NUR HAMIDAH

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
MENGUSUT BENIH KEKERASAN DI INSTITUSI PENDIDIKAN

MENGUSUT BENIH KEKERASAN DI INSTITUSI PENDIDIKAN

Tindak kekerasan yang merenggut korban jiwa terjadi lagi di institusi pendidikan. Hal tersebut benar-benar telah menodai citra pendidikan di Indonesia. Kasus terbaru terjadi pada tanggal 11 Januari 2016 yang dialami Amirulloh Adityas Putra taruna tingkat I Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Jakarta Utara harus meregang nyawa setelah dihujani bogem mentah di dadanya oleh sejumlah senior di sekolah pelayaran tersebut (Jawa Pos, 12/1). Sungguh tragis dan mengenaskan bahwa kasus kekerasan yang berujung pembunuhan tersebut terjadi di institusi pendidikan. Sangat disayangkan jika seorang taruna melakukan tindak kekerasan yang mengarah pada tindak pidana. Apalagi tindakan tersebut hanya dalam rangka mengerjai seorang junior di sekolah tertentu.

Kekerasan dalam bentuk perploncoan umumnya menjadi ajang balas dendam bagi para senior kepada junior karena secara historis mereka pernah mendapat perlakuan yang sama. Sang senior merasa berkuasa dan memiliki kebebasan untuk mengerjai para junior yang dilakukan dengan tindakan memarahi, membentak, mencaci, memaki, dan memerintah sebagai bentuk kekerasan psikis sampai pada memukul dan menyakiti anggota tubuh yang tergolog pada kekerasan fisik yang membawa dampak rasa sakit pada korban perploncoan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bab XVIII tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang. Terdapat dua unsur yang merupakan kunci untuk pembuktian delik, yaitu unsur memakai kekerasan atau ancaman kekerasan. Apabila salah satu unsur tersebut terpenuhi maka dapat dikategorikan sebagai delik perbuatan tidak menyenangkan. Seseorang yang melakukan tindakan menyakiti baik secara fisik maupun psikis tersebut bisa dijerat pidana. Terkait itu para pelaku yang melakukan pengeroyokan di STIP Marunda dapat didakwa melanggar pasal 170 jo 351 ayat 1 tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian terhadap korbannya dan terancam dengan hukuman 12 tahun penjara.

Tampaknya kasus tersebut juga bukan kasus yang pertama kali terjadi dalam institusi pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2014 juga terjadi kasus sama yang menimpa Dimas Handoko dari STIP Marunda dan Jonoly Untayanandi dari IPDN Sulawesi Utara. Pada tahun 2013 Fikri Dolasmantya Mahasiswa baru di Institut Teknologi Malang, Jawa Timur. Tahun 2012 David Richard Jamati Mahasiswa Akademi Maritim Djadayat Jakarta. Dan pada tahun 2009 Wisnu Anjar mahasiswa Sekolah Tinggi Sandi Negara Bogor. Semua kasus tersebut dampak dari budaya perploncoan yang dilakukan oleh pelajar/mahasiswa senior kepada juniornya yang selalu dibentengi dengan alasan pembinaan mental.

Lantas siapa yang harus bertanggung jawab terhadap semua itu. Manajemen lembaga harus betul-betul memperhatikan kontrol terhadap setiap program yang diselenggarakan. Aturan-aturan yang diterapkan hendaknya bisa menghilangkan iklim dan budaya diskriminasi antara senior dan junior. Semua warga sekolah memiliki hak yang sama dalam segala hal. Pelanggaran terhadap tata tertib yang berlaku juga harus tegas dan tidak memihak beberapa golongan sehingga semua merasa perlakukan yang sama dan terhindar dari diskriminasi dalam pemberlakuan peraturan.

Institusi atau lembaga pendidikan mestinya menjadi tempat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan serta pembinaan karakter bangsa. Setiap orang pasti berharap akan suasana yang aman, nyaman dan kondusif bagi terlaksananya proses pendidikan. Tercapainya tujuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh proses yang berkwalitas. Pengembangan kedisiplinan dan pembinaan mental karakter tidak harus dilakukan dengan cara kekerasan melainkan harus dengan cara-cara ilmiah yang mendukung perkembangan pengetahuan dan keterampilan, tanggung jawab, akhlak dan budi pekerti luhur.

Peran pemerintah sangat dibutuhkan mulai dari tindakan preventif sampai pada kontrol yang dilakukan pada institusi pendidikan. Kenyataannya penilaian akreditasi saja tidak cukup menjamin sekolah tersebut aman dan nyaman. Tindak kekerasan ini terjadi di STIP Marunda yang memperoleh status akreditasi A. Itu suatu bukti bahwa kontrol pemerintah masih kurang. Selama ini pemerintah terkesan perhatian jika ada kasus atau kejadian yang memakan korban. Ketika tidak ada kasus seolah-olah semua baik-baik saja, seolah-olah manajemen pendidikan sudah bagus dan dijalankan sebagaimana mestinya sehingga pemerintah tidak perlu lagi melakukan kontrol terhadap lembaga tersebut.

Pemerintah juga perlu memperhatikan kurikulum yang berlaku untuk beberapa lembaga pendidikan di Indonesia. Kurikulum Perguruan Tinggi (PT) umum berada di bawah Kemenristek Pendidikan Tinggi, sedangkan Akademi TNI ada di bawah Kementrian Pertahanan, Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) berada di bawah Kementrian Perhubungan. Menurut Menristek Dikti M. Nasir mengatakan tindak kekerasan yang terjadi di Perguruan Tinggi Non Kemenristek Dikti atau yang berada di bawah koordinasi kementrian/lembaga menjadi tanggung jawab setiap kementrian/lembaga. Kemenristek Dikti hanya mengatur masalah kurikulum , proses akreditasi dan pembinaan akademik. Sementara kontrol terhadap perguruan tinggi tetap dipegang oleh kementrian/lembaga terkait (mediaindonesia.com, 12/1).

Pada akhirnya masing-masing kementrian bisa menyikapi pendidikan dengan cara dan pendekatan yang berbeda. Kebijakan, aturan dan muatan kurikulum yang dijalankan juga akan berbeda. Hal itu yang perlu dikaji ulang dari berbagai pihak dengan memperhatikan berbagai sudut pandang. Beberapa sistem pendidikan Perguruan Tinggi Non Kemenristek Dikti terkesan menghalalkan tindakan hukuman fisik terhadap bentuk pelanggaran. Hal tersebut terkesan biasa sebagai bentuk latihan pertahanan mental namun seharusnya ada batasan dan standart yang jelas tentang pendidikan mental tersebut. Kenyataannya pendidikan mental yang selama ini diterapkan dengan berbagai aktifitas fisik justru menimbulkan dendam dan budaya perploncoan yang mengarah pada tindak kekerasan yang berujung pada tindak kriminal yang tak pernah terselesaikan secara tuntas. Dari berbagai kasus yang terjadi harapannya agar ada perbaikan terhadap sistem pendidikan non Menristek Dikti.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post