Nur Arifah Rory

Nur Arifah Rory,S.Pd Lahir di Malang, 27 Maret 1968 Tempat Tugas : TK Bougenville Kab. Pohuwato Gorontalo...

Selengkapnya
Navigasi Web

SEJUTA ASA YANG KELABU

TAGUR_64

Judul : Sejuta Asa yang kelabu

Penulis : Nur Arifah Rory, S.Pd

Genre : Romance

Bag. 2

Hai, Guys!” sapa Lovina dengan senyum mengembang.

Beragam ekspresi ditampilkan teman-temannya karena keterlambatannya, apalagi ekspresi Serra dengan kata-katanya panjang dan lebar kalau bisa diukur sama dengan jarak dari Jakarta-Bandung.

“Begadang melulu,” semprot Serra, Lovina hanya tersenyum.

“Biasalah,” jawab Lovina sambil tertawa. Serra menyodorkan minuman pesanan Lovina.

“Siapa, cowok tadi?” tanya Serra menggoda, Lovina menggeleng sambil mengangkat bahu.

“Gak tahu, gak kenal,” jawab Lovina berbisik.

“Jangan main rahasia-rahasiaan,” ancam Serra dengan mata melotot.

“Kalian gak pesen makanan? Pesen, gih. Aku gak sempat sarapan tadi,” kata Lovina mengalihkan pembicaraannya, Serra seperti polisi mengintrogasi penjahat saja.

Lovina menyeruput jus alpukat kesukaannya, dia gerah dengan pertanyaan sahabatnya, untung yang lain hanya diam saja.

“Tenang, nanti kubayarin,” sambung Lovina, karena tak satupun dari mereka yang memesan, justru mereka saling tatap dan takut-takut.

“Vin, kita semua ada sepuluh orang, loh,” bisik Serra, Lovina menoleh.

“Emang kenapa?” tanyanya berbisik.

“Bener, kamu traktir?” tanya Serra memastikan, Lovina mengangguk.

“Ayo, pesen-pesen, mau makan apa kalian?” Serra tersenyum senang sambil mengambil buku menu dan memberikannya pada yang lain.

Serra mencatat semua pesanan mereka, ada yang pesan nasi goreng, ayam lalapan dan ayam geprek.

Sambil menunggu makanan datang, mereka membicarakan agenda meeting yang sudah disiapkan sekretaris kelompoknya.

Pembicaraan mereka terpotong karena pelayan yang mengantar makanan mereka sudah datang.

“Oke, sekarang kita makan dulu,” kata Serra, karena sudah lapar Lovina pun melahap makanannya.

Serra adalah sahabat Lovina sejak duduk di bangku SMA, pertemuan mereka berawal dari MOS (Masa Orientasi Sekolah).

Gadis cerewet yang sok kenal sok dekat itu membuat Lovina nyaman bergaul dengannya.

Teman-teman kelasnya selalu bilang pada keduanya, “Kalau gak ada Lo gak rame!”

Lovina bersyukur bertemu gadis seperti Serra, biar mulutnya bawel tapi baiknya luar biasa, mengingatnya saja membuat Lovina senang, tersungging senyuman di bibirnya.

“Ingat, kamu masih berhutang penjelasan ke aku,” bisik Serra, Lovina menoleh sebal.

Baru saja dibilang baiknya luar biasa, sekarang bikin sebal.

“Dasar bawel,” gerutu Lovina, lalu melanjutkan makannya.

Pembahasan kelompok mereka sepertinya belum selesai tapi tidak enak pada pemilik dan pengunjung cafe, akhirnya Serra memberi keputusan dlanjutkan besok.

“Tunggu aku di luar, ya.” Lovina beranjak menuju kasir, kembali dia bertabrakan dengan lelaki tadi.

Lovina memunguti isi dompetnya, lelaki itu memberikan kartu identitas Lovina yang kebetulan terlempar dikakinya.

Seperti tadi, diam tanpa kata dan berlalu begitu saja. Lovina memandangi punggung lelaki itu, dengan kesal yang membuncah dalam hati.

“Dasar, sombong.” Kembali dia mengumpat, baru beberapa jam saja, dia sudah dua kali mengumpat pada orang yang sama.

Lovina berjalan menuju kasir dan membayar makanan mereka.

“Terima kasih,” ucap Lovina sambil menerima uang kembalian.

Kasir itu tersenyum ramah sambil mengucapkan terima kasih.

Sesampainya di luar langsung dihadang Serra dengan berbagai pertanyaan seputar lelaki sombong yang ditemuinya tadi.

“No komen,” ujar Lovina malas, sudah dibilang bahwa dia tidak mengenalnya dan baru bertemu tadi, tapi Serra tak percaya.

“Ada apa sih, dari tadi ngomong bisik-bisik?” tanya Dino dan Rafa, dua lelaki di kelompoknya.

“Iya, mencurigakan sekali,” timpal Leni, gadis bermata sipit, yang lain juga ikut memandangi Serra dan Lovina minta penjelasan.

“Tau, tu Serra,” jawab Lovina cemberut.

“Dengar ya Guys, temen kita satu ini akan melepas masa lajangnya,” goda Serra yang dihadiahi pukulan Lovina.

“Aduh, sakit.” Serra mengelus lengannya yang dipukul Lovina, walaupun pelan tapi lumayan sakit juga.

“Heh, kamu mau kawin?” Serentak teman-temannya memandang Lovina keheranan.

“Apaan sih? Aku masih bau kencur gini, mau kawin? Nggak lah ya,” cerocos Lovina bergidik, tak ada dalam pikirannya menikah diusia belia. Mau kawin? Pacar saja belum punya.

Serra tertawa terbahak-bahak, diikuti teman-temannya yang lain, Lovina cuma bisa mengerucutkan bibirnya.

“Maksudku begini Guys, dia sebentar lagi punya gebetan,” jelas Serra, yang lain serius menanggapi.

Dipandangi puluhan mata taman-temannya membuat Lovina risih, dia menggeleng sambil menggoyang kedua tangannya seperti dadah.

“Tadi liat gak, cowok yang bertabrakan dengannya pas baru datang?” tanya Serra mengorek ingatan teman-temannya.

Ada yang mengangguk, ada pula yang menggeleng, mereka memperhatikan Lovina yang tampak mulai pasrah dengan tuduhan itu.

Konprensi dadakan oleh Serra terhenti karena kehadiran tersangka utamanya keluar dari pintu cafe.

“Itu orangnya....” Serra tidak meneruskan kalimatnya, tapi semua sudah terpaku menatap lelaki ganteng dengan wajah datar.

Didampingi seorang gadis berambut panjang, cantik nan elegan.

Doni dan Rafa tertegun melihat pemandangan indah yang sedang meliuk-liuk disebelah lelaki ganteng itu.

“Wei, pada kesambet ni cowok-cowok.” Leni dan Rita memukul punggung kedua temannya.

“Apaan sih?” Rafa memarahi Leni karena merasakan pukulan gadis bermata sipit itu. Doni juga tak kalah sengit, apalagi yang memukulnya Rita.

Sudah menjadi rahasia umum kalau Rita punya perasaan lebih pada Doni, tapi lelaki itu pura-pura tak tahu.

Serra menelan salivanya, ada rasa kecewa dalam dada seperti ada yang menggaruk hatinya.

“Ya, kok dia udah punya pacar ya? Jangan sedih ya, sebelum janur kuning melengkung, masih ada kesempatan.” Lovina menoyor kepala sahabatnya karena ucapannya yang konyol.

“Aduh, sakit tau. KDRT banget!” teriak Serra yang dipelototi Lovina.

Teman-temannya terbahak mendengar apa yang diucapkan Serra, membuat lelaki ganteng dan gadis cantik yang sedang melewati mereka menoleh, Lovina tersenyum malu.

Mereka memandangi punggung kedua orang yang tampak serasi itu dengan perasaan iri.

“Ayo, kita pulang,” ajak Lovina.

Satu persatu mereka pamit, ada yang naik motor, ada juga yang naik taksi, kini tinggal Serra dan Lovina.

“Ayo, kuantar. Aku bawa motor,” tawar Serra lalu menarik sahabatnya ke tempat parkir motor.

Tak disangka mereka berpapasan dengan lelaki ganteng itu, Serra tersenyum tapi tak digubris, hanya bisa mengumpat dalam hati.

“Benar namamu, Lovina Ramayani?” tanya lelaki itu.

Serra dan Lovina saling menatap, hanya bisa bertanya dalam hati, dari mana lelaki ganteng tahu nama Lovina?

Lovina penasaran menatap lelaki sombong itu, tanpa berkata tapi dalam hati bertanya, dari mana dia tahu namaku?

***

Pohuwato, 18 Mei 2021

Bersambung.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

cerpen yang menarik bu

18 May
Balas

Terima kasih hadirnya

18 May



search

New Post