Nurfitriani

Nurfitriani Makkasau Ramli, lahir di Ujung Pandang yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kota Makassar, Sulawesi Selatan, 19 Mei 1988. Saat ini mengajar di sa...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sekeras Karang (Tantangan Menulis Hari ke 15)

Sekeras Karang (Tantangan Menulis Hari ke 15)

Masih jelas diingatan, bagaimana kehidupan kami dulu. Hidup bahagia serba berkucukupan. Ayah ibu memperlakukan kami dengan sangat baik, memenuhi segala kebutuhan tanpa susah sedikitpun. Bukan juga kaya, cukup sederhana, yang dirasa terlebih pada kebahagiaan. Saat anak anak lain belum mampu memiliki, ibu selalu berusaha agar kami memilikinya. Apapun itu.

Pendidikan kami pun sama, meski ayah tdk tammat SD dan Ibu hanya tamatan SMP, tapi mereka berusaha agar kami bisa lebih baik, menguliahkan saya dan adikku. Saat saya lolos di perguruan tinggi, ayah sangat bangga. Kulihat dari kejauhan Ayah menatap dalam kampus tempatku menuntut ilmu diatas motor bututnya. Dan sampai saat beliau meninggal, salah satu sahabatnya datang dan mencariku. Sahabat nya menyampaikan kata kata yg tidak bisa kulupakan sampai saat ini, "Bapakmu bangga sekali nak, sampai almarhum menceritakan kamu ke teman temannya, anakku sekarang kuliah", dia bisa menguliahkan anaknya dengan segala keterbatasannya.

Sampai beliau berpulang, harapan itu tetap ada. Ayah menginginkan anaknya punya masa depan yang lebih baik, cukup dia yang seperti itu. Sehari sebelum Idul Fitri di tahun 2008, beliau berpulang secara mendadak. Hingga kini, saat malam takbir, perasaan selalu tidak enak. Selalu terbayang kejadian itu.

Hidup keluarga kami mulai goncang, ibu berjuang sendiri menyelesaikan sekolah keempat anaknya. Berjualan barang rumah tangga, kantongan, minyak tanah, solar sampai gas elpiji, apa pun yang bisa menjadi uang tidak pernah dilewatinya. Hampir lima tahun hidup menderita tanpa anaknya tahu. Akhirnya sakit karena kelelahan, selama ini jarang makan karena uangnya lebih baik disimpan untuk kuliah kami berdua dan sekolah adikku yang ketiga dan keempat. Sakitnya bukan main main, ibu terkena kanker hati. Selama ini sakitnya ia tutupi, dan ketahuan saat wisuda saya. Dalam keadaan sakit Ibu berusaha menghadiri wisudaku, darah mimisan yang tidak hentinya bercucuran. Saat itu kami mengira hanya mimisan biasa, setelah diperiksa dokter menyampaikan hatinya membesar dan mulai rusak.

Selang sebulan sakit ibu semakin parah, terakhir dokter menyampaikan kalau penyakitnya tidak bisa diobati lagi, hanya diberikan obat penahan sakit. Perut ibuku membesar dan mengeras, badan nya hanya tinggal tulang dan saat buang air kecil sudah bercampur darah. Saat itu ibu membisikiku, "Jaga adek adekmu nak, selesaikan sekolahnya", dengan tatapan kosong Ibu menyampaikan pesananya. Masih saja ia memikirkan nasib anak anaknya.

Duka yang begitu membekas, dan saya tidak bisa berbuat apa apa, selain menyaksikan Ibuku semakin menderita dari hari ke hari. Sampai tiba saat beliau berpulang, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, dan aku mendengar setiap perkataannya sebelum meninggal. Sehari sebelumnya Ibu memberikan semua emas yg ada di tubuhnya, cincin untuk adekku dan anting anting yang ia pasangkan langsung di telingaku. Beliau juga menyampaikan semua tempat penyimpanan uangnya. Banyak tabungan yang beliau simpan untuk kami. Oh ibuku, lirih kusebut namanya.

Malam mulai mencekam, Ibu berusaha menahan sakitnya, peluh membanjiri sekujur tubuh. Kami mengelilinginya sambil membacakan ayat ayat Al Qur'an, Ibu sedang sakratul maut. "Ya Allah", tak henti air mata menetes. Sampai saat terakhirpun, ia masih menghawatirkan kami anak anaknya, "Bagaimana kalau saya pergi, tidak ada yang menjaga anak anakku", sahut ibuku sambil menahan sakit dan air mata yang terus mengalir. Sampai salah satu saudara ibuku menjawabnya, "Ada kami yang menjaga anak anakmu, pergilah dengan tenang dek". Sesaat setelah mendengar itu, Ibu perlahan melepaskan nafasnya, sampai beliau meninggal dunia. Tepat di tahun 2013 silam.

Sejak kepergian mereka berdua, hidup kami berubah drastis. Kami hanya tinggal berempat. Berusaha menyambung hidup dengan melanjutkan jualan Ibu, menyelesaikan pendidikan adekku yang terakhir walau dengan tertatih. Barulah kami menyadari arti hidup yang sesungguhnya, kerasnya kehidupan dan kami berjuang sendiri.

Takdir menguatkanku sekeras karang. Meski dihantam ombak bertubi tubi, namun aku tetap kokoh berdiri. Aku masih punya sajadah, tempatku bersujud. Di sana kuluapkan keluh kesahku saat hidup kembali memusuhiku. Tak terhitung lagi air mata sampai aku lupa bagaimana caranya menangis.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Luar biasa. Tulisan yang sangat inspiratif. Kisah kehidupan yang tidak jauh berbeda dengan saya. Hingga tak terasa belum selesai membaca hingga akhir, air mata mengalir deras. "Tidak ada yang tidak mungkin. Di tengah keterbatasan dalam kehidupan, impian hidup akhirnya bisa terwujud". Lelah telah menjadi lillah.

24 Feb
Balas

Sebenarnya takut menulis ini pak, takutnya terkesan mengeluh. Maunya cukup kami yang tahu dan menjalaninya.... Terima kasih bapak sudah care sama kisah saya.... Dan semoga kita semua tetap kuat dengan tantangan hidup yg tidak mudah. Tak ada kata menyerah sampai mata tertutup selamanya, saat itulah kita beristirahat.

24 Feb



search

New Post