NUR HAMIDAH

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
DIPAKSA PUTUS SEKOLAH KARENA HAMIL
http://entrepreneurshiplearningcenter.blogspot.co.id

DIPAKSA PUTUS SEKOLAH KARENA HAMIL

Aktivitas mengajar di jam terakhir membutuhkan tenaga ekstra. Apalagi di kelas IX-C siswa-siswanya sangat unik. Udara panas, rasa gerah membuat anak-anak sulit diajak konsentrasi untuk belajar. Tak jarang saya harus mengajak mereka untuk belajar di luar kelas biar suasana tetap menyenagkan. Di kelas ini perhatian saya selalu tertuju pada salah satu siswa perempuan bernama Sinta. Beberapa waktu pertemuan pelajaran saya dia selalu absen. Saya pun memanggil dan menanyakan kabarnya. Anak ini bercerita bahwa beberapa hari yang lalu sempat sakit dansekarang sudah sembuh. Saya pun merasa tidak ada tanda-tanda kalau dia bohong. Saya tahu dia anak yang pendiam, tidak pernah membuat masalah. saya hanya berpesan lain kali supaya mengirim surat jika tidak masuk sekolah.

Beberapa waktu sejak peristiwa itu rupanya kejadian terulang lagi. Sudah tiga kali pertemuan pelajaran saya dan Sinta selalu absen. Menurut teman-temannya dia sudah keluar dan tidak sekolah lagi. “lho kenapa? Tanya saya terheran. Tidak tahu bu? Jawab anak-anak secara serentak. Saya pun langsung menghubungi wali kelas dan menanyakan kondisi yang sesungguhnya. Rupanya pak Anto wali kelasnya tidak begitu memperhatikan hal tersebut. Selanjutnya saya pun mencari informasi ke BK. Bu Sri guru BK di sekolah kami menjelaskan kondisi Sinta. Menurutnya beberapa hari yang lalu orang tuanya datang ke sekolah dan menyatakan bahwa Sinta mau keluar dari sekolah. Saya masih mendengar cerita bu Sri dengan nada penasaran.

Apakah ada masalah yang serius? Saya bertanya dengan rasa penasaran saya. “Tentu bu”, jawab bu Sri. Anak ini hamil lanjut bu Sri menegaskan kalimatnya. Bagai disambar petir mendengar semua itu. “kita kecolongan lagi bu, satu lagi anak kita menjadi korban pergaulan bebas” kata bu Sri. “tapi dia sudah kelas sembilan bu, kenapa kita harus mengambil tindakan mengeluarkan anak ini, ujian nasional tinggal beberapa bulan, kita harus menyelamatkannya untuk tetap bisa sekolah sampai menyelesaikan ujian”. Jelasku pada bu Sri. Sambil menghela nafas bu Sri berkata “tidak bisa bu, orang tuanya sudah menandatangini surat pengunduran diri”. “siapa yang membuat surat pengunduran diri, sekolah, guru BK, atau orang tuanya?. Tanyaku. sedikitpun tak ada jawaban yang menyenangkan. Saya sangat kecewa, kenapa sekolah harus memperlakukan anak bermasalah dengan cara seperti ini. Dengan penuh rasa kecewa dan marah saya keluar dari ruangan BK.

Di ruang guru tidak ada satu pun guru yang membicarakan kasus ini. Itu pertanda kalau masalah ini memang sengaja dirahasiakan. Ini bukanlah kali pertama kejadian serupa menimpa salah satu anak didik kami. Namun lagi-lagi cara yang sama yang selalu dipakai. Penyelesaian masalah selalu mengorbankan hak anak untuk tetap bersekolah. Orang tua selalu ditodong dengan surat pernyataan pengunduran diri. Tentu saja pada saat itu orang tua terpaksa menandatangani karena merasa anaknya sudah melakukan pelanggaran berat, disamping itu orang tua sudah terbebani dengan rasa malu dan lain sebagainya. Tak jarang saya harus berdebat dengan guru BK mengenai hal ini. Namun selalu sama ujung-ujungnya hanya debat yang membuat hati terasa sangat kecewa.

Saya selalu terlambat mengetahui hal ini. Sehingga saya merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Andai saya mohon ke kepala sekolah untuk tetap memanggil dan memberi kesempatan pada anak ini untuk tetap bersekolah pun rasanya percuma. Daftar nominasi peserta ujian nasional sudah final dan dimasukkan ke dinas pendidikan. Sinta sudah tidak memiliki kesempatan untuk sekolah lagi dan mengikuti ujian nasional.

Tanpa berdiskusi dengan guru BK dan guru lainnya, saya menghadap kepala sekolah. Saya menjelaskan bahwa tindakan kita mengeluarkan anak ini adalah suatu kesalahan besar. Dan atas kesalahan tersebut orang tua bisa menuntut sekolah atas pelanggaran hak anak dalam pendidikan. Pak Budi kepala sekolah kami cukup mengerti dengan penjelasan saya. Dia pun bertanya “lalu apa yang harus kita lakukan?”. “Kita harus bisa menjamin Sinta untuk tetap bisa mengikuti ujian sampai lulus dan mendapatkan ijazah”. Jawab saya dengan penuh permohonan. “Kita harus bantu anak ini pak, setidaknya kita bisa ikutkan ujian paket B yang setara dengan ujian SMP”. Kepala sekolah pun memahaminya dan menugaskan saya untuk mengurus semua.

Hal pertama yang harus saya lakukan adalah mencari Sinta dan keluarganya. Tak sulit saya menemukan rumahnya karena tidak begitu jauh dari tempat tinggal saya. Namun sesampainya di sana saya hanya bertemu dengan sang nenek yang selama ini merawat Sinta. Namun Sinta tidak ada di rumah, dia sudah melahirkan dan dibawa ayahnya ke Kalimantan. Saya tahu bahwa keluarga pasti terbebani dengan aib yang begitu besar. Saya lihat beban malu sang nenek yang tersembunyi di balik isak tangisnya. “saya malu bu, saya juga tidak menyangka kalau Sinta bisa berbuat seperti itu. Sehari-hari dia juga pendiam lho bu”. Saya mendengar cerita sang nenek dengan rasa sedih.

Nenek ini bercerita panjang lebar tentang cucunya yang sejak kecil ditinggal oleh kedua orang tuanya yang harus bercerai. Ayah Sinta menikah lagi dan tinggal di Kalimantan, begitu juga ibunya yang telah menikah lagi dan tinggal di Surabaya. Sedangkan Sinta dan adiknya terpaksa harus dibesarkan oleh sang nenek. Bisa dibayangkan latar belakang yang begitu rumit, lagi-lagi saya menemukan seorang anak yang merupakan korban dari permasalahan orang tua. Tinggal bersama nenek tidak lah sama dengan tinggal bersama orang tua. Kontrol yang kurang, rasa sedih dan kehilangan kasih sayang bisa menjadi faktor penyebab bagi anak seperti Sinta untuk mencari tempat yang nyaman. Akhirnya menemukan teman yang salah mengarah ke arah pergaulan bebas. Dalam hati saya berkata bahwa saya harus menyelamatkan anak ini. Jangan sampai dia berhenti sampai di sini, jalan yang harus ia tempuh masih panjang. segala masalah yang ada tidak boleh menjadi penghalang untuk melanjutkan masa depannya.

Saya menyampaikan maksud kedatangan saya adalah untuk menemui Sinta dan mengajaknya untuk tetap bisa mengikuti ujian sekolah. Mendengar maksud yang saya utarakan sang nenek langsung menangis. Dia sangat senang karena salah satu kesedihan yang mendalam adalah karena Sinta sudah tidak bisa sekolah lagi. “bagaimana nasib cucu saya jika tidak sekolah bu, masa ya hanya punya ijazah SD saja, mau jadi apa nanti”. Saya berusaha menenangkan nenek ini sambil menjawab bahwa saya akan bersaha memasukkan data Sinta untuk mengikuti Ujian paket B setara SMP. Setelah lulus Sinta tetap bisa melanjutkan sekolah lagi. “Namun saya minta agar Sinta dibawa ke sini supaya bisa ikut ujian, saya minta tolong nanti dibicarakan dengan orang tuanya agar Sinta bisa balik ke sini”. Pinta saya sekaligus menyudahi pertemuan saya dengan nenek Sinta.

Seminggu kemudian saya datang lagi ke rumah Sinta. Perjalanan saya ke rumahnya sempat berpapasan dengan gerobolan ibu-ibu yang menggendong bayinya menuju ke Posyandu di kampung itu. Sejenak saya menghentikan motor saya melihat diantara ibu-ibu itu ada yang saya kenal. Dia adalah Sinta, tak kuasa hati ini melihatnya, tak tega melihat anak ini berada diantara ibu-ibu yang menggendong bayinya. Tanda menyapa saya pun bergegas menuju ke rumahnya. Ternyata benar, sesampainya di rumah Sinta, sang nenek bercerita kalau Sinta ke Posyandu, bayinya waktunya imunisasi dan ditimbang. Sengaja saya menunggu sampai Sinta pulang.

Lama sekali saya menunggu. Sinta tak kunjung pulang. Ternyata dia tidak berani pulang karena tahu keberadaan saya di rumahnya. Dia tidak berani menemui saya, menurut tetangga dia menangis. Saya pun menjemputnya ke rumah tetangga yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Sungguh suatu pemandangan yang sangat menyedihkan, anak kecil yang biasa bersama di dalam kelas melakukan proses pembelajaran kini duduk di pojokan ruang tamu tetangganya sambil menangis dan memeluk bayinya. “saya malu bu, saya takut, saya tidak berani bertemu ibu”. Kata-kata dibarengi tangisan saya dengar jelas. Saya pun tak langsung menjawab. Saya langsung memegang bayi mungilnya, berusaha meraih dan mengendongnya. “lucunya Sin, oh ternyata bayi laki-laki yang mungil, boleh saya gendong?”. Sinta pun menyerahkan bayinya kepada saya.

Saya pun menggandeng tangannya dan berusaha mengajak dia pulang. “Saya ke sini ingin melihat kondisi kamu Sin, kamu tidak perlu takut dan malu sama ibu”. Sejenak saya berusaha menenangkan anak ini. Sementara bayi yang saya gendong tadi diraih oleh sang nenek. Sinta ibu sang bayi masih menangis layaknya anak kecil. Batinku berkata, ya inilah namanya anak melahirkan anak tentu kondisinya sangat menyedihkan. Sinta seorang anak yang harusnya masih melalui proses tumbuh kembangnya, bermain, bergurau dan menghabiskan waktunya bersama teman-temannya. Kini harus merawat seorang bayi yang ia lahirkan. Secara psikologis anak ini belum bisa menjadi orang tua yang sesungguhnya. Sungguh kondisi yang sangat menyedihkan. Namun ini bukanlah saat untuk menyesali semuanya. Terlihat sekali bahwa Sinta tidak mau menatap wajah saya, mungkin dia malu dan takut.

“Kamu tidak ingin sekolah lagi?”, tanyaku pada Sinta. “masih ingin bu, tapi apa mungkin, saya malu sama teman-teman dan bapak ibu guru bu, saya tidak mau masuk sekolah lagi”. Sambil memegang tangannya saya berusaha menenangkannya “Kamu bisa ikut ujian Sinta, dan kamu bisa melanjutkan sekolah ke jenjang SMA, saya akan bantu kamu asalkan kamu serius. “Ya bu, saya mau dan saya sudah membicarakan dengan suami saya”. Lagi-lagi saya dikagetkan dengan kata-kata anak ini. Rupanya untuk menutupi rasa malunya Sinta harus menikah di bawah tangan dengan seorang laki-laki yang justru bukan ayah dari bayi yang dilahirkan. Tapi saya tidak terlalu mencampuri urusan itu, tugas saya hanya memastikan bahwa anak ini mau ikut ujian dan melanjutkan sekolahnya.

Sungguh kondisi yang tidak mudah bagi Sinta. Secara psikologis dia masih menanggung malu. Saya takut dengan kondisi anak ini. Dia harus memikul tanggung jawab sebagai ibu pada saat yang belum tepat. Laki-laki yang menikahinya pun masih belum terlalu dewasa. Saya berusaha menguatkan hati Sinta, berusaha membangkitkan semangatnya untuk terus berjuang meraih masa depan meski masalah disertai masalah yang begitu besar. Pada saat yang sangat tepat saya bertemu dengan teman yang aktif di LSM hotline Surabaya. LSM ini sangat memperhatikan anak-anak korban kekerasan. Saya sangat terbantu, selain rehabilitasi mental pada Sinta. Hotline Surabaya juga memberikan cukup biaya yang digunakan untuk mengatasi masalah anak ini.

Sementara itu untuk mendaftarkan Sinta mengikuti ujian paket B ternyata tidak semudah yang saya kira. Pertama saya daftarkan ke UPT SKB ternyata ditolak dengan alasan daftar nominasifinal sudah masuk ke kabupaten. Begitu juga ke PKBM yang lain. Lalu ke mana saya harus mendaftar, hampir saya putus asa. Beruntung saya aktif dalam lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Saya mohon bantuan kepadateman-teman terkait masalah yang saya tangani. Kami harus menghadapi birokrasi yang berbelit-belit di tingkat bawah. Namun bersyukur pada akhirnya kita mendapat persetujuan langsung dari kepala dinas pendidikan untuk memasukkan Sinta ke dalam daftar ujian paket B.

Tinggal menunggu proses kelengkapan administrasi, di sekolah dan dinas pendidikan tidakterkendala apa pun. Selanjutnya saya harus memberikan bimbingan dan menyediakan beberapa materi yang sempat ditinggalkan oleh Sinta selama kelas IX. Mbak Nina dari hotline Surabaya sangat membantu untuk mengembalikan kepercayaan diri Sinta sehingga anak ini bisa mengejar ketinggalannya. Selama belajar Sinta ditemani bayinya, neneknya, juga suaminya yang begitu pengertian. Beberapa suka dan duka mewarnai perjalanan Sinta dalam usahanya mengikuti ujian nasional. Hingga tiba pada saat pelaksanaan ujian nasional Sinta berhasil menyelesaikannya dan melanjutkan pendidikannya ke tingkat SMK.

Sekali lagi seya merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata ketika melihat anak-anak dengan berbagai kasus yang menimpanya namun masih bisa melanjutkan pendidikannya. Terkadang setiap guru di sekolah menginginkan seluruh siswa berada dalam kondisi yang sempurna. Namun diantara sekian banyak siswa pasti terdapat beberapa siswa yang bermasalah dan sangat membutuhkan perhatian kita. Dibalik kata-kata “saya masih ingin sekolah bu”, yang dulu diucapkan Sinta sambil menangis menggendong bayinya menyimpan semangat yang luar biasa. Semangat itu bisa mengalahkan rasa malu dan takut yang membelenggunya. Semua itu demi memperjuangkan haknya untuk tetap bisa sekolah, tetap bisa berjuang meraih masa depan dengan segala masalah yang menimpanya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ini kisah nyata bu? Masyaallah....kasian ya bun, ikut sedih membacanya

22 Apr
Balas

Ya...lg belajat nulis cerpen brdsrkn kisah nyata. Mhn masukannya mbk sofi

22 Apr

Ya...lg belajat nulis cerpen brdsrkn kisah nyata. Mhn masukannya mbk sofi

22 Apr

Masya Allah.. Air mata tak bisa dibendung membaca yg begini :'( Bukti nyata bahwa liberalisme telah sering memakan korban. Salut utk perjuangan Bunda Hamidah.

22 Apr
Balas

Benar kak puput, itu hanya salah satu contoh. Di luar sana msh bnyk kasus anak yg lebih membutuhkn perhatian kita

22 Apr

Setiap anak selalu memiliki impian dan harapan,namun apa mau dikata takdir merebutnya harus seperti itu.kita hanya bisa melihat dari jarak jauh saja, semakin di dekati dia mencoba lari dan bersembunyi. Lagi-lagi pergaulan bebas jadi faktor utamanya.hanya pembekalan iman salah satu cara untuk mendekatkan mereka,sehingga terhindar dari arus yang menyesatkan. Semoga tdk ada yang seperti itu lagi.

22 Apr
Balas

Amin...

22 Apr

Bu Nur Hamidah ini harus di kloning. Biar banyak yg peduli dgn nasib anak bermasalah. Semoga Alloh memberkahi langkah ibu. Aamiin

22 Apr
Balas

Amin...

22 Apr

Miris bacanya bu, cara ibu menceritakannya membuat kita terenyuh, sedih dan gundah dengan tantangan yang akan dihadapi anak cucu kita. Sebagai guru kelihatannya kita harus lebih peka dengan kondisi anak didik kita. Tulisan yang bagus dari ibu guru yang baik dan penuh empati.

22 Apr
Balas

Mksih...kbtulan bnyk kasus anak yg prnh sy dampingi, sy coba menceritkn dlm bentuk cerpen mdh"an bnyk yg bisa kita jadikn pelajaran

22 Apr

Sangat menyedihkan ya bu ! Mudah -mudahan usaha ibu Nur berhasil dan menjadi ibadah disisi Allah

24 Apr
Balas

Amin...mksih bu ertati, slm kenal

24 Apr

Luar biasa bu kisahnya. Semoga menjadi hikmah untuk para generasi muda

22 Apr
Balas

Ya...mudah"an. Mksih bu, slm kenal

22 Apr

Ya...mudah"an. Mksih bu, slm kenal

22 Apr

Salam kenal bu Nur Hamidah, ceritanya luar biasa... smga menginspirasi generasi muda supaya tdk msuk kdlm pergaulan bebas.. salut dg perjuangan ibu..

22 Apr
Balas

Salam kenal jg..smg bs jd pelajrn bwk kita smua

22 Apr



search

New Post