Nurhidayah Ilyas

Merupakan putri kedua pasangan Almarhum Bapak H.M.Ilyas HM dan Almarhumah Ibu Hj.Arifah Arif. Saat ini bertugas di SMPN 2 Suppa Kabupaten Pinrang, Sulawesi Sela...

Selengkapnya
Navigasi Web
BISMILLAH... BERMIMPILAH, NAK (TANTANGAN MENULIS HARI KE 365 PLUS 7)

BISMILLAH... BERMIMPILAH, NAK (TANTANGAN MENULIS HARI KE 365 PLUS 7)

Hari ini, aku memberi tugas menulis bebas pada anak – anakku. Meskipun bertema bebas, namun dasar anak – anak, mereka kompak mau menulis tentang impian mereka. Tentu saja aku tak melarang. Justru menurutku dari tulisan mereka nanti, aku akan dapat mengintip apa saja yang sebenarnya mereka inginkan. Mereka bersemangat menulis. Sesekali mereka bertanya padaku jika ada yang kurang mereka pahami. Kudatangi satu persatu kursi mereka, sambil menyentuh pundaknya. Ini salah satu tips dari almarhumah mamaku.

“Sentuhlah mereka dengan kasih sayangmu, Nak. Insya Allah mereka akan dapat merasakannya”. Aku memang banyak belajar dari Mama bagaimana menghadapi anak – anak di sekolah. Sosok almarhumah Mama memang merupakan teladanku. Beliau disayangi anak – anak didiknya. Di balik ketegasan beliau, tersimpan sejuta kasih sayang untuk diberikan pada anak – anaknya. Dan aku ingin menjadi seperti beliau.

“Buuu, jangan liat dulu. Kami malu bah, buuu...” Setengah berteriak, salah seorang anak menutupi pekerjaannya. Aku terkekeh. Ada – ada saja tingkah polah mereka.

“Iya buu, nanti aja. Kan pasti ibu baca juga nanti...” Ada temannya yang mendukung. Aku lalu menuju ke arah yang lain. Sepakat mereka menutupi kertasnya dengan telapak tangan mereka. Aku kembali tertawa. Bahagia nian berada di antara mereka ini.

“Nda papa bahh... Kan biar ibu bisa periksa memang apanya yang salah” celetuk salah seorang siswa dari belakang.

“Lhooo, mau salah bagaimana?? Kan ini bukan soal jawab. Ini tentang mimpi kita kaaaan?? Apa iya, mimpi ada yang salah?? Kan terserah yang mimpi...” Anak paling sudut menyahut. Dia memang paling kritis di kelasnya.

“Sudah sudah... jangan ribut. Gak ada yang bakalan salah dengan tugas yang ini. Ibu cuman mau liat aja, bagaimana kalian nyelesaiin tugas. Intinya, tanggung jawab kalian... ngerti??” Aku menengahi suasana yang agak riuh itu. Biasanya kalau sudah begitu dan tak di tengahi, alamat akan kacau sampai akhir. Namanya juga anak – anak.

“Iya buuu...” Kompak mereka menjawab lalu kemudian melanjutkan tugasnya.

Dan kini, aku duduk di teras rumahku sore ini. Di tanganku ada lembaran – lembaran kertas impian anak – anakku. Kubaca satu per satu...

“Aku ingin menjadi seorang dokter. Aku ingin mengobati penduduk Tanjung Batu yang sakit. Akan kugratiskan pengobatan untuk mereka yang memang membutuhkan. Meskipun aku tahu biaya untuk melanjutkan pendidikan ke fakultas kedokteran itu sangat mahal kata kakakku yang sudah kuliah, namun aku tak akan gentar. Bila perlu, aku akan membantu mama dan bapak untuk mencari tambahan biaya kuliahku nanti. Aku ingin mereka bangga padaku...”

“Aku bercita – cita ingin menjadi guru. Aku suka memperhatikan semua guruku. Betapa mereka sangat tulus ikhlas menjalankan tugas meskipun kami nakal – nakal dan kadang – kadang sering menjengkelkan. Tapi guru – guruku selalu tidak peduli itu. Terima kasih bapak dan ibu guru. Doakan aku semoga juga bisa menjadi guru seperti kalian”.

“Aku mau menjadi ibu rumah tangga saja yang membesarkan anak – anakku dengan baik. Mencari nafkah cukup suamiku saja nanti. Tapi aku tidak akan berhenti belajar. Karena menurut guruku, seorang ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya. Kalau ibunya pandai maka pandai jugalah anaknya”.

“Aku mau mengikuti pekerjaan orang tuaku. Tak perlu sekolah tinggi – tinggi untuk mendapatkan pekerjaan yang tidak seberapa gajinya. Sementara di sekeliling kita banyak sekali sumber uang. Tinggal tarik kapal, nyalakan mesin dan uang akan datang sendiri...” Aku tertawa sendiri membaca tulisan ini. Sungguh tanpa beban dia menuliskannya. Ahh, dunia anak – anak memang masih dipenuhi bayangan hidup yang sangat simple.

“Bu, aku belum punya cita – cita. Aku bingung mau jadi apa. Lihat bapak dan ibu guru, aku sepertinya tidak sanggup. Membayangkan kenakalan siswa saja aku sudah stress, bagaimana nanti kalau aku ngajar mereka. Mau jadi dokter kayaknya jauh bu. Orang tuaku bukan orang kaya. Bapakku Cuma seorang nelayan dan mamaku tinggal di rumah menjaga adikku. Aku masih terus berpikir, mau jadi apa aku besar nanti...”

“Aku mau buka restoran kalau sudah lulus kuliah nanti. Kata Bapakku aku kuliah ekonomi aja nanti. Supaya bisa menjalankan usaha dengan bekal ilmu yang ada. Aku akan menjadi pemilik sekaligus peracik makanannya. Cuman, sampai sekarang ini aku belum tahu memasak. Tapi aku kan masih SMP, nanti kalau aku sudah dewasa aku yakin aku akan bisa memasak seperti mamaku”.

“Orang tuaku mau aku jadi perawat. Tapi sebenarnya aku mau jadi guru saja. Aku suka sekali melihat guru bahasa Indonesiaku, ibu Nurhidayah atau ibu Nung. Dia selalu menemani kami belajar. Tidak pernah marah kalau kami nakal. Tapi kami selalu diberikan nasihat – nasihat yang berguna. Kalau kami katerlaluan nakalnya, ibu Nung hanya memberi kami “Sentuhan Mesra” di bahu. Kami menamakan sentuhan mesra padahal sakitnya lumayan bikin tobat”. Sampai disini, aku tertawa kecil. Salah satu caraku menghukum anak – anakku jika memang sudah terlalu parah tingkat pelanggarannya adalah dengan memijit bahu mereka dengan pijitan yang lumayan terasa. Hhehe...

Hari sudah menjelang senja, namun belum semua tulisan mereka aku baca. Kuputuskan untuk melanjutkannya malam nanti. Tentu saja setelah semua kerjaan malam itu selesai. Ku telpon Pak Komar untuk memesan air galon. Pak Komar adalah guru SD yang nyambi usaha air galon di rumahnya. Beliau sosok bapak guru yang ulet. Salut buat Pak Komar. Semoga Allah sehatkan terus dan sukses ke depan.

“Assalamu ‘alaikum bu Nung...” Suara salah satu anakku mengejutkanku. Di sebelahnya nampak seorang ibu yang tersenyum padaku.

“Waalaikum salam... Ayo masuk Nak, mari buu...” Aku menyilakan mereka untuk masuk, namun mereka hanya duduk di teras rumah saja.

“Ini mamaku, bu. Katanya mau kenal – kenal dengan Ibu”. Lanjut anakku itu. Mamanya tersenyum dan mengulurkan tangannya mengajakku bersalaman.

“Iya bu. Kami di rumah penasaran kayak apa bu Nung yang selalu dikisahkannya. Kami juga sekalian mau tau apakah betul anak kami ini selalu main ke sini kalo sore”.

“Hhehehe, kisah apa pula disampaikan anak kita ini bu. Anak – anak memang banyak yang sering main ke sini kalo sore. Kadang pulangan sekolah anak – anak hanya pulang beganti baju terus ke sini lagi. Kadang juga di perpustakaan bu. Soalnya perpustakaan sekolah kadang kami buka sampai malam...” jelasku. Supaya si ibu tahu apa yang dilakukan anaknya saat sore hari.

“Oh iya bu, ini ada makanan buat itu. Biar nda perlu masak lagi malam ini”. Kusambut kresek hitam berisi rantang yang diserahkan si ibu. Alhamdulillah, sampai segitu perhatiannya mereka padaku.

“Ya Allah, terima kasih banyak lho ini buu. Jadi merepotkan”. Mereka lalu berpamitan bersamaan dengan datangnya Pak Komar mengantarkan galon berisi air minum. Tak lama, dari masjid terdengar suara adzan memanggil. Kembali suasana terasa sepi. Aku menoleh ke rumah Pak Yan di sebelah sebelum aku menutup pintu. Mereka belum juga pulang dari rumah orang tuanya. Kututup pintu sambil membaca ayatul kursi untuk menenangkan hatiku.

Lepas isya dan selesai makan, aku kembali melembari satu demi satu tulisan anak – anakku tentang mimpi indah mereka. Kadang senyum sendiri, kadang malah tertawa kecil. Gaya menulis mereka sungguh aku suka. Ringan tanpa beban. Sampai di lembar yang terakhir. Tulisan itu tidak begitu rapi namun masih dapat kubaca. Tulisan itu berbeda dengan tulisan – tulisan sebelumnya.

“Aku tak pernah mau bermimpi seperti teman – temanku. Aku takut kecewa. Karena aku tahu diri. Aku dibesarkan bukan untuk menjadi apapun yang aku mau. Sekarang ini aku hanya punya harapan besar semoga bapakku segera sembuh. Aku kasihan sekali sama bapak. Bapak sakit dan ibu meninggalkan kami nda tau kemana. Aku harus bekerja setiap hari agar dapat membeli kebutuhan kami. Aku bekerja dari pulang sekolah sampai malam, sampai – sampai aku tak ada waktu untuk bermimpi seperti yang lainnya”.Aku menangis membaca tulisan ini. Entah mengapa, aku merasakan sangat terpukul dengan kondisi anakku yang satu ini. Ya Allah, kuatkan dia. Jadikan dia anak yang berhasil suatu saat nanti. Aamiin...

Membaca tulisan mereka tentang impian di masa depan, membuatku teringat masa kecilku dulu. Almarhum bapak dan almarhumah mama selalu setia mendengar apapun yang kami sampaikan. Aku, yang memang paling cerewet di antara kedua saudaraku selalu berkisah tentang apapun yang aku rasakan, aku inginkan dan aku impikan. Bapak dan mama tak pernah sekalipun menertawaiku dengan segudang impian. Dulu aku bilang, mau jadi dokter, belum sejam cita – cita itu berubah ingin jadi guru, lalu jadi penulis, lalu jadi desainer, dan lain – lain. Bapak dan mama mengaminkan sambil sesekali menyisipkan nasihat – nasihat berharganya.

“Bermimpilah yang tinggi, Nak. Tapi jangan lupa menunduk. Bersandarlah pada Allah. Karena hanya Allah sebaik – baik sandaran. Mama dan Bapak hanya bisa mengaminkan. Hanya bisa membantu dengan menyekolahkan. Selanjutnya, ikhtiarlah Nak untuk mewujudkan impianmu”. Masih terngiang kalimat yang disampaikan almarhumah mama ketika aku masih duduk di kelas satu MAN Pinrang.

Akupun melakukan hal yang sama kepada anak – anakku. Kudoakan semoga anak – anakku menjadi manusia yang bermanfaat bagi yang lain. Semoga Allah membahagiakan hidup mereka. Membersamai langkah mereka menjemput asa. Aku yakin, bersama doa tulusku, anak – anakku akan berhasil meraih apapun yang mereka inginkan. Bismillah, Bermimpi indahlah Nak...

#Tantangan Menulis Hari Ke 365 + 7

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga anak-anaknitu dapat mencapai cita-citanya

13 Feb
Balas

Keren bund. Salam sukses selalu

23 Mar
Balas

Mantap bucantik ulasannya. Jadi ingat juga dulu di suruh menulis cita - cita. Sukses selalu

24 Mar
Balas



search

New Post