Nur Arifah Rory

Nur Arifah Rory,S.Pd Lahir di Malang, 27 Maret 1968 Tempat Tugas : TK Bougenville Kab. Pohuwato Gorontalo...

Selengkapnya
Navigasi Web
SEJUTA ASA YANG KELABU

SEJUTA ASA YANG KELABU

TAGUR_76

SEJUTA ASA YANG KELABU

Nur Arifah Rory,S.Pd

BAG. 13

Pagi hari di kediaman keluarga Rahardian Prawira.

“Selamat pagi, Ma. Pagi, Pa,” sapa Nia sambil mencium kedua orang tuanya bergantian, meletakan tasnya dikursi lalu duduk dikursi kosong di sebelahnya.

“Mana kakakmu?” tanya papa sambil mendongak ke lantai dua.

“Baru selesai mandi, kayaknya,” jawab Nia, lalu mengambil nasi dan lauk pauknya.

Mama mendongak siapa tahu anak sulungnya sudah selesai, tidak biasanya jam seperti ini belum berada dimeja makan.

“Sebentar lagi juga turun, Ma,” ujar Nia sambil menyuap makanannya.

“He, anak gadis makannya banyak amat,” komentar mama, membuat Nia menghentikan suapannya.

“Ah, Mama. Kenapa sih kalau Nia mau makan banyak?” Nia Kesal, kalau kakaknya mala disuruh makan banyak, giliiran dia dilarang makan banyak-banyak.

“Mau badanmu jadi gembrot?” Nia makin cemberut dan menyudahi sarapannya, papa yang melihat interaksi dua perempuan kesayangannya hanya bisa geleng kepala.

“Ma, biarin aja kalau dia suka makan banyak, uang papa masih cukup untuk beli makanan, kok.” Merasa ada yang membelanya Nia besar kepala, dia mengangguk setuju dengan kalimat yang diucapkan sang papa.

“Bukan takut kehabisan uang, Pa. dia ‘kan anak perempuan, ya dijaga toh, pola makannya. Jangan asal enak rasanya diemplok semua,” kata mama kesal.

“Kamu juga Nia, dengerin kata Mama.” Papa mencoba netral agar istrinya tidak marah berkepanjangan, bisa bahaya nanti bisa terjadi gencatan senjata.

“Iya, deh. Maafin Nia ya, Ma,” kata Nia mengalah dari pada uang jajan musnah, jatah bulanan ‘kan mama yang atur, kalau bikin kesal mama akibatnya runyam.

“Pagi semua! Ada apa ribut-ribut?” Tiba-tiba Nathan sudah berada diantara mereka, Nia hanya menggeleng tak mau memperpanjang masalah.

“Biasa, ciwik-ciwik punya urusan,” ujar papa mencoba mencairkan suasana, mama yang tadi bermuka masam langsung memberi senyum termanis buat anak sulungnya.

“Kak, antarin ke kampus ya,” mohon Nia dengan wajah imutnya.

“Kenapa mobilmu?” Nathan bertanya sambil meminum susu yang disodorkan mama.

“Masuk bengkel, Kak. Tolong antarin, dong,” pinta Nia dengan mata genitnya, senyumnya langsung mengembang bagai matahari pagi, saat sang kakak mengangguk.

“Terima kasih, Kakak gantengku,” puji Nia sambil memeluk lengan kiri kakaknya.

“Udah gak usah pegang-pegang, nanti baju Kakak kotor,” ujar Nathan, hampir saja susu yang dipeganngnya tumpah. Nia cemberut, kenapa dengan adiknya sendiri tak mau disentuh, gadis itu menafsir sembarangan.

“Itu lihat, susunya hampir tumpah gara-gara kamu tadi pegang-pegang.” Mama menunjuk susu ditangan Nathan.

“Maaf,” kata Nia, karena sudah berprasangka buruk dan hampir membuat baju kakaknya kotor.

“Ayo, berangkat sama Papa aja,” ajak papa lalu berdiri, mama membantu papa mengenakan jasnya.

“Nia diantar Kak Nathan aja, Pa.” Dia sengaja minta antar kakaknya sebagai ajang pamer. Siapa yang tak bangga diantar lelaki ganteng seperti kakaknya?

Nia mengusap ujung bibirnya dengan tisu dan mengambil ponsel sebagai cermin supaya tidak ada noda bekas makanan yang tertinggal dibibirnya.

Nathan juga membersihkan mulutnya dengan tisu, pertanda acara sarapan telah selesai. Saat Nathan hendak berdiri mama menahannya.

“Jam tujuh malam kita akan silaturahmi ke Rumah keluarga Wadoyo, jadi kamu jangan pulang malam-malam.” Alarm di hati Nathan langsung berdenting, tak salah lagi mereka akan membicarakan tentang pertunangannya.

“Than, jangan lupa, loh.” Mama mengingatkan, Nathan tersentak dan hanya bisa mengangguk. Nia tersenyum walau dalam hati ikut kecewa, dia tahu sang kakak tidak menyukai perjodohan ini, tapi dia tak bisa banyak membantu. Apalah dirinya hanya butiran debu.

“Ayo, Kak.” Nia menggandeng tangan kakaknya, lelaki itu mengikuti langkah adiknya yang manja.

Mereka berjalan bersisian, Nia bergelayut manja membuat Nathan terhibur. Kalau saja dia bisa mencoba membuka hati untuk Devina, mungkin keresahan ini tak berlarut-larut.

Cinta itu bagai daun yang terbang tertiup angin dan jatuh disembarang tempat, dia tak bisa memilih mau jatuh dimana dan akan diterbangkan kemana. Seperti halnya perasaan cintanya bagai daun yang diterbangkan angin jatuh pada gadis kecil di foto lusuh itu.

“Kenapa, Kak?” tanya Nia saat mendengar helaan nafas sang kakak, Nathan mengelus rambut Nia dengan sayang dan menjawab: “Nggak ada apa-apa.”

“Sabar ya, Kak. Semua pasti ada solusinya,” kata Nia sok bijak, Nathan tersenyum ternyata adik kecilnya sudah mulai dewasa.

Beberapa menit kemudian, Nathan menghentikan mobilnya tepat di kampus adiknya tapi Nia tak berniat turun.

“Kenapa? Mau apa lagi?” tanya Nathan menyelidik, gadis manja itu tersenyum dengan gaya malu-malu.

“Kak, turun sebentar, dong.” Nia berharap sang kakak mengabulkan permintaan kecilnya ini.

“Untuk apa? Kakak masih banyak kerjaan, nanti lain kali aja, ya.” Nia menunjukkan jari telunjuknya, “Plis, sekali, aja!”

Dengan menahan kesal Nathan keluar dari mobil, berdiri dipintu menunggu Nia keluar dari pintu sebelahnya.

“Kak, tunggu sampai aku jauh, ya. Baru Kakak boleh pergi,” pinta Nia yang membuat mata lelaki itu mendelik.

“Plis, senyum, dong. Banyak ciwik-ciwik cantik di sini, siapa tau ada yang Kakak taksir,” goda Nia, bukannya senyuman yang dipasang diwajahnya, tapi sebuah seringaian, mana ada gadis yang naksir kalau begini? Benar-benar parah.

“Kak, aku masuk dulu, ya.” Nia melangkah pergi saat teman-teman sekelasnya memanggilnya.

Teman-temannya heboh melihat pemandangan indah ciptaan Tuhan yang terpampang di depan mereka, Nia merasa bangga dalam hati dan terus tersenyum.

Nathan menatap kepergian adiknya dan memperhatikan tingkah gadis-gadis sebaya adiknya yang terlihat norak.

Dia masih bergeming di tempat itu, padahal Nia sudah hilang dari pandangannya, sampai satu sosok yang membuat jantungnya berdetak ribuan kali dan dia merasa hidup.

Dia mencari dengan matanya, kemana perginya sosok itu? Apa ini hanya ilusi? Atau halusinasi?

Tidak mungkin! Matanya belum rabun, masih normal bahkan lebih dari normal. Nathan melangkah kearah di mana matanya memindai sosok itu, tapi tak ditemukan.

Dia tak percaya kalau matanya bisa membohonginya, sekali lagi diedarkan pandangannya disetiap sudut. Hasilnya nihil, sosok itu benar-benar lenyap ditelan bumi.

Seperti pemburu yang kehilangan buruannya, Nathan masuk ke dalam kampus, siapa tahu sosok itu ada di sana. Lelaki itu seperti orang linglung, kadang berjalan kesana kemari, lalu berlari mencari disetiap ada gerombolan mahasiswa. Gila!

Nathan tak pernah membayangkan kalau dirinya akan segila ini, bagaimana tidak dia mencari sampai ke area toilet.

“Oh, Tuhan! Apa yang terjadi pada diriku?” tanyanya dalam hati, sambil menyesali kelakuannya yang di luar batas kewajaran.

Namun, tiba-tiba saat dia berbalik seseorang menabraknya, kemarahannya sudah memuncak dan hampir dikeluarkannya. Dia terbengong, begitu juga orang yang menabraknya.

“Maaf-maaf, saya terburu-buru.” Gadis itu segera berlari menuju gedung panjang di depan sana.

“Hei! Tunggu!” Nathan hendak mengejarnya tapi suara dering nada ponselnya menghentikannya.

“Sial!” umpatnya kesal, ponsel yang ada di saku celananya terus meraung-raung.

“Halo, Pa” sapanya sambil menetralkan detak jantungnya.

“Iya, ini masih di kampus, segera menuju kesana,” lanjutnya sebelum papa bertanya.

Pohuwato, 30 Mei 2021

Bersambung.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post