa tiba-tiba.

"Mmm sudah tadi Kak. Minum hangat juga udah."

"Kamu pakai celana pendek begitu apa nggak kedinginan?"

"Iya, Kak. Celanaku basah semua. Tinggal ini yang tersisa. Tapi, kalau aku berjingkat-jingkat begini, badanku jadi anget kok."

"Iya juga ya."

Kami masih membincangkan tentang kegiatan kami. Setelah ini kami akan melanjutkan perjalanan ke dalam hutan. Di tengah hutan nantinya kami akan berlatih rappelling karena di sana nanti akan ada air terjun setinggi 4 meter yang bisa kami gunakan.

****

"Aih!" teriak Kak Yani, peserta dari Kalimantan, "aku kena pacet nih!"

Aku dan teman-teman satu kelompok berhenti, melihat ke kaki Kak Yani yang berdarah. Dengan sigap para instruktur membantunya melepaskan pacet dari kaki Kak Yani. Mereka menggunakan tembakau untuk melepaskannya.

"Kamu tidak apa-apa kan?" tanya Kak Dewa sembari mendekatiku.

"Nggak, Kak. Aku baik-baik aja kok. Kasihan Kak Yani ya."

"Nah, makanya kita harus hati-hati. Yuk, kita ke air terjun, biar bisa nyoba reppelling-nya lebih dulu. Antreannya banyak loh nanti."

Aku mengekor Kak Dewa. Di belakangku ada beberapa anak perempuan yang juga ingin segera mencoba reppelling.

***

"Posisi badan tegak horisontal ya. Hampir 45 derajat, jadi nanti bisa turun dengan mudah. Hati-hati dengan pijakan kaki ke dinding tebing. Perhatikan itu!" Teriakan Kak Yamin sebagai tim instruktur kegiatan reppelling memberikan instruksi saat menuruni tebing.

"Wuih keren. Kamu bisa." Kak Dewa memberikan ucapan selamat kepadaku. Senyumnya mengembang.

"Iya, Kak. Sempat deg-degan loh. Aku takut banget. Alhamdulillah bisa," jawabku kegirangan.

***

Setelah kegiatan reppelling, kami berjalan menuju Desa Lebak. Desa itulah yang nantinya menjadi tempat penjemputan kami saat kembali ke bumi perkemahan. Sejak pertemiuan kami di camp di Gunung Halimun, Kak Dewa selalu mengiringi langkahku. Selalu ada untukku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren cerpen bu Ike. Asyik mbacanya. Tahu2 end.

28 Jun
Balas

xixi...tak terasa..habis

28 Jun

Ada yang jatuh cinta ya Mbak Ike. Salam literasi

28 Jun
Balas

Iya Bu...jatuh cinta memang indah

28 Jun



search

New Post