NUR IMAMAH DWIYANTI

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Lukisan Senja di Taman Desa

Lukisan Senja di Taman Desa

Langit mulai gelap. Perlahan namun pasti, mentari mulai undur diri, bersembunyi di balik awan yang terlihat semakin memerah. Dan aku masih setia di sini. Duduk di saung taman desa sambil meikmati senja.

**

Saung taman desa merupakan tempat favoritku bersama Bang Rehan. Kami sering menghabiskan waktu di sini, berdua, sambil menikmati lukisan senja yang indah memesona. Melihat para pengunjung yang asik berfoto ria. Ada juga yang mendendangkan lagu di saung yang lain. Ada yang naik perahu bersama keluarganya atau naik sepeda air yang tak kalah mengasyikkan.

**

Sore ini, aku begitu rindu dengan saung desa tempat kami biasa bercerita tentang indahnya cinta. Aku juga rindu pada Bang Rehan yang kini hanya bisa kusapa lewat doa. Kini aku sendiri menikmati senja, tanpa Bang Rehan di sampingku. Tiada lagi tempatku menyandarkan kepala saat aku ingin bermanja, tiada lagi tempatku berbagi cerita ketika hatiku gundah gulana. Tiba-tiba hariku terasa begitu berat.

**

Kepergiannya yang tiba-tiba sempat membuatku limbung beberapa bulan lamanya. Malam itu, kami masih sempat bercerita sambil menikmati sepiring nasi goreng buatannya yang sangat lezat. Tumben, malam ini Bang Rehan begitu manja padaku. Bahkan dia minta aku suapi ketika makan.

"Dik, ayo kita kita istirahat. Besok kamu harus bangun pagi-pagi karena Abang akan pergi," katanya sambil menatapku dengan mesra.

"Abang akan pergi ke mana?" tanyaku.

"Ada tugas yang harus abang selesaikan," katanya sambil berdiri lalu berjalan ke kamar mandi.

Sudah menjadi kebiasaan Bang Rehan, sebelum tidur selalu berwudhu terlebih dahulu. Akupun mengikutinya ke kamar mandi dan berwudhu seperti yang dilakukannya. Selesai berwudhu, aku kembali mengikutinya ke kamar untuk istirahat. Malam itu, Bang Rehan tidur sangat pulas. Akupun segera memejamkan mata, mengingat pesan Bang Rehan bahwa besok aku harus bangun pagi-pagi. Aku tak ingin terlambat mempersiapkan segala keperluannya.

**

Malam begitu hening. Sayup kudengar kokok ayam bersahutan. Kulirik jam di dinding kamar. Jarum jam merangkak menuju ke angka tiga. Biasanya jam segini, Bang Rehan sudah bangun dan selalu mengajakku untuk melaksanakan sholat malam. Kulirik Bang Rehan yang masih tertidur pulas. Kutepuk pundaknya pelan untuk membangunkannya, namun ia tak bergeming sedikitpun. Kugoyang pundaknya pelan tak juga ada reaksi. Kugoyang lebih keras, namun dia tetap diam membisu. Kunyalakan lampu kamar, kuperhatikan wajah Bang Rehan yang terlihat teduh. Kuamati seluruh tubuhnya, tak ada gerakan sedikitpun, bahkan tak kulihat ada tarikan nafas di sana. Aku mulai cemas. Kupanggil berulangkali namun dia tak menjawab. Lalu kuletakkan jari telunjukku di depan lubang hidungnya dan aku terkesiap.

Aku berteriak histeris sambil memanggil manggil namanya. Kuguncang tubuhnya berkali-kali, tetap saja tak ada reaksi. Ibu yang mendengar teriakanku berlari masuk ke kamarku. Beliau meraba pergelangan tangan Bang Rehan, lalu duduk di sampingku.

"Nduk, suamimu sudah pergi." katanya sambil memegang bahuku.

"Tidaaaaak!" akupun berterkak sekuat tenaga sambil memeluk suamiku tercinta. Selanjutnya aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Pingsan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post