Nur Arifah Rory

Nur Arifah Rory,S.Pd Lahir di Malang, 27 Maret 1968 Tempat Tugas : TK Bougenville Kab. Pohuwato Gorontalo...

Selengkapnya
Navigasi Web
SEJUTA ASA YANG KELABU

SEJUTA ASA YANG KELABU

TAGUR_79

Sejuta Asa yang kelabu

Nur Arifah Rory,S.Pd

BAG. 16

“Kak, ayo cepetan nanti Kak Rani kelamaan nunggu.” Lovina bergelayut manja pada kakak lelakinya yang baru tadi pagi tiba.

Louis mengacak-acak puncak kepala Lovina, tapi gadis itu menepisnya lalu merapikan rambutnya dengan wajah cemberut.

Sudah lama Louis tak mengganggu sang adik, dia rindu wajah marah dan bibirnya yang mengerucut. Saat dia jauh di perantauan, rasa kesepian sangat menyiksanya. Jauh dari orang tua dan kakak adiknya menjadi tantangan tersendiri yang harus dia hadapi.

“Kamu bukan takut Rani lama nunggu, tapi udah pengen makan 'kan?” Lovina tertawa karena ketahuan, Louis tahu kalau sang adik hobi makan.

“Kok, Kak Louis tahu?” tanya Lovina sambil menggoyang lengan kakaknya yang dari tadi digelayutinya.

“Udah tercetak jelas diwajahmu,” jawab Louis menekan kening Lovina pelan dengan ujung jari telunjuknya.

“Ah, benar aja.” Lovina mencibir, Louis tertawa geli.

Lovina menengok ke belakang seperti ada orang yang menatapnya dari jauh.

“Ada apa?” tanya Louis itu menengok juga.

“Nggak ada apa-apa, kok.” Lovina menarik sang kakak untuk segera masuk kedalam.

Di dalam mobil yang masih terparkir satu wajah suram memperhatikan gerak-gerik keduanya, dia adalah Nathan.

Tangannya memegang setir dengan sangat kuat, terlihat jelas urat-urat berwarna menghiasi tangannya.

“Than,”panggil Joni sambil memegang tangan sahabatnya, dengan perlahan urat biru menghilang, dia mulai dapat mengontrol emosinya.

“Kenapa?” Joni menatap Nathan masih bingung, mengapa sahabatnya seperti itu.

“Lupakan.” Nathan menggeleng-gelengkan lalu meletakkan keningnya di tengah setir.

“Bukankah dia gadis itu?” Joni menunjuk ke arah pintu cafe, Nathan hanya diam saja.

“Ayo, kita balik lagi,” ajak Joni, tapi terkejut dengan jawaban lelaki kaku itu.

“Gak perlu, untuk apa ngejar cewek seperti itu. Cewek gak setia untuk apa dikejar.”

“Apa?” Joni membelalakkan matanya, kalau dia jadi perempuan dia juga tak mau dikejar lelaki dingin tak berperasaan seperti Nathan, untung dia lelaki memikirkannya dia jadi bergidik.

“Aku mau pulang, kamu pulang aja naik mobilmu.” Nathan mengucapkannya pelan tapi sepertinya dia sedang mengusir Joni.

“Mungkin itu kakaknya,” kata Joni masih berusaha untuk membuat Nathan berubah pikiran.

“Kemarin dengan lelaki yang dia pacar, sekarang lelaki apa lagi?”

Joni tertawa dalam hati, luar biasa gadis satu ini bisa bikin seorang Nathan kalang kabut.

“Turun!” Nathan menyuruh Joni keluar dari mobilnya.

“Jangan marah, selidiki dulu. Jangan sampai kamu menyesal.” Joni segera keluar sebelum Nathan lebih marah.

Joni geleng-geleng kepala sambil menatap kepergian Nathan, setelah mobil sahabatnya jauh dari pandangannya, lalu dia melangkah ke mobilnya.

Di dalam cafe, Lovina memesan banyak makanan dan minuman, seolah dia belum makan satu minggu.

“Mampu makan semuanya?” tanya Louis keheranan, Rani hanya tertawa pelan sambil menutup mulutnya.

“Kenapa sih, Kak? Sewot amat.” Lovina tak peduli dengan ejekan kakaknya.

“Bukan Kakak sewot, tapi makan segitu banyak perutmu gak sakit?”

“Iya, apa gak takut jadi gemuk? Nanti gak ada yang suka, loh,” sambung Rani.

“Aduh, Kakak-kakak yang baik hati dan tidak sombong, gak usah khawatir ya,” jawab Lovina sambil menatap keduanya, lalu dengan tak acuh menyelesaikan makannya.

***

Hari ini Lovina pergi ke kampus diantar kakaknya, dengan wajah ceria gadis terus memamerkan senyumnya, seperti fajar pagi merekah.

Di pintu gerbang menunggu Serra dengan motor meticnya, mereka sudah janji bertemu disitu.

Setelah menurunkan Lovina, Louis langsung menuju perusahaan papanya, karena papa menyuruhnya ke sana.

“Vin, bukannya ditahan sebentar, aku kan ingin melihat si ganteng,” rajuk Serra.

“Lebay! Ganteng-ganteng, ingat Bang Sapta.” Lovina menoyor kepala Serra.

“Aduh! Sakit, tau!”

“Lebih sakit hatinya Bang Sapta, mau diselingkuhi.”

“Apaan sih? Itu bukan selingkuh, dodol! Itu hanya sebagai selingan, ibarat nonton film itu iklannya,” cerocos Serra, ditanggapi pelototan Lovina.

“Ah, dahlah! Ayo, kita ke kelas,” ajak Lovina sambil menarik tangan sahabatnya.

Serra membonceng Lovina sampai di tempat parkir, mereka melangkah di koridor panjang menuju kelas.

“Hai, Serra!” Serra menoleh lama memandangi orang yang memanggilnya, sepertinya dia pernah mengenal sosok ini.

“Lupa, ya? Aku Nia, Nathania,” jelas gadis itu, Serra memutar otaknya dia pernah punya teman bernama Nia atau Nathania tapi apakah dia? Serra masih ragu.

“Kamu Nathania yang gendut itu? Ups, maaf.” Serra menangkup dua tangannya.

Nia mengangguk malu-malu, dulu dia memang gadis gendut yang pemalu, karena minder dengan bobot tubuhnya yang di luar batas wajar.

“Beneran, kamu Nia?” tanya Serra takjub, bayangkan saja gadis gendut itu menjelma jadi gadis cantik, langsing dan ceria.

“Senengnya ketemu temen lama.” Nia memeluk tubuh Serra dan akhirnya mereka berpelukan seakan sedang mengadakan reuni, Lovina hanya dapat memandang dengan senyuman.

“Nia, kenalin, ini sahabatku.” Tersadar bahwa ada Lovina bersama mereka.

“Nia.” Gadis bernama Nia menyodorkan tangannya, Lovina menyambutnya dengan senyuman.

“Lovina.”

“Ayo, kita ke kantin dulu, aku belum sarapan tadi,” ajak Lovina, Serra dan Nia menyetujuinya.

Dari jauh seorang lelaki melihat interaksi ketiganya tanpa ekspresi.

Karena lain jurusan, mereka berpisah Nia ke kelasnya begitu juga Serra dan Lovina ke kelas mereka.

“Nanti selesai kelas, ketemu di kantin ya,” pinta Nia pada dua gadis yang berjalan bersisian.

“Oke,” jawab Serra, Lovina hanya mengangguk dan tersenyum.

Sambil berjalan Serra menjelaskan bahwa Nia adalah temannya waktu SMP, dia gadis pemalu, sering di-bully karena berat badannya.

“Dietnya sukses, luar biasa,” ucap Serra tak percaya.

Mereka sampai di kelas dan terburu-buru masuk karena dosen sudah datang, untung bukan Mister Killer.

Lovina fokus mengikuti mata kuliah, tak dipedulikan Serra dengan kegiatannya mengipasi tubuh tubuhnya, akibat pendingin ruangan kelasnya rusak.

Beberapa orang gadis lainnya juga melakukan hal sama, suhu di ruangan terasa panas, walau jendela sudah dibuka tapi tetap saja tak mengurangi rasa panas.

Kelas berakhir dengan penuh drama, bukan hanya mahasiswa yang kepanasan, dosen baik hati itupun merasakan panasnya.

Serra segera menarik Lovina keluar dari neraka, saking panasnya membuat Serra mengatakan seperti itu.

Dengan menyeret langkah, Lovina mengikuti sahabatnya, saat angin semilir menerpa tubuh, mereka merasa lega.

Nia melambaikan tangan, Serra dan Lovina menghampiri gadis itu.

“Maaf, aku sudah dijemput, besok aja ketemu di kantin.” Wajah Nia menampakkan rasa sesal karena tak bisa bergabung.

“Iya, gak apa-apa, besok kita masih bisa bertemu.” Serra memakluminya.

“Kenalin ini, kakakku,” kata Nia lalu menyenggol kakaknya, lelaki itu diam dengan wajah datar.

Serra tak peduli dengan sikap lelaki itu, dia menyodorkan tangannya berkenalan dan tak disambut.

Saat Lovina menatap lelaki itu, ada perasaan aneh menjalari tubuhnya, lelaki dengan ekspresi datar itu agak terkejut.

“Ayo, pulang!” Lelaki itu berbalik meninggalkan tiga gadis yang terpaku dengan pikirannya masing-masing.

Pohuwato, 02 Juni 2021

Bersambung.
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post