Nur Hilmi Daulay

Nur Hilmi Daulay. Email [email protected]. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Di Ujung Penantian
Di Ujung Penantian

Di Ujung Penantian

 

 

::: Di Ujung Penantian :::

 

"Kapan kakak melamarku?" straight to the point. Tak kuhiraukan gengsi lagi setelah sekitar empat tahun aku menunggu masa sakral hubungan dengan laki-laki di depanku sah di mata agama dan hukum.

 

Lelaki itu masih diam. Aku menunggu kata yang akan meluncur dari mulutnya. Kuharap sudah ada keputusan di sana. 

 

"Kakak sudah katakan beberapa kali ke umi tentang hubungan kita, bahkan sebelum kamu minta dilamar, Dik." Ia menatapku sebentar lalu menoleh ke arah lain.

 

"Lalu?"

 

"Kakak tidak tahu pertimbangan umi. Hmm.. Kakak...ah... Kakak bingung harus bagaimana. Kakak menyayangimu. Percayalah. Kakak ingin kamu yang menjadi ibu dari anak-anak kakak," kata lelaki yang selama ini memintaku menunggunya menyelesaikan masa belajarnya di negeri para Nabi. Lelaki yang aku juga sangat ingin sampai tua bersamanya.

 

"Apa kata umi, Kak?" Aku mendesak.

 

"Hmm... berat buat kakak mengatakan kalau...." Dia menggantung ucapannya, lalu melanjutkannya lagi dengan berat. "Kalau... umi tidak setuju dengan hubungan kita." Lelaki itu tertunduk.

 

"Tapi kenapa, Kak? Apa alasannya? Bukankah kami belum pernah bertemu? Berbicara saja belum." Kucecar dia dengan pertanyaan yang runut. Antara kaget dan.. Ah, entah apa namanya rasa ini. Aku merasa tak adil. Lelaki itu diam lagi.

 

"Jawablah, Kak! Beritahu alasannya!"

 

"Kakak juga tidak paham, Dik, katanya ragu.

 

"Kakak tidak mempertahankan hubungan kita? Kakak tidak katakan sudah memberiku harapan untuk menunggu selama empat tahun?" Aku mulai bingung, tak habis pikir. Pantaskah lelaki ini kuanggap pengecut?

 

"Kakak sudah jelaskan semua ke umi. Tapi beliau tetap pada pendiriannya. Kakak akan berusaha lagi menjelaskannya nanti, sabarlah. Sebisa mungkin kakak akan mempertahankan hubungan kita." Lelaki itu mencoba meyakinkanku.

 

Buliran itu jatuh saja dari mataku. Tak kuhiraukan beberapa pasang mata melirik ke arah kami di rumah makan kecil ini. Dadaku begitu sakit.

 

###

 

Flash back. 

 

"Assalamu'alaikum, Dik!" Suara di seberang sana mengawali obrolan kami via telepon.

 

Hubungan yang beraral jarak tak jadi alasan, cinta buta berkembang selayak bunga yang sedang mekar. Ibnu menyukai kepribadian perempuan yang sedang menerima teleponnya. Di matanya Aqila begitu santun, cerdas, cantik dan shalihat. Lelaki itu berpikir anak-anaknya akan tumbuh baik jika dididik oleh ibu sepertinya kelak. 

 

"Wa'alaikum salam, Kak. Selamat ya atas kelulusanmu di Universitas Islam tertua di dunia. Semoga ilmu yang didapat bermanfaat untuk umat nantinya."

 

"Terima kasih, Dik. Kakak hanya ingin memberi kabar. Kepulangan kakak diundur menjadi awal Desember. Alhamdulillah nama Kakak keluar ketika pengundian nama petugas haji, Insyaallah Kakak dipercaya jadi petugas haji tahun ini."

 

"Apa maksudnya pengundian haji itu, Kak?"

 

"Jadi setiap tahun nama-nama mahasiswa tingkat atas di Al Azhar ini akan diundi untuk ikut bekerja menjadi petugas untuk membantu jamaah haji di bulan haji. Nama yang keluar akan mendapat izin libur perkuliahan dari Universitas."

 

"Alhamdulillah, Kak!" Ucapku ikut senang.

 

"Ya, Alhamdulillah."

 

###

 

"Aqila, ini ada paket datang untukmu, Ibu simpan tadi. Segan kalau dilihat ayah. Siapa Ibnu, Nak? Dia yang kemarin menemuimu ketika umroh?" Ibu langsung menemuiku di kamar sepulang pengajian.

 

"Eh... iya, Bu? Hmm...," jawabku gugup.

 

"Jangan bermain-main dengan hati ya, Nak! Kamu sudah dewasa. Kalau ada yang baik dan cocok, mintalah petunjuk Allah dengan sholat istiqhoroh. Kalau hatimu sudah kuat, ajak dia ke rumah menjumpai ayah dan ibu, hanya saja saran ibu selesaikan dulu kuliahmu segera."

 

"Ehm, ehm...Iya, Bu," ucapku. 

 

Sepeninggal ibu, bergegas kubuka paket itu dengan tak sabar. Kak Ibnu tidak mengatakan kalau dia akan mengirim paket buatku. Tapi namanya tertera dengan jelas di sampul berwarna coklat itu. 

 

Sebuah arloji cantik bertengger di dalam kotak. Selembar surat juga terlipat rapi di sana. 

 

--- Assalamu'alaikum, Dik. Kemarin ketika menemani satu jamaah membeli oleh-oleh untuk dibawa ke tanah air, kakak melihat arloji ini dipajang di toko. Kakak teringat kamu.

Dipakai ya... Kakak belinya dari uang saku yang kakak terima menjadi petugas tamu-tamu Allah di sini, Dik. Ini benar-benar hasil keringat kakak... Semoga kamu suka.

Ibnu----

 

Aku tersenyum

 

###

 

SMS masuk ke HPku 

"Dik, Kakak pulang ke tanah air besok. Doakan ya selamat di jalan."

 

"Smoga Allah melindungi perjalananmu sampai ke tujuan, Kak..." Kuketik balasan.

 

###

 

"Dik, selamat ya atas wisudamu... Alhamdulillah kakak juga sudah diterima jadi dosen di UIN, Smoga rencana kita dimudahkan Allah." SMS pertamanya setelah sekitar sebulan di tanah air.

 

Kubaca sms itu berulang-ulang. Bahagia ke relung. Jarak kami yang berbeda pulau memang membuat pertemuan sangat mahal. 

 

Cinta memang tak mengenal logika, pertemuanku dengan Kak Ibnu secara tak sengaja dalam sebuah grup kepenulisan daring mengalir begitu saja. Awalnya ia sering menanggapi tulisanku dan tak sengaja aku juga beberapa kali mengomentari tulisannya.

 

Persahabatan kami berlanjut masih secara daring.  Aku awalnya berpikir bahwa ini hanyalah dunia maya tentu tidak akan memengaruhi hati. Tidak ada kontak fisik di sini.

Tapi betapa tulisan ternyata punya magnet dalam mempermainkan hati manusia yang lemah. Kami saling jatuh cinta dengan tulisan.

 

Saling inbox dan komunikasi via udara tidak lagi membahas tulisan, tapi berlanjut kepada saling menanyakan kepribadian, hobi, keluarga dan lainnya. Sampai ternyata Allah mempertemukanku dengannya ketika aku dan keluargaku pergi umroh ke tanah suci. Ia menemuiku dan semua semakin mengalir.

 

###

 

"Hallo, Assalamu'alaikum," ujar suara wanita yang kutaksir berumur diatas empat puluh di seberang. Nomor yang masuk ke gawaiku adalah nomor Kak Ibnu.

 

"Wa'alaikum salam, Umikah? Ini Aqila Umi," jawabku. Kak Ibnu sudah mengatakan padaku bahwa umi ingin berbicara denganku.

 

"Sehat Aqila? Apa kegiatan sekarang? masih kuliah atau sudah bekerja?"

 

"Alhamdulillah sehat, Umi. Umi juga sehat? Aqila sekarang mengajar di SMA, Umi."

 

"Alhamdulillah, Umi juga sehat. Oiya, Umi mau nanya kenal Ibnu dimana?" mengalirlah ceritaku tentang perkenalanku dengan anaknya.

 

"Maaf, boleh Umi tahu pekerjaan orangtuamu, Nak?"

 

"Ayah pedagang di salah satu Mall di Medan, Bu. Ibu saya hanya Ibu rumah tangga biasa."

 

"Ohh, kuliah dulu dimana?"

 

"Saya kuliah di UIN, Umi," jawabku.

 

"Baiklah, salam kenal dari Umi, ya. Assalamu'alaikum."

 

"Wa'alaikum salam." Hatiku lega setelah pembicaraan itu selesai. Lebih berat rasanya menjawab pertanyaan yang mudah itu daripada menjawab interview mencari kerja kemarin.

 

###

 

"Apa kata umi setelah pembicaraan kemarin di telepon?" Ku tanyakan Kak Ibnu ingin tahu ketika dia meneleponku.

 

"Tidak ada tanggapan apa-apa."

 

"Lalu?"

 

"Umi tetap tidak setuju."

 

"Alasannya?"

 

"Umi tidak mengatakannya."

 

"Bolehkah aku berkenalan dengan umi secara langsung, Kak? bersilaturahmi ke rumah Kakak." Ah, terlalu berani kah aku? 

 

"Kakak sudah menawarkan itu ke umi, Kakak ingin mengajakmu ke rumah. Tapi umi malah menganggap rendah perempuan yang datang ke rumah laki-laki."

 

###

 

"Kak, sampai kapan aku menunggu? umurku akan bertambah dan aku tak tahu kapan umi akan berubah pikiran, sama halnya seperti aku tak tahu apa alasan umi tidak menyukaiku. Aku sudah menolak lamaran dua orang ikhwan untuk menunggumu." SMSku pada Kak Ibnu malam itu setelah sholat istiqhoroh kulakukan.

 

Balasan SMSnya mengejutkanku. "Jika ada yang melamarmu dan itu baik buatmu, pergilah, Dik. Mungkin kita belum berjodoh." Semudah itukah? Air mataku tumpah meruah. Sakit yang sangat, tercabik rasanya.

 

"Inikah yang kutunggu selama empat tahun? ini bukan waktu yang singkat!" balasku. Air mataku terus saja jatuh.  Ada rasa yang tak terbilang di hati. Belum pernah kurasakan ini sebelumnya,  hancur rasanya. 

 

Pesan singkat masuk lagi di gawaiku." Kakak sudah membicarakan ini lebih dari tiga kali ke Umi. Sejak abah meninggal umi lah pengambil keputusan dalam banyak hal di keluarga kakak."

 

"Apakah kakak dijodohkan?" Kuseka air mataku berulang, sesenggukan menyandar di kepala tempat tidur.  Kuucap istigfar berkali-kali, memohon ampun pada Tuhan karena selama ini tak bisa menjaga hati. Lemah langkahku menuju kamar mandi untuk berwudu', lalu sholat isya menenangkan pikiran. Mengadu pada Allah agar kuat menerima apapun isi pesan daring selanjutnya dari Kak Ibnu yang sudah lama hatiku untuknya saja. Setelah agak tenang, kubuka gawaiku. 

 

"Umi tidak mengatakannya. Umi hanya berkata kalau tetap memilihmu, maka umi tak mau mengenal kakak lagi." 

 

"Seburuk itukah aku, Kak? Aku ingin kita bertemu memastikan semuanya." Air mataku tumpah lagi. 

 

###

 

"Kak, Insyaallah akan kuterima khitbah seseorang malam ini, Insyaallah ini yang terbaik." SMS kukirim.

 

Aku tak mengharap jawaban dari sms itu. Setelah isya nanti akan datang Mas Fatih dan keluarganya ke rumah. Aku akan menata hatiku untuknya, untuk cinta yang direstuiNya.

 

Jelang magrib ponselku berbunyi tanpa nama, sms masuk, "Sekali lagi, baru saja kutemui umi mengungkapkan hal yang sama untuk terakhir kalinya, memintamu untuk jadi pendampingku. Tapi restu darinya tak kudapatkan untuk bersamamu. Tak berani kutentang ia yang melahirkanku, karena syurga di telapak kakinya. Maafkan aku atas lukamu. Berbahagialah dengan cinta yang di ridhoiNya."

 

Aku bisa menebak pesan itu dari siapa, walaupun sudah kuhapus namanya dari daftar di gawaiku.

 

Tak perlu kubalas pesan itu, karena aku terlalu sibuk membenahi hatiku menjemput cintaNya, yang kuyakini pasti yang terindah.

 

151116

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kembalikan cinta pada sang pemilik cinta, itu lebih baik. Selalu ada sulaman takdir terindah dariNya dan itulah yang harus kita syukuri. Masya Allah, cerita luar biasa yang menghanyutkan perasaan pembaca. Ditunggu cerita indah lainnya, Bu Guru Hilmi. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah.

07 Dec
Balas

InsyaAllah ibu.. Terima Kasih banyak sudah mampit.. Batokallah wa jazakillah

08 Dec

Wowwww cerita yang luar biasa dibalut tulusan nan afik, hingga menyeret hatiku menjadi sendu. Memang hidup ini pilihan dan memilih orang yang mencintai lebih baik daripada menunggu yang tak pasti. Sukses selalu dan barakallah

07 Dec
Balas

Iya ibu.. Mencinta karenaNya tentu lebih indah.. Terima Kasih ibu sudah singgah .. Barokallah wa jazakillah

07 Dec

Iya ibu.. Mencinta karenaNya tentu lebih indah.. Terima Kasih ibu sudah singgah .. Barokallah wa jazakillah

07 Dec



search

New Post