Nurohman

Seorang pemulung aksara yang gemar mengais dan memungut serakan kata dari keranjang bahasa lalu merangkainya menjadi tumpukan rasa. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
BERSIKAP IDEALIS ITU PENTING!

BERSIKAP IDEALIS ITU PENTING!

Sekitar sebulan lalu, untuk pertama kalinya—setelah terjadi pandemi—saya mendengar suara bel istirahat. Salah seorang peserta didik juga sempat menyeletuk dalam bahasa Jawa yang kira-kira kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia akan jadi begini, "Wah, sudah lama sekali saya tidak mendengar suara tanda istirahat ini." Celetukan tersebut langsung diiyakan oleh sebagian besar teman-temannya.

Memang, dalam uji coba PTM (Pembelajaran Tatap Muka) selama ini, peserta didik disarankan untuk membawa bekal dari rumah karena kantin sekolah tidak diperbolehkan untuk buka sehingga sebelumnya tidak ada jam istirahat karena jam pembelajaran masih terbatas dan peserta didik langsung pulang tiga puluh menit sebelum grup kedua atau shift siang mulai belajar di sekolah.

Dua hari yang lalu, seorang kawan yang tinggal di kota lain mengabarkan bahwa di wilayahnya pembelajaran kembali dilaksanakan seratus persen secara online. Seratus persen, bukan lima puluh atau bergiliran. Artinya, sama sekali tidak ada kegiatan belajar di sekolah. Begitu membacanya, ada rasa sedih, sedikit rasa khawatir, dan rasa enggan kalau-kalau hal itu juga diberlakukan di wilayah saya. Dan benar saja, kemarin hal yang tidak saya inginkan—saya rasa juga banyak pengajar lainnya— pun terjadi.

Sebenarnya, tidak ada salahnya melakukan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) dengan alasan mencegah penularan korona yang sedang mengalami peningkatan jumlah pasien. Memang itulah salah satu jalan terbaik dan teraman yang bisa dilakukan. Akan tetapi, belajar tanpa bertemu langsung dengan peserta didik merupakan sebentuk tantangan tersendiri bagi saya sebagai guru dan besar kemungkinan banyak pengajar di seluruh Indonesia, terutama yang tinggal di daerah yang memiliki perbedaan topografi yang berbeda-beda.

Jaringan internet masih menjadi salah satu alasan terkendalanya pembelajaran yang lebih efektif di masa pandemi. Seandainya semua peserta didik memiliki akses internet yang bagus, saya rasa belajar bisa dilakukan secara langsung dengan menggunakan platform seperti Google Meet, Zoom, Webex, atau yang lainnya. Namun, jika tidak semua peserta didik memiliki akses jaringan internet yang bagus karena tinggal di daerah pegunungan, kelas online dengan platform-platform tadi hanya akan bisa diikuti oleh mereka yang memiliki akses internet yang bagus. Dan jika dipaksakan justru akan menimbulkan kesenjangan kesempatan belajar di antara para peserta didik.

Belajar melalui Google Classroom atau WhatsApp juga bisa menjadi salah satu opsi yang bisa dipilih oleh pengajar. Akan tetapi, tingkat keefektifan dan keberhasilannya juga patut untuk diragukan karena guru dan peserta didik tidak bertemu secara langsung. Apalagi untuk mata pelajaran yang sudah terbilang sulit dipahami meskipun dilakukan secara langsung, pandemi akan semakin memperkecil tingkat pemahaman peserta didik terhadap mata pelajaran tersebut.

Meskipun bisa disiasati dengan membuat video pembelajaran yang kemudian diunggah ke You Tube, lalu tautannya dibagikan ke kelas masing-masing, tetap saja tak ada jaminan bahwa peserta didik benar-benar mau menonton video tersebut. Kalau pun ditonton, tak ada jaminan mereka menyaksikannya dari awal hingga akhir. Padahal, kalaupun ditonton secara utuh saja belum tentu peserta didik bisa memahami materi yang disampaikan dengan baik, apalagi jika mereka menontonnya dengan berkali-kali dipercepat atau diskap-skip agar segera selesai.

Sudah begitu, ada juga seorang bakul yang mangkal dekat sekolah pernah bilang begini ke saya, "Wah, enak ya jadi guru di masa pandemi. Tidak perlu ke sekolah, tetapi tetap gajian." Meskipun ungkapan tersebut disampaikan dengan nada guyon, saya ambil kesempatan itu untuk menjelaskan seperti apa realita yang terjadi—jika terlalu vulgar untuk dikatakan membela diri.

Saya katakan bahwa jika bisa memilih, saya dan kawan-kawan pengajar yang lain pasti memilih belajar dengan tatap muka karena kami bisa lebih mudah dalam menyampaikan materi ajar. Kami juga bisa ber-haha-hihi dengan peserta didik di kelas. Intinya, mengajar kelas online itu jauh lebih sulit dan hasilnya belum tentu sama bagusnya jika dibandingkan dengan kelas tatap muka. Selain itu, bagi saya, gaji bukanlah segalanya karena yang lebih penting adalah uang, eh kliru, yang lebih penting peserta didik bisa memahami materi ajar dan bisa memperoleh ilmu yang bermanfaat.

Mayoritas peserta didik pun memiliki pendapat yang sama dengan guru. Mereka lebih suka jika pembelajaran dilaksanakan di ruang kelas dan bertatap muka secara langsung. Hanya saja ada satu perbedaan alasan yang mendasar. Jika para pengajar memiliki alasan-alasan berdasarkan perspektif topografi, sosio-kultural, religiusitas, historis, maupun psikologis, peserta didik hanya memiliki satu alasan yang jauh lebih idealis yang muncul dari perspektif sosio-ekonomis. Mereka menolak kelas daring dan ngotot ingin masuk sekolah terus karena jika tidak berangkat ke sekolah, pendapatan atau income harian mereka anjlok drastis karena artinya tidak ada jatah untuk uang saku dari orangtua mereka. Hayo, kurang idealis apalagi alasan yang sejujur itu?

Nganjuk, 15 Februari 2022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post