Salma duduk sendiri di kursi bambu yang berada di pinggir kolam samping rumah. Gemericik air menambah syahdu malam itu. Kembali ia teringat masa-masa indah bersama Jamal, suaminya tercinta.

“Dik!” teriak Jamal dari dalam rumah.

“Ya Bang. Saya ada di sini. Di samping kolam,” teriak Salma dari luar.

Jamal beranjak dari duduknya, lalu berjalan menuju ke kolam. Tangannya meraba-raba, mencai kursi yang berada di tepi kolam. Lalu ia duduk di sebelah Salma, istrinya tercinta.

“Kok malam-malam duduk di luar?” tanyanya lembut.

“Iya Bang. Saya rindu melihat bulan purnama,” jawab Salma sambil memandang bulan yang memancarkan cahaya kuning keemasan nan indah menawan.

“Saat ini, pasti bulan terlihat sangat indah ya?” tanya Jamal sambil tersenyum.

“Iya Bang. Bulan purnama penuh,” jawab Salma.

“Abang jadi ingat. Dulu, kita sering menikmati indahnya bulan purnama berdua,” kata Jamal sambil tersenyum getir.

“Sekarangpun, kita masih bisa menikmatinya Bang,” jawab Salma sambil menggenggam tangan suaminya.

“Tapi sekarang, aku tak bisa lagi melihat indahnya bulan purnama,” kata Jamal.

“Aku akan menceritakannya untukmu Bang,” jawab Salma masih menggenggam tangan Jamal.

Sejak tiga tahun yang lalu, Jamal memang tak bisa lagi melihat indahnya purnama. Matanya kini menjadi buta akibat penyakit glaukoma yang dideritanya. Sudah berbagai cara dilakukannya namun tak jua membuahkan hasil. Jamalpun berhenti dari pekerjaannya dan kini dia bekerja sebagai tukang pijat.

“Beruntung aku mempunyai istri sebaik kamu Dik,” kata Jamal sambil merangkul pundak istrinya.

“Aku juga beruntung memiliki suami seperti Abang,” jawab Salma lalu menyandarkan kepalanya ke dada suaminya.

Jamal membelai rambut Salma dengan lembut.

“Tapi sekarang aku buta Dik. Tak bisa lagi memberikan kebahagiaan untukmu seperti dulu,” kata Jamal.

“Abang. Jangan berkata seperti itu. Aku selalu merasa bahagia berada di samping Abang,” jawab Salma.

“Benarkah?” tanya Jamal.

“Benar Bang. Abang adalah cinta pertama dan terakhirku,” jawab Salma sambil memeluk suaminya.

Jamal memeluk istrinya. Hening. Hanya suara jengkerik dan binatang malam yang menemani mereka.

“Dik,” bisik Jamal.

“Hmmm,” jawab Salma.

“Tak terasa, sudah dua puluh tahun kita mengarungi bahtera rumah tangga. Terimakasih telah setia menemaniku dalam suka maupun duka,” kata Jamal lembut.

“Sama-sama Bang. Aku juga berterimakasih, karena Abang selalu mengerti aku dan selalu membuatku bahagia selama ini,” jawab Salma.

“Dik,” bisik Jamal.

“Hmmm,” jawab Salma.

“Aku punya sesuatu untukmu,” kata Jamal.

“Apa itu Bang?” tanya Salma lalu melepaskan pelukannya dan menggeser duduknya menghadap ke arah Jamal.

Perlahan Jamal merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil lalu memberikannya pada Salma.

“Apa ini Bang?” tanya Salma

“Bukalah,” kata Jamal.

Salma membuka kotak itu. Ada sebuah cincin emas yang sangat indah di sana. Dia memandang suaminya. Tiba-tiba, pipinya terasa hangat. Ada bulir-bulir bening meleleh membasahi pipinya yang mulai keriput.

“Selamat ulang tahun istriku. Semoga panjang umur, selalu sehat, semakin sabar dalam menerima ujian dari Allah dan semakin sayang pada keluarga,” kata Jamal sambil menggenggam tangan istrinya.

Dia meraba kotak yang dipegang oleh Salma, mengambil cincin yang ada di dalamnya lalu menyematkannya di jari manis istrinya. Dikecupnya kening istrinya dengan mesra.

“Terimakasih Bang,” bisik Salma sambil memeluk suaminya.