NUR IMAMAH DWIYANTI

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Saksi Bisu Cinta Kita

Saksi Bisu Cinta Kita

Perlahan, Marni turun dari tanggul sambil membawa bakul yang terbuat dari bambu. Ia masuk ke dalam sungai. Separoh tubuhnya terendam di dalam sungai hingga sebatas pinggang ke atas saja yang nampak dari atas. Sementara itu, Warno, suaminya, duduk di atas tanggul menanti istrinya yang sedang mengambil pasir dari dalam sungai. Sebentar kemudian, Marni telah berhasil mengisi bakulnya dengan pasir. Dia segera mengangkatnya ke atas tanggul lalu memberikannya pada suaminya. Warno menerima bakul berisi pasir itu lalu membawanya naik. Dia meraba gerobak kecil yang diparkirnya dipinggir jalan lalu menuangkan pasir tersebut ke dalamnya.

Marni dan Warno melakukan aktivitas ini setiap pagi. Mereka berdua adalah salah satu diantara beberapa orang yang mengais rezeki dengan menjadi penambang pasir tradisional. Marni bertugas mengambil pasir dari dalam sungai sedangkan Warno bertugas menuangkan pasir itu ke dalam gerobak. Meskipun terlahir sebagai seorang tunanetra, namun Warno sudah hafal dengan seluk beluk jalan tempat dia dan istrinya biasa menambang pasir. Sehingga dengan cekatan, diapun mampu membantu istrinya untuk menuangkan pasir-pasir itu ke dalam gerobak kecil miliknya.

“Dik, gerobaknya sudah penuh!” teriak Warno sambil berdiri di atas tanggul.

“Iya Kang!” jawab Marni lalu bergegas naik menyusul suaminya yang masih berdiri di atas tanggul.

“Ayo kita pulang,” kata Marni sambil menggandeng tangan suaminya.

Mereka berdua berjalan menuju gerobak yang mereka letakkan di tepi jalan. Gerobak itu sudah penuh dengan pasir hasil pencarian mereka pagi ini. Marni berjalan ke depan gerobak lalu menggangkat pegangannya, sementara Warno berada di belakang gerobak.

“Sudah siap Kang?” tanya Marni sambil menoleh ke belakang.

“Sudah Dik,” jawab Warno dari belakang.

Segera Marni menarik gerobak berisi pasir itu dengan didorong oleh Warno dari belakang. Tak berapa lama, merekapun sampai di halaman rumahnya. Dengan cekatan, Warno membuka penutup bagian belakang gerobak lalu menurunkan pasir yang ada di dalamnya dengan menggunakan cangkul.

“Kita istirahat dulu Kang. Sarapan dulu,” kata Marni setelah mereka selesai menurunkan pasir.

Warno berjalan ke sumur, lalu mencuci tangannya yang diikuti oleh istrinya. Setelah mencuci tangan, Warno berjalan lalu duduk di atas lincak (bangku panjang dari bambu) yang berada di teras rumah mereka. Marni masuk ke rumah. Sebentar kemudian dia keluar sambil membawa sepiring singkong rebus di tangan kanannya dan ceret di tangan kirinya. Diletakkannya piring dan ceret itu di atas lincak di samping suaminya.

“Maaf Kang. Pagi ini kita hanya bisa sarapan singkong rebus,” katanya sambil memberikan sepotong singkong rebus kepada suaminya.

“Nggak apa-apa Dik. Disyukuri saja. Alhamdulillaah, kita masih bisa makan hari ini,” jawab Warno sambil menerima singkong rebus dari istrinya.

“Iya Kang,” jawab Marni kemudian mengambil sepotong singkong dan memakannya.

“Enak ya Kang. Singkongnya gurih,” kata Marni sambil mengunyah singkong.

“Iya Dik. Apalagi makannya bareng sama kamu. Nikmatnya sampai ke dalam hati,” jawab Warno sambil tersenyum.

“Ah, Kang Warno bisa saja,” kata Marni sambil tersenyum.

Marni sangat mencintai suaminya. Meskipun buta, namun Warno sangat tekun dalam beribadah. Dia juga salah seorang muadzin di mushola dekat rumahnya. Tak pernah sekalipun dia melewatkan sholat sunnah. Setiap malam, selalu dibangunkannya istrinya dan diajaknya untuk melaksanakan sholat malam.

Sugeng enjing Kang Warno,” sapa Pak Jamil sambil menyalami Warno.

Sugeng enjing Pak,” jawab Warno.

“Sudah dapat berapa gerobak Kang?” tanya Pak Jamil lalu duduk di samping Warno.

“Lima Pak,” jawab Warno.

“Masih mau turun lagi?” tanya Pak Jamil sambil memandang Marni.

“Nggak Pak. Lima saja,” jawab Marni.

“Iya Pak. Hari ini cukup lima gerobak saja, soalnya tadi malam sudah ada yang antri mau pijat,” timpal Warno.

Selain mencari pasir, Warno juga nyambi menjadi tukang pijat. Sedangkan Marni, dia bekerja sebagai buruh cuci di rumah Pak Lurah. Hari ini sudah ada dua orang yang mengantri untuk dipijit oleh Warno.

“Kalau begitu, saya ambil sekarang ya Kang, pasirnya,” kata Pak Jamil.

Monggo Pak,” jawab Warno.

“Ini uangnya Kang. Dua ratus lima puluh ribu ya Kang?” tanya Pak Jamil sambil memberikan lima lembar uang lima puluh ribuan kepada Warno.

“Iya Pak. Terimakasih,” jawab Warno sambil menerima uang dari Pak Jamil.

“Sama-sama Kang Warno,” kata Pak Jamil.

“Saya pamit dulu, nanti biar anak-anak yang mengambil pasirnya,’ lanjutnya.

Inggih Pak,” jawab Warno sambil memasukkan uang dari Pak Jamil ke saku bajunya.

“Saya pamit dulu Mbakyu,” Pamit Pak Jamil kepada Marni lalu meninggalkan mereka berdua yang masih duduk di atas lincak.

Sugeng enjing = Selamat pagi

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post