Nur Hilmi Daulay

Nur Hilmi Daulay. Email [email protected]. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Pencuri Sendal dan Sepatu di Masjid
gambar diambil dari tribun. com

Pencuri Sendal dan Sepatu di Masjid

Pencuri Sepatu dan Sendal di Masjid

Oleh : Nur Hilmi Daulay

Seperti biasa Ucok menggelar lapaknya di pasar. Ia bekerja menjahit sepatu sendal yang robek, ia juga menerima upahan menyemir. Kali ini seorang bapak berpenampilan rapi dan berwibawa sedang duduk menunggu di dekatnya. Sesekali Si bapak melihat arlojinya. Ucok menyemir sepatu milik lelaki itu sebaik mungkin. Ia menebak benda di tangannya tergolong mahal. Kulitnya mulus dan tidak sekeras sepatu kulit berbahan sintetis yang biasa ia semir.

“Sudah, Dik?" ujar bapak pemilik sepatu di tangan Ucok.

"Iya, Pak. Tinggal sentuhan akhirnya saja," jawab Ucok, "mmm, Bapak mau kemana? Terlihat buru-buru?" ia balik bertanya kepada lelaki dengan perut gembul itu.

"Saya sedang menunggu seseorang, tapi ia belum datang juga. Padahal janji ketemunya sudah lewat lima belas menit," keluhnya.

"Ooh, begitu. Ya sudah nunggu di sini aja, Pak! Ngobrol-ngobrol sama saya," ucap Ucok ramah.

"Hehehe, bisa saja kamu, Dik. Siapa namamu? sudah lama kamu bekerja di sini?" tanya si bapak.

"Namaku Ucok, Pak. Hmm, kerja menyemir dan menjahit sepatu begini sudah lama jugalah, Pak! Sekitar tiga tahun, sejak menikah," jawab Ucok, "ngomong-ngomong, Bapak jarang terlihat di daerah sini. Bapak bukan orang sini ya. Nama Bapak siapa?" tanyanya lagi.

"Panggil saja pak Anto. Saya baru pindah. Dulu rumah saya daerah Imam bonjol. Baru sebulan di sini. Eh, itu orang yang saya tunggu sudah datang. Sudah siap sepatunya?" tanya si bapak.

"Eh ini, Pak! Sudah kinclong," ujar Ucok. Si bapak lalu memberikan selembar uang lima ribu kepada Ucok, lalu ia melangkah menuju mobil hitam yang sudah parkir tidak jauh dari lapak tersebut.

***

Perut Ucok sedang tidak enak. Sekitar jam tiga jelang sore, ia kemas semua barang dan bersiap-siap pulang. Dalam perjalanan, Ucok melihat banyak orang berkerumun mengantri bazar sembako di depan masjid Al Hidayah. Selisih harganya lumayan dibanding kedai samping rumah. Ucok membuka dompet, menghitung uang yang digulung kecil-kecil hasil kerja hari ini. Masih cukup! Pikirnya.

Setelah menumpang buang hajat di kamar mandi mesjid, ia ikut mengantri. Beras, minyak dan gula masing-masing sekilo berhasil dibelinya. Azan ashar lalu berkumandang. Badannya yang masih lemas, membuat Ucok malas langsung pulang ke rumah. Ia beristirahat di teras masjid.

Beberapa orang lalu lalang mengambil wudhu. Penjualan sembako ditutup sementara selama penjaganya menunaikan sholat. Beberapa orang yang tadi mengantri terlihat ikut masuk ke masjid, beberapa menunggu, ada juga yang menggerutu meninggalkan lokasi.

Para jamaah sudah mulai sholat, Ucok masih duduk mengipas-ngipas badan di teras masjid. Tiba-tiba saja muncul ide baru di pikiran Ucok. Ia melirik-lirik sekitar, celingak-celinguk sebentar. Ucok pura-pura menunduk mengambil sesuatu. Dengan sigap diambilnya sendal terbaik di depannya.

Blass…, sepasang sendal yang paling bagus masuk ke plastik bersama belanjaan sembako Ucok. Hatinya lega tak seorangpun memperhatikan. Ia bergegas pulang ke rumah.

Keesokan harinya, Ucok menggelar sendal curian di dekat sepatu dan sendal butut yang biasa dipajang di atas rak kayu kecil sebagai penanda bahwa ia tukang semir dan jahit sepatu sendal. Di atas sendal curian itu, ditulisnya di atas karton "Sendal Monja* Rp. 30.000". Sendal itu akhirnya laku. Seorang mahasiswa menawar harganya jadi dua puluh lima ribu, Ucok memberikannya.

***

Hari ini seharian, hanya dua orang pelanggan yang datang menjahitkan sepatu ke lapak Ucok, Penghasilan dari hari ke hari semakin memprihatinkan. Ucok teringat pak Basar, pemilik kontrakan yang sudah beberapa kali mengingatkan Ucok dan istri untuk segera melunasi tunggakan kontrakan kalau masih mau tinggal lebih lama di rumah yang mereka tinggali. Ia jadi pusing sendiri.

Ucok memutuskan melakukan ide barunya. Ia tulis daftar masjid yang menjadi incaran aksinya, lalu membuat rencana dengan mensurvey terlebih dahulu masjid-masjid yang tidak ada penjaga sendal atau sepatunya.

Pulang ke rumah, di ambang pintu Ucok disambut tangisan. Risky, anaknya terlihat lemah dan pucat. Sementara Jamilah, istrinya terlihat panik. Ucok kaget melihat kondisi Risky.

"Bang, Risky panas. Ia mencret Bang, dari tadi ia bolak balik menangis. Ayo lah kita bawa ke Puskesmas!" ajak Jamilah. Ingin rasanya ia menggerutu, pikirannnya sudah kalut, kini Jamilah terasa menambah masalahnya. Dilihatnya Risky yang pucat, iapun tak tega melihat anak semata wayangnya itu.

Ucok segera membonceng Jamilah dan Risky ke Puskesmas terdekat. Beruntunglah cepat dibawa, ia dehidrasi. Risky diberi oralit dan beberapa obat. Dokter menyuruh mereka datang lagi keesokan harinya memeriksa kondisi Risky kecil. Jika masih mencret dan lemah harus diopname. Ucok dan Jamilah berpandangan, lalu mereka mengangguk saja. Sepasang suami istri itu pulang membawa anaknya dengan kalut, tak sepeserpun lagi uang di tangan mereka. Meminjam pada tetangga, mereka malu karena hutang yang lama pun belum dibayar.

Sesampainya di rumah. Jamilah membongkar seluruh lipatan pakaian, mencari-cari siapa tau ada uang yang disimpan dan mereka lupa mengambilnya. Ia terus mencari di segala lipatan. Syukurlah ia menemukan selembar uang sepuluh ribu dan dua lembar uang dua ribu rupiah. Setidaknya malam ini mereka masih bisa makan. Susu Risky pun masih cukup sampai esok hari. Walaupun itu artinya Ucok harus berpikir keras mencari uang untuk kebutuhan esok dan seterusnya.

***

Ucok mulai rajin sholat berjamaah dari satu masjid ke masjid lain. Ia selalu menempati shaf terakhir. Di tengah rakaat sholat ia akan pura-pura sakit perut lalu meninggalkan shaf. Lalu ia akan keluar masjid, melihat sekitar dan memasukkan dua pasang sepatu atau sendal terbaik ke dalam plastik kresek atau tas butut miliknya. Lalu bergegas meninggalkan masjid. Ia terus melakukan hal yang sama ke masjid-masjid berbeda. Ia memilih masjid dengan jarak yang jauh dari rumahnya agar tak kentara.

Hari perdananya kali ini ia berhasil mengumpulkan tiga sendal dan dua sepatu sampai ashar. Pada jam-jam tidak sholat ia melanjutkan pekerjaannya sebagai tukang semir dan jahit sepatu sendal. Ia memajang sepatu sendal curian miliknya dengan harga dibanderol skitar dua puluh sampai empat puluh ribu rupiah tergantung kualitas sepatu atau sendalnya.

Tak satupun melirik sendal dan sepatu yang ia jual hari ini. Hanya tiga orang pelanggan menjahitkan sepatu padanya. Ucok bingung, Risky harus dibawa berobat malam ini.

"Cok, tolong semirkan dulu sepatu saya ini," suara pak Anto membuyarkan lamunan. Setelah beberapa kali menyemirkan sepatunya, ia seolah sudah merasa dekat.

"Ooh, baik, Pak!" jawab Ucok senang. Ia mengambil sepatu si bapak dan bersiap-siap menyemirnya. "Tumben Bapak lewat sini sore. Biasanya pagi," ujar Ucok.

"Iya, tadi pagi buru-buru jadi gak sempat nyemir sepatu. Sekarang saya semirkan saja sekalian agar besok ketika berangkat kerja, sepatunya sudah kinclong,” jawabnya sambil melihat sesuatu yang berbeda di lapak Ucok. “Kamu jual sepatu dan sendal Monja juga sekarang, Cok? bagus itu," lanjutnya lagi.

"Iya, Pak. Ada teman yang minta barangnya sekalian dijualkan. Ya, aku mau saja. Lumayan kalau laku, menambah uang susu anak," katanya berbohong.

"Oh, kamu sudah punya anak rupanya. Berapa umurnya, Cok?" tanya si bapak.

"Sudah, Pak! Umurnya setahun. Ini sedang sakit. Sore ini mau dibawa ke Puskesmas lagi,” jawab Ucok.

"Sakit apa?" tanyanya dengan raut prihatin.

"Mencret, Pak! Dehidrasi kata dokter," jelas Ucok dengan nada lemah, sambil terus menyemir sepatu si bapak dengan hati-hati.

"Ooh, biasa itu anak-anak. Kalau mau tumbuh gigi atau mau tambah pintar dia sering sakit. Tapi jangan disepelekan! Cepat dibawa berobat. Kalau tidak, bisa bahaya!" kata si bapak.

Ucok mengiyakan. Lalu memberikan sepatu yang sudah selesai.

"Nah, ambil saja kembaliannya untuk tambahan berobat anakmu, ya!" ujar pak Anto pada Ucok.

Ia melihat selembar uang lima puluh ribu di tangan pak Anto yang disodorkan padanya. Matanya berbinar, ia terharu. Ia mengucapkan terima kasih sambil membungkukkan badannya. Beliau tersenyum dan pamit. Ucok lalu membereskan barang-barangnya dan bergegas pulang. Ia ingin segera membawa Risky ke dokter.

***

Sudah sekitar sebulan ia menjalankan aksinya. Semua masih aman-aman saja. Entah mengapa pula, sekarang masjid seolah menjadi tempat favorit Ucok. Ia selalu menunggu azan berkumandang, mendengarkannya dengan seksama. Berdiam berlama-lama di masjid. Ia merasa tenang dan tentram.

Perlahan Ucok merasa sesuatu yang aneh pada dirinya.

Awalnya ia hanya ikut-ikutan berwudhu agar orang-orang tak curiga. Ia membasuh wajahnya dengan air mengalir dari keran. Terasa sangat sejuk. Menikmati siramannya sambil melirik-lirik ke samping mengikuti orang-orang berwudhu di sekitarnya. Ya, entah kapan terakhir kalinya ia berwudhu dan sholat. Terlalu lama, ia sudah lupa.

Sekitar sebulan terbiasa melakukan gerakan wudhu, kini Ucok tak perlu lagi melirik samping kanan kiri untuk menyontek urutannya. Ia sudah hapal! Bahkan ia mulai suka mendengarkan alunan ayat-ayat dari imam sholat ketika subuh, magrib dan isya hatinya menjadi teduh. Terkadang bahkan airmatanya jatuh. Padahal ia tak tau artinya, hatinya bergetar.

Karena keinginannya ikut sholat begitu kuat, ia memutuskan melakukan aksinya sebelum sholat dilaksanakan. Sesekali ia duduk-duduk santai di teras masjid, sesekali pula sebelum atau sesudah berwudhu, ia berpura-pura mengambil sesuatu. Ketika suasana aman, ia memasukkan sepatu atau sendal ke plastik kresek, lalu memasukkan ke dalam tas bututnya. Kemudian bergabung dengan jamaah lain.

Selesai sholat magrib kali ini, ia tetap berdiam di masjid menunggu sholat isya. Ucok duduk sambil melihat Alquran dan membaca terjemahannya. Ia sudah mengamankan tas berisi sepatu curian di dekatnya. Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.

"Cok, kamukah itu?" Orang itu berhasil mengejutkan Ucok. Ia menoleh dan tersenyum lebar melihat pak Anto di dekatnya.

"Eh, Bapak…, kebetulan kita bertemu di sini. Kenapa Bapak ada di sini?" tanya Ucok. Karena tempat mereka bertemu biasanya di lapak Ucok yang jaraknya cukup jauh dengan mesjid ini.

"Ah, harusnya saya yang bertanya kenapa kamu sampai ke sini, Cok? Saya memang sedang menjenguk anak saya yang sakit. Kebetulan rumah ibunya anak-anak di sekitar sini," kata pak Anto.

"Eh.. aku…,aku…, kebetulan lewat sini Pak, karena…," bingung Ucok mencari alasan, "kebetulan lewat saja, tadi mau beli semir," katanya asal.

"Jauh sekali kamu beli semir sampai ke sini, hahaha," kata pak Anto tertawa.

"Bapak juga membingungkan," kilah Ucok, "bukankah Bapak tinggalnya di daerah Gatot subroto sana? Kenapa anak dan istri bapak ada di sini?" tanya Ucok penasaran.

"Ah, hmm…, Saya sudah berpisah dari istri sejak saya di-PHK sekitar dua bulan lalu, dia minta cerai. Sekarang anak saya Si sulung sedang sakit, jadi tadi saya jenguk sekaligus memberi uang kebutuhan bulanan anak-anak," kata pak Anto menjelaskan, nada suaranya terdengar datar.

"Oh, maaf Pak!" ujar Ucok sungkan.

"Tak apa-apa. Namanya juga hidup. Tapi saya sudah diterima di perusahaan baru sekarang,” wajah pak Anto terlihat senang, "Saya mulai dari nol lagi. Syukurlah salah satu teman saya sangat baik dan mau membantu. Ia manajer di perusahaan yang baru ini. Bahkan ia mau menjemput setiap akan pergi kerja karena rumah kami searah. Syukurlah, Tuhan mengirimnya untuk membantu saya dengan cara yang tidak disangka-sangka," lanjut pak Anto, "oiya, apakabar anakmu?" tanyanya lagi.

"Baik, Pak! Setelah dibawa ke Puskesmas ia sembuh. Rupanya ia tumbuh gigi," ujar Ucok.

"Oh, pantas saja," ujar pak Anto, "Oh iya, ini saya ada rejeki sedikit. Tolong berikan ke anakmu ya! Sudah dari kemarin niatnya, tapi belum sempat-sempat singgah ke tempatmu. Anakmu itu seumuran dengan anak saya yang bungsu. Semoga anak kita sehat-sehat ya," ujarnya.

Ucok menerima dua lembar uang seratus ribuan dari tangan pak Anto. "Terima kasih, Pak! Bapak baik sekali," ucapnya lirih.

"Ambillah! Allah memberi kita rejeki bisa dari mana saja," ucap pak Anto. Mereka mengakhiri pembicaraan karena azan tiba, bersiap untuk sholat isya.

***

Ucok mulai menggelar sepatu dan sendal dagangannya di atas rak kayu kecil. Menatanya sedemikian rupa agar terlihat orang lain. Sepatu sendal hari ini ada enam pasang.

"Cok, semirkan sepatu saya, ya!" ujar pak Anto tiba-tiba sudah ada di dekatnya. Ucok mengambil sepatu pak Anto.

"Bapak sepatu baru, ya?" tanyanya.

"Ya, begitulah. Semalam sepatu saya hilang di masjid," ucapnya.

Glek! Ucok menelan ludah. Ia ingat tadi malam sebelum sholat magrib ia menjalankan aksinya di masjid itu. Masjid tempat ia bertemu dengan pak Anto. Sepatu itu kini ikut terpajang di atas rak miliknya bersama beberapa sepatu curian lain.

Jantungnya berdegup kencang. "Melamun kamu, Cok?" tanya pak Anto, "Apa model sepatu Monjamu hari ini?" tanyanya sambil melihat-lihat.

Jantung Ucok semakin berdegup kencang. "Hey, ini seperti model sepatuku yang hilang!" ujar pak Anto, keningnya berkerut, "Saya suka sepatu model ini, berapa kamu jual, Cok?" tanya pak Anto.

"Eh..hm..hmm…anu…anu…Empat puluh ribu saja, Pak" ujar Ucok gugup.

"Ah, ini sepatu mahal. Kamu tak tau harga menjualnya segitu," kata Pak Anto,"sepatu saya dulu saya beli dengan harga kisaran satu juta rupiah di Bangkok. Kalau ukuran ini muat di kaki saya, akan langsung saya bayar seratus ribu," kata pak Anto.

Glek…, Ucok lagi-lagi menelan ludah. Ia menunduk. Terbongkarlah sudah, pikirnya.

Pak Anto terlihat sedang mengepaskan sepatu itu ke kakinya. Pas! Tentu saja sepatu itu berukuran pas di kaki pak Anto. Ucok benar-benar gegabah salah ambil. Ia benar-benar tak menyangka kalau sepatu itu milik pak Anto. Ia benar-benar merasa bodoh.

Pak Anto langsung mengeluarkan uang seratus ribu dari sakunya, menyerahkan kepada Ucok. Terlihat sebuah mobil hitam lewat lalu berhenti di pinggir jalan, dekat dengan tempat Ucok menggelar dagangannya. Sepatu yang tadi disemir Ucok pun sudah selesai. Pak Anto buru-buru pamit pada Ucok.

Ucok menarik nafas panjang. Banyak hal berkecamuk dalam pikirannya. Kalaulah ia tau sepatu itu milik pak Anto, ia tak akan mau mengambilnya. Orang itu telah banyak menolongnya, beliau sangat baik! Kenapa seceroboh ini?!! Batin Ucok. Hatinya menahan sesal.

Ucok uring-uringan. Azan zuhur berkumandang. Ia titip dagangannya pada penjual sayur di sebelah. Ia pergi ke masjid. Bukan untuk mencuri sendal atau sepatu! Tapi untuk menenangkan diri.

Ucok sholat dengan berbagai rasa di dadanya. Hatinya merasa sangat banyak berdosa. Ia benar-benar ingin berubah. Ingin menjadi lebih baik. Mampukah aku? pikirnya dalam-dalam.

***

Ucok menjalani hari seperti biasanya. Ia menjahit sepatu sendal orang-orang yang robek dan menyemirnya. Ia juga ke masjid setiap azan berkumandang. Kini pikirannya tidak lagi ingin mencuri, ia ingin berubah. Tak jarang air matanya tumpah, ia menyesal. Dalam doanya, ia juga mengadu tentang kontrakannya yang selalu menunggak. Hutang di kedai yang belum dibayar, uang beli susu Risky yang payah, sementara istriya itu tak ada air susunya. Bahkan tak jarang Jamilah memberi anaknya air tajin sebagai pengganti susu karena tak ada uang. Setiap hari ia berdoa semoga Allah memudahkan usahanya.

Sejak saat itu, Ucok tak lagi melihat pak Anto singgah di lapaknya. Ah, mungkin beliau sudah tau aku ini pencuri sepatunya di masjid, pikirnya. Tapi timbul niatnya ingin minta maaf pada pak Anto dan menceritakan yang sejujurnya.

Lepas sholat ashar hari ini, ia melihat seseorang yang dikenalnya sedang mengaji di sudut masjid. Ucok menunggui lelaki itu di belakangnya. Selesai tilawah. Ketika akan berdiri pulang, Ucok langsung menegurnya.

"Pak Anto. Hmm.. maaf, apakabar?" tanyanya.

"Hei..Ucok. Kabar baik. Lama tak jumpa. Apa kabarmu, Cok?” tanyanya sambil menyalami Ucok dan duduk di depannya, “Maaf saya tak pernah singgah lagi ke lapakmu. Sekarang saya dipindahtugaskan ke kantor cabang. Alhamdulillah, saya sudah rujuk dengan ibunya anak-anak. Dan kami kembali menempati rumah lama di Imam bonjol," kata-katanya mengalir dengan akrab.

"Alhamdulillah, senang mendengarnya, Pak," kata Ucok lega. Pak Anto masih mau berbicara padanya. "Ada yang mau aku omongin, Pak" lanjutnya lagi dengan mimik serius.

"Ooh, silahkan, Cok. Wajahmu terlihat serius. Apa hal yang penting itu?" tanya pak Anto.

Ucok menghela nafas panjang. Ia sudah bersiap menerima apapun konsekwensi akibat perbuatannya. Setidaknya jujur akan membuatnya lega. Mengalirlah cerita Ucok tentang kelakuannya mencuri sendal dan sepatu di masjid, hingga tak sengaja ia mencuri sepatu pak Anto malam itu. Pak Anto mendengarkan semuanya dengan seksama. Beliau diam.

Setelah beberapa saat, Pak Anto menepuk-nepuk pundak Ucok. "Sudahlah, Cok. Yang penting kamu sudah sadar perbuatanmu itu salah. Saya ikhlas," katanya. Ucok terlihat rapuh, "Sebenarnya saya agak curiga melihat sepatu itu persis sekali milik saya. Tapi saya tidak ingin buruk sangka," katanya.

"Bapak memaafkan saya?" tanya Ucok.

"Ya, Cok. Allah saja maha pengampun. Saya ini cuma hamba Allah. Saya tentu memaafkan kamu. Segeralah bertaubat kepada Allah, jangan ulangi lagi!" ujarnya.

"Iya, Pak. Saya janji, saya memang ingin sekali berubah," ucapnya pelan. Ah, betapa ia ingin berubah, tapi ia juga bingung mendapat uang darimana jika berhenti.

"Oiya Cok. Kamu pandai menyetir mobil?" tanya Pak Anto.

"Bisa, Pak! Sebelum bekerja seperti sekarang saya dulunya supir angkot," katanya.

"Perusahaan sedang butuh driver mengangkut barang wilayah dalam kota. Kalau kamu bersedia, besok datanglah ke kantor saya. Akan saya kenalkan kamu dengan Manajer yang sering menjemput saya dengan mobil hitam dulu," ajak pak Anto, "beliau langsung yang akan interview," jelasnya lagi.

"Mmm..Maauu, Pak. Ssaaya mau sekali!" ujar Ucok bersemangat.

"Baik, ini kartu namanya. Datanglah besok pagi dengan pakaian rapi, ya!" ujarnya lagi.

Ketika magrib berkumandang. Mereka berjamaah. Ucok bersimpuh. Inilah waktunya hijrah, pikirnya. Terima kasih Allah, yang telah memudahkan segalanya.

Ba'da magrib, Ucok masih bergeming di tempat duduknya. Terbayang raut bahagia Jamilah. Terbayang wajah Risky, besok ayahnya akan bekerja di perusahaan. Ah, kerennya!

***selesai***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Penguatan karakter, sangat menginspirasi. Salam literasi.

14 Nov
Balas

Terima Kasih bu..salam kenal.. Salam literasi :-)

22 Nov

Cerita yang menginspirasi.. salam sukses selalu...

14 Nov
Balas

terimakasih bu.. Salam hormat

14 Nov

Selalu mengandung nilai-nilai pendidikan karakter. Bacaan bergizi Bu. Salam Literasi

14 Nov
Balas

terima kasih bu.. Salam literasi

22 Nov



search

New Post