Nurohman

Seorang pemulung aksara yang gemar mengais dan memungut serakan kata dari keranjang bahasa lalu merangkainya menjadi tumpukan rasa. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
NASI GORENG BERBUMBU REMIDI

NASI GORENG BERBUMBU REMIDI

Saya baru saja selesai menikmati sepiring nasi goreng untuk makan malam kali ini. Sebenarnya, sama sekali tidak ada yang istimewa dalam nasi goreng tersebut hingga saya menceritakannya dalam tulisan ini. Pun juga tidak ada yang terasa berbeda jika dibandingkan dengan nasi goreng rumahan pada umumnya. Hanya saja, jika biasanya istri saya yang repot membuat hidangan semacam itu, kali ini saya memasaknya sendiri. Selain itu, malam ini saya sedang ingin memasak sebagai sebentuk selebrasi atau perayaan.

Sudah lama sekali saya tidak memasak nasi goreng. Karena terlalu lama, bahkan saya lupa kapan tepatnya. Oleh karena itu, saya mulai tidak terbiasa memastikan berapa takaran bumbu yang harus saya siapkan setelah melihat seberapa banyak nasi yang tersedia di mejikom. Jadi, semuanya hanya berdasarkan perkiraan. Begitulah jadinya jika suatu keterampilan tidak dipakai dalam waktu yang lama. Ada semacam rasa canggung dan kurang percaya diri yang menghinggapi. Kalau macam bumbunya apa saja, hal itu tidak jadi masalah bagi saya. Hanya saja, ada sedikit kekhawatiran kalau-kalau nanti kurang bumbu sehingga rasanya hambar atau kalau-kalau kebanyakan cabe sehingga terlalu pedas.

Setelah melihat nasi yang tersedia, langsung saja saya siapkan dua belas cabe muda yang berwarna hijau sisa dari gorengan yang saya beli siang tadi. Berikutnya, tiga siung bawang putih, dan segenggam bawang merah. Setelah semuanya siap, saya mencucinya dengan air mengalir, dan melembutkannya setelah menambahkan sejumput garam.

Singkat cerita, bumbu tadi tidak semuanya saya goreng karena khawatir jika nanti nasi goreng buatan saya terlalu kebanyakan bumbu. Maka, saya sisakan tiga siung bawang merah, lima cabe, dan satu siung bawang putih. Sebagai salah satu anggota tidak tetap generasi micin, saya tidak boleh lupa untuk menambahkan penyedap rasa merk anu. Begitu bumbu tadi terlihat agak kecoklatan dan baunya menggoda, waktunya bagi nasi untuk menyusul.

Kemampuan saya dalam menggoreng nasi terbukti mulai tereduksi ketika nasi yang sudah berkali-kali saya aduk di wajan seperti menolak untuk menjadi kecoklatan. Nasi itu tetap terlihat dominan warna putih. Puncaknya terjadi ketika saya mencicipnya, bumbunya terasa kurang merata. Berdasarkan pengalaman saya selama ini, telah terjadi kekurangan bumbu yang tidak sesuai dengan jumlah nasi yang tersedia. Namun, saya teruskan saja menggoreng nasi tadi hingga matang.

Akan tetapi, setelah nasi goreng tadi siap untuk disantap, justru ada setumpuk keraguan berkaitan kualitas rasanya. Masak iya, saya bangunkan istri saya hanya untuk menikmati sepiring nasi goreng yang kurang bumbu. Setelah berpikir sejenak, saya memutuskan untuk mengulek bumbu yang saya sisakan tadi, menggorengnya, dan mencampurnya dengan nasi goreng yang sudah matang tadi. Karena saking kacau-balaunya, hal yang saya lakukan tadi bisa membuat saya tidak bisa memperoleh apron seandainya saya sedang mengikuti audisi acara lomba memasak di tivi.

Untungnya, setelah melalui proses yang cukup berliku, nasi goreng tadi bisa dan mau berubah warna menjadi agak kecoklatan. Dan akhirnya tibalah waktunya untuk menikmati hasil jerih payah tadi. Setelah mengambilkan sepiring untuk istri, saya mulai menyantap nasi goreng tadi bersama anak lanang.

Begitulah kisah tentang makan malam tidak biasa saya kali ini. Meskipun sempat menjalani proses remidi, pada akhirnya nasi goreng tadi bisa menjalankan perannya sebagai pemadam kelaparan secara paripurna. Ngomong-ngomong, apa yang sebenarnya sedang dirayakan dengan nasi goreng remidi tadi? Saya sedang merayakan sebuah kegagalan saya kemarin—beserta banyak gurusianer lainnya—dalam mengunggah sebuah tulisan ke blog Gurusiana.

Meski kegagalan tersebut bukan murni kesalahan dari kami, tetapi ada pengumuman bahwa ketika telat mengunggah sebelum jam 00.00 berarti dihitung hari berikutnya meskipun penyebabnya adalah server yang sedang error. Begitulah jika kita berurusan dengan mesin. Tak ada celah untuk bernegosiasi. Kegagalan semacam itulah yang sedang saya rayakan kali ini. Merayakan kemenangan itu hal yang biasa, tetapi merayakan kegagalan selain terasa tidak wajar, juga ada sedikit kesan kurang ajar. Jika suatu hari saya berkesempatan bertemu dengan server-nya, saya akan bilang kepadanya, "Kamu yang mogok dan error, aku yang harus remidi." Eh, server kan semacam sistem atau mesin, ya. Mana bisa dia diajak bernegosiasi dan bicara dari hati ke hati.

Nganjuk, 11 Februari 2022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Hm, nasi goreng remidi. Ada-ada saja pak Nurohman ini. Saya juga remidi pak. Mulai hari ke-1 lagi. Salam semangat.

11 Feb
Balas

Alhamdulillah, kalau begitu saya dapat teman seperjalan ini, Bu Ida. He he... Betul, harus mulai dari hitungan satu lagi. Untungnya baru hari ke empat puluh satu. Jadi, tidak begitu pahit rasanya.

11 Feb

Mantap ulasannya, pak. Salam sukses selalu dan salam kenal!

11 Feb
Balas

Terimakasih banyak, Bu. Doa yang sama untuk Bu Kharirotus Sakdiyah.

11 Feb



search

New Post