Nurma Inna

Nama saya Nurmainah. Tinggal di sebuah kota kecil bernama Panyabungan. Saat ini mengajar di SMP dan SMA IT Al Husnayain. Jadi guru adalah takdir saya. Menulis a...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kuingin Rejeki Berkah

Kuingin Rejeki Berkah

Tantangan Menulis Hari ke -22

#TantanganGurusiana

Pagi itu perhatian Nina langsung tertuju pada setandan pisang di sudut dapur. Pisang raja dari bernas itu di sisir bagian atas sudah terlihat menguning.

“Pa...Ini pisang darimana?” teriaknya pada suaminya Iwan yang sedang berada di kamar mandi. Suaranya adu kencang dengan suara mesin pompa air yang menderu-deru ibarat mobil tak terawat.

“Apa?” Iwan berteriak tak kalah kencang.

“Udah, nanti aja,” balas Nina. Ia tiba-tiba ingat hadis tentang larangan berbicara di kamar mandi.

Tak lama Iwan keluar kamar dari kamar mandi. Sambil mengibas-ngibaskan rambut ia menyambar.

“Apaan sih? Pagi-pagi dah heboh,” tegur Iwan agak nyolot. Soalnya lagi enak-enak termenung di kamar mandi diinterupsi oleh suara Nina yang cempreng ngalah-ngalahin suara tukang sayur keliling.

“Itu,” Nina menunjuk pisang di sudut dengan dagu,”dapat darimana?”tanyanya dengan nada penuh selidik.

“Ambil dari sebelah,”kata suaminya singkat. Singkat namun mampu membuat suara Nina naik dua oktaf.

“Hah? Ambil lagi? Nggak minta izin dulu sama Pak Rajab?”cecarnya beruntun.

Sebelah dimaksud adalah tanah kosong ukuran sepuluh kali empat puluh meter. Tidak terlalu kosong sih, soalnya beberapa tanaman tumbuh di atasnya seperti pohon kelapa dan pisang.

“Ih, kan dulu udah. Pak Rajab bilang tanahnya diurusin biar nggak semak. Kelapa dan pisangnya boleh kita ambil,”terang suaminya sambil beranjak ke kamar. Nina mengikuti.

“Ngapain sih ngikutin? Papa curiga nih,” goda suaminya sambil mengerling nakal.

“Huh, dasar!” Nina mencubit lengan suaminya dengan manja. Iwan terkekeh.

“Beneran, dah minta izin?” selidiknya lagi dengan muka serius.

“Ya ampun. Nggak percayaan banget sih. Berapa kali Papa harus bilang,” Iwan sedikit kesal.

Iwan merasa akhir-akhir ini Nina bersikap aneh. Setiap ia pulang membawa sesuatu pasti langsung diberondong dengan pertanyaan yang sama. Seminggu yang lalu Iwan membawa kertas kosong dari kantor. Ada artikel menarik yang ingin ia cetak. Nina langsung menginterogasi. Artikel itu untuk pribadi atau untuk keperluan mengajar. Dan Nina pun langsung mencak-mencak begitu tau artikel itu untuk bahan referensi pribadi.

"Itu namanya nyolong, Pa. Mencuri. Itu kan kertas sekolah. Haram,” Nina mengedikkan bahu.

“Kan cuma sepuluh lembar, Ma. Lagian juga yang punya sekolah kok. Nggak ada yang rugi,”timpal Iwan tak mengerti kenapa tiba-tiba Nina meributkan hal-hal kecil seperti ini. Biasa juga dia bawa kertas dari sekolah kalau stok kertasnya di rumah habis.

“Mau sedikit mau nggak ya tetap nyolong,”suara Nina sedikit bergetar.

Seolah ia sedang berusaha menerima kenyataan pahit kalau Iwan seorang maling, maling kertas.

“Lagian udah minta izin ke TU,” tukas Iwan kesal. Tumben beginian diributin.

“Kan yang punya kertas bukan TU. Itu punya sekolah. Yang biayain pemerintah. Jadi kertas itu boleh dipake cuma buat keperluan sekolah,” timpal Nina tak mau kalah,”lagian kalau pun itu dianggap nggak haram jatuhnya jadi syubhat. Dan syubhat itu mendekati haram,” terang Nina panjang lebar dengan gaya seperti ustazdah yang akhir-akhir ini ditontonnya di televisi. Huff ... Iwan menarik napas. Kehilangan kata-kata.

Nina memang sedikit berubah akhir-akhir ini. Mungkin karena ia sering menontn ceramah di Youtube. Iwan sih senang. Soalnya jilbab Nina tambah rapi. Dandanan tak lagi semeriah sebelumnya. Lebih anggun di mata Iwan. Baju panjang yang agak longgar dengan jilbab yang sampai ke ujung punggung menggantikan jilbab pendek yang biasa Nina pakai.

Tapi Nina bertambah cerewet dengan urusan halal haram ini. Padahal Iwan bukan koruptor. Dia cuma guru biasa tanpa jabatan apa-apa. Posisinya benar-benar tak membuka peluang untuk korupsi. Selain terlambat masuk ke kelas beberapa menit, paling top ia mengambil beberapa kertas dari sekolah. Sebel ia kalo lihat Nina cerewet untuk urusan kecil begitu. Yang korupsi miliaran aja kelihatan santai, batinnya.

Pagi ini pun Nina mulai menyelidiki pisang yang pagi-pagi sekali ditebangnya di samping rumah. Padahal setiap kali pisang dan kelapa berbuah Iwan yang memetik hasilnya. Pak Rajab jarang datang. Bahkan setahun ini sudah tidak pernah muncul. Sepertinya buat Pak Rajab tanah itu hanya sekedar investasi.

“Kenapa sih akhir-akhir ini kamu berubah. Biasanya juga nggak nanya-nanya,” tanya Iwan penasaran.

Kali ini ia bertanya dengan lembut. Moodnya lagi bagus. Biasanya ia menanyakan itu dengan nada tinggi di sela perdebatan mereka. Dilontarkan bukan untuk mendapatkan jawaban. Lebih untuk melampiaskan kekesalan. Untuk itu ia mendapatkan lengosan sebagai jawaban.

Nina terdiam beberapa saat. Seperti ragu dan menimbang-nimbang.

“Aku nggak pengen anak kita makan yang haram ,”kata Nina lirih sejurus kemudian.

Hah? Ada sesuatu yang Iwan belum mengerti. Anak? Pernikahan mereka selama lima tahun kan belum menghasilkan anak. Jangan-jangan? Iwan memicingkan mata. Nina tersenyum sambil mengelus perutnya.

“Beneran, Ma?” tanya Iwan harap cemas.

Matanya tertuju pada perut istrinya.

Nina tersenyum. Buat Iwan ini sudah jawaban. Ia langsung menghambur dan memeluk isterinya. Kuat didekapnya Nina. Bibirnya sibuk memuji kebesaran Allah.

“Alhamdulillah,”desisnya berkali-kali.

“Sengaja nggak kasih tau Papa. Takut kecewa,” kata Nina seolah tau pertanyaan di kepala Iwan. “Sudah telat tiga minggu,”bisiknya lagi.

Iwan melepaskan dekapan dan menatap kasih istrinya.

“Nakal. Pantes kamu cerewet akhir-akhir ini,”ujarnya bahagia. Nina tertawa. Ada air yang mengalir di sudut matanya.

“Pa, janji ya. Bawa rejeki yang halal saja. Aku pengen anak kita makan yang baik dan halal saja. Jangan bawa sesuatu yang bukan hak milik kita. Asal halal berapapun yang Papa bawa aku terima. Asal berkah,” ucap Nina sungguh-sungguh.

Iwan mendekap kembali isterinya.Mengangguk berkali-kali. Tanpa kata. Setetes air mengalir di sudut matanya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Samasama. Ini pengingat untuk diri saya sendiri juga

06 Feb
Balas

Terima kasih pengingatnya ibu.

05 Feb
Balas

Subhanallah

06 Feb
Balas

Pengingat diri Bu

06 Feb



search

New Post