Begitu turun dari angkot setengah berlari kutarik langkah menuju halte yang sudah ramai dipadati para peneduh. Aku mengibaskan ujung jilbab yang sedikit basah. Perlahan merangsek menyelipkan diri diantara para peneduh terdahulu. Aku harus berjalan sekitar 400 meter lagi agar tiba di komplek perkantoran untuk mengikuti sebuah interview. Bisa saja aku menembus hujan tapi bagaimana jadinya penampilanku nanti.

Hampir duapuluh menit hujan tak jua menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Aku melirik jarum mungil arlojiku, pukul 09.45, hanya tinggal 15 menit lagi hilanglah kesempatanku untuk merubah nasib. Andai saja si mbok tahu aku masih berada di halte ini, terbayang omelan panjangnya, makanya bawa payung, makanya berangkat lebih awal dan banyak lagi makanya makanya lainnya. Duhh si mbok, aku tersenyum sendiri mengingat ucapannya bahwa omelan itu adalah tanda kasih sayang.

Seorang peneduh beranjak nekat menembus hujan, segera kutempati tempat duduknya yang kosong, mengusir pegal yang mulai terasa di kaki. Kupeluk erat ransel yang sejak tadi berat menggayuti punggung. Hangat dan nyaman mulai memanjakan rasa. Seorang gadis cantik sayup-sayup memanggil namaku. Membawakan sebuah payung dan dengan ramahnya mengajakku ke kantor dan menuju ruang interview. Semua berjalan mulus tanpa kendala, aku senang hari ini si mbok akan bangga dan tidak akan memberiku omelan lagi. Ketika interview selesai saking girangnya aku berbalik terlalu cepat menghadap pintu. Bruukk…aku menabrak daun pintu kaca lalu terjaga, aku masih di halte, sendirian... hujanpun menertawakanku yang harus bersiap menerima tanda kasih sayang simbok lagi.