NUR HAMIDAH

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
SI DEKIL YANG TAK BISA MEMBACA
http://andigokugen.blogspot.co.id/2015

SI DEKIL YANG TAK BISA MEMBACA

Sampai detik ini tak pernah berhenti mengucapkan rasa syukur ini, menjalankan profesi sebagai seorang guru adalah hal paling istimewa. Banyak hal sangat berarti bagi saya. Seorang guru selalu menjalin hubungan dengan anak-anak dengan berbagai karakter. Tiap hari tak lepas dari celoteh, canda dan tawa yang senantiasa menyejukkan telinga. Setiap hari selalu ada yang menantikan uluran tangan ini untuk mengucapkan salam jumpa. Belum lagi setiap tahun selalu menemui siswa baru dengan berbagai hal-hal baru yang mereka bawa.

Itu adalah beberapa gambaran suka cita yang saya rasakan, disamping terselip perjuangan yang sedikit banyak terdapat rintangan. Hampir lima belas tahun saya menekuni profesi sebagai seorang guru. Di sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang selalu menjadi incaran banyak siswa. Beberapa tugas yang selalu mewarnai perjuangan saya di sekolah ini adalah mendapatkan tugas tambahan sebagai wali kelas. silih berganti mulai dari wai kelas tujuh, delapan maupun sembilan.

Pada suatu ketika sekitar tahun 2013 mendapat tugas sebagai wali kelas tujuh. Tentu saja yang harus dihadapi adalah anak-anak lulusan Sekolah Dasar (SD) dengan segala sifat kekanak-kanakan mereka. Sudah terbayang di benak ini beberapa srtrategi yang harus saya terapkan nanti. Apalagi ketika melihat Surat Keputusan (SK) kepala sekolah bahwa saya bertugas menjadi wali kelas VII-A. Di beberapa sekolah kelas awal biasanya menjadi kelas unggulan, beberapa anak dengan beberapa prestasi akademik maupun non akademik terkumpul di kelas ini. Ada rasa lega di benak ini, minimal dalam perjalanan satu tahun pelajaran ini tidak akan menemui banyak kendala dengan perkembangan belajar mereka.

Namun bayangan itu sungguh berbalik dar kenyataan, ternyata kelas VII-A justru ditempati anak-anak dengan nilai tes seleksi masuk yang sangat rendah. Serentak kenyataan tersebut mengaburkan bayangan saya selama ini. Sambil bercanda teman-teman yang lain juga berkomentar bahwa ini adalah tantangan buat saya. Jika selama ini selalu membimbing anak-anak dengan input bagus maka sekarang dibalik. Namanya juga tugas, apapun itu harus dilaksanakan dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab.

Setiap awal masuk rutinitas yang harus saya lakukan di kelas baru adalah memperkenalkan diri. Menyampaikan segala sesuatu tentang diri saya dengan harapan menjalin kedekatan dengan anak-anak. Disamping itu tak lupa kita membuat aturan atau kesepakatan di kelas untuk membuat kelas menjadi semakin kondusif. Giliran selanjutnya saya harus mengenal satu persatu dari anak didik saya. Secara bergantian mereka memperkenalkan diri. Kesempatan ini juga digunakan anak-anak untuk menjalin keakraban dan saling mengenal satu sama lain.

Tiba giliran pada seorang anak yang memperkenalkan diri bernama Anton. Namun ada beberapa keanehan, begitu anak berdiri suasana kelas menjadi sangat gaduh, ada nada mengejek dengan ekspresi menertawakan anak yang satu ini. Spontan saya menjadi sangat kasihan dan segera mengendlikan suasana dan memberi kesempatan kepada Anton untuk berbicara. Memang aneh, anak yang satu ini dengan postur tubuh yang kecil, kulit hitam, dan dekil. Pakaian yang digunakan terlihat kotor dan tidak rapi. Potongan rambut cepak agak gundul memperlihatkan keanehan di kepalanya. Ada banyak bekas luka di kepalanya yang nampak jelas dibalik rambutnya yang cepat tadi. Bekas seperti kudis atau korengan yang lumayan banyak di kepalanya. Mungkin karena kondisi fisik yang seperti itu membuat ia tidak percaya diri, anak ini cenderung pelan dalam berbicara seperti ada rasa malu dan takut. Tentu saja teman-teman baru yang cenderung menertawakannya juga sangan berpengaruh baginya.

Sementara saya terus membuat dia berhasil memperkenalkan diri, namun tidak bisa mencapai hal yang maksimal. Saya berfikir inilah yang akan menjadi tantangan buat saya di kelas ini. Kondisi anak ini pasti tidak mudah diterima oleh anak-anak lainnya. Untuk itu di awal pertemuan saya sengaja menekankan arti persahabatan dan kebersamaan di dalam kelas. Hal utama yang saya lakukan adalah membuat mereka memiliki kepedulian terhadap sesama tanpa melihat apapun perbedaan baik itu kelebihan maupun kekurangan. Semua mersa sama di kelas, begitu juga saya sebagai wali kelas akan berlaku sama kepada semua anak tanpa ada unsur perbedaan.

Setidaknya cara itu berhasil, beberapa waktu selanjutnya anak-anak mulai terbiasa. Saya melihat tidak ada anak yang saling mengejek terutama pada Anton yang awalnya menjadi bahan tertawaan. Namun masalah utama yang saya hadapi selanjutnya adalah tentang kemampuan akademik anak-anak di kelas VII-A. Belum sampai pertengahan semester banyak guru yang sudah mulai mengeluh. Beraneka macam yang dikeluhkan mulai dari kesulitan menerima pelajaran sampai pada tingkah laku anak-anak yang cenderung tidak bisa diam di saat pelajaran berlangsung. Saya pun merasakan hal tersebut, solusinya tentu saja guru harus memutar energi dan pikiran untuk menggunakan berbagai metode dan media yang bervariasi sesuai dengan kondisi anak yang rata-rata tergolong memiliki kemampuan yang rendah.

Di sela-sela diskusi kami antar guru yang mengajar di kelas VII-A beberapa guru mengeluh tentang Anton. Bukan hanya kondisi fisiknya yang memprihatinkan, namun kemampuan akademiknya juga sangat memprihatinkan. Saya sempat merasakan kejengkelan yang luar biasa kepada gurunya semasa SD. Bagimana mungkin anak seperti dia bisa lulus SD sampai-sampai bisa masuk SMP favorit di lingkungan sini. Anton ternyata seorang siswa SMP yang tidak memiliki kemampuan membaca sama sekali. Saya menemui kejanggalan pada lembar jawaban ulangan hariannya. Jawaban yang diberikan tidak menggambarkan kata dan kalimat bermakna. Saya hanya menemui hal seperti itu pada anak-anak yang belum pernah masuk sekolah dan baru belajar menuliskan aneka huruf yang jauh dari kata sempurna.

Awalnya saya berfikir apakah anak ini mempunyai gangguan penglihatan, ternyata tidak. Ketika saya bertanya apa kamu tidak bisa membaca, dia hanya diam. Sungguh ini diluar dugaan saya. Selama sekian tahun mengajar di SMP belum pernah menemui kasus seperti ini. Yang lebih mencengangkan lagi bagaimana mungkin anak ini bisa di terima di sekolah ini. Saya pun berburuk sangka pastilah oang tuanya menggunakan cara curang dengan cara membayar sejumlah uang sogokan. Meski sangat jengkel saya sangat kasihan terhadap anak ini. Saya merasa mempunyai tanggung jawab besar untuk menyelesaikan kasus ini. Beberapa guru sudah sepakat dan menyerah dengan memutuskan untuk tidak akan menaikkan Anton ke kelas VIII nanti.

Saya berusaha menemui orang tuanya dengan harapan bisa bekerja sama untuk menyelesaikan masalah ini. Sungguh mencengangkan lagi kalau ternyata ayahnya sudah sangat tua berusia sekitar 60 tahun dan kondisi sosial ekonominya sangat memprihatinkan. Hal itu menolak anggapan saya bahwa tidak mungkin orang ini mengeluarkan uang sogokan ke sekolah. Apapun alasannya yang terpenting adalah anak ini sudah berada di sekolah kami dan sekarang sudah berada di bawah tanggung jawab saya.

Orang tuanya bercerita kalau anak ini dari kecil sering sakit-sakitan. “Yang penting mau sekoah saja saya sudah seneng bu”. Tegas orang tuanya. Saya teringat bekas luka di kepalanya, mungkin itu adalah sisa-sisa sakitnya dulu. Karena kondisi rumahnya jauh dengan rumah saya sehingga tidak memungkinkan dia datang ke rumah saya untuk melakukan bimbingan. Untungnya anak ini masih mempunyai kakak yang bisa saya harapkan bantuannya. Setidaknya untuk membantunya belajar membaca. Tempo hari saya yang merasa jengkel pada guru Sdnya, mendadak berubah. Mungkin apa yang dirasakan oleh gurunya dulu sama dengan yang saya rasakan sekarang. Hanya rasa iba dan kasihan.

Saya sudah mulai harus bisa menghadapi guru-guru yang lain. meski sudah saya jelaskan kondisi Anton tidak semua guru memiliki perasaan yang sama dengan saya. Saya pun tidak bisa menyalahkan mereka. Apalagi setelah ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ujian akhir semester. Kelas VII-A selalu jadi bahan pembicaraan sebagai kelas dengan kemampuan terendah, terutama Anton. Menurut saya memang harus ada yang secara khusus menangani anak ini. Waktu itu belum ada sekolah bahkan kelas inklusi. Jadi saya harus bertahan secara sabar untuk membimbing anak ini.

Menjelang kenaikan kelas beberapa guru sudah sepakat untuk tidak menaikkan Anton ke kelas VIII. Saya bertanya pada teman-teman, “jika anak ini tinggal di kelas VII apa ada jaminan kita bisa membimbing dia lebih baik lagi”. Teman-teman terdiam. Ada yang menghendaki dinaikkan dengan syarat harus mencari sekolah lain. Saya menghela nafas sambil berkata dalam hati, berarti kita di sini sudah putus asa membimbing seorang anak bermasalah, sehingga menyerahkan tanggung jawabnya kepada sekolah lain. Lantas sekolah mana yang akan menerima anak ini?. Dalam hati ini berkecamuk tak karuan, satu sisi kondisi yang ada benar-benar sangat parah, di sisi lain ada rasa iba, kasihan, dan rasa tanggung jawab terhadap anak ini. Saya pun memberanikan diri untuk berbicara agar anak ini tetap bertahan dan dinaikkan ke kelas VIII. Saya akan berusaha memperbaiki kondisinya.

Karena kelemahan anak ini adalah tidak bisa membaca dan memahami segala pelajaran, maka saya minta bantuan kepada teman-temannya di kelas untuk membantunya. Tidak mengasingkannya, mengajak selalu belajar kelompok dan memberi semangat untuk terus belajar. Cara tersebut rupanya berhasil. Perlahan-lahan Anton mulai berubah meski tidak secara total. Ketika ada kesalahan teman-temannya secara ikhlas membantunya. Bahkan sampai pada saat proses ulangan saya pun meminta tolong beberapa anak dengan kemampuan lebih di kelas untuk membantunya. Entah guru yang lain tahu atau tidak, yang terpenting adalah saat ulangan ada jawaban benar pada lembar jawaban Anton. Hingga tidak ada satupun anak darikelas VII-A yang harus tinggal kelas.

Begitu di kelas VIII saya pun terus memberi arahan pada Anton untuk terus berusaha mengejar ketinggalannya. Anak ini tak pernah lepas dari perhatian saya. Hingga menjelang tiga tahun tak terasa saya melihat dia sudah menjadi anak yang menginjak remaja. Anton yang kecil, dekil, dan kotor ternyata sudah berubah. Tentu saja dia sudah belajar banyak dari teman-teman dan lingkungan sekitarnya. Kadang-kadang di wajahnya menampakkan ekspresi malu-malu saat saya melihatnya. Pemandangan yang selalu menyenangkan hati saya, melihat pertumbuhan dan perkembangan anak-anak yang selalu berubah. Saat melihat Anton dan teman-temannya tertawa bahagia di acara wisuda purna siswa, itu adalah saat yang paling bahagia dalam diri saya. Setidaknya saya pernah menjadi bagian dari anak-anak dalam melalui semua proses yang dijalankan selama belajar di sekolah kami.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bismillah, semoga bernilai ibadah

13 Apr
Balas

Amin...

13 Apr



search

New Post