Nur Syamsiah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Aku Tak Bisa Meninggalkanmu

Aku Tak Bisa Meninggalkanmu

Tiket menuju gebyar literasi guru sudah di tangan. Atas nama dua orang, aku dan anak ke duaku. Ku beri tahu bungsuku bahwa kali ini aku tidak mengajaknya serta. Toh sudah besar. Kelas dua SD. Dia setuju. Raut wajahnya biasa saja tidak sebagaimana saat dia masih duduk di bangku TK yang selalu merajuk. Plong…lega hatiku, “Aku tak akan bersusah-susah membawa bekal tambahan”, pikirku.

Rencana sudah ku matangkan. Urusan rumah ku beresi bersama dua anak perempuanku. Aku mulai membagi tugas. Siapa yang harus menyiapkan susu setiap pagi buat si bungsu, siapa yang harus memasak dan sebagainya.

“Kak, kalau buat susu jangan panas-panas ya”, si bungsu berpesan pada kakak ke tiganya. Dia khawatir susu yang akan dibuatkan setiap pagi terlalu panas.”O.K”, jawab sang kakak. Siip beres sudah.

Kini acara menuju gebyar literasi guru tinggal menghitung hari. Tiga hari belakangan aku tidak bisa tidur nyenyak. Ku pandangi bungsuku. Raut wajahnya yang polos membuat pikiranku menjadi bimbang. “Diajak apa tidak ya?” gumamku. Tak tega rasanya hati ini meninggalkan dirinya walau ada ayah dan tiga kakaknya. Batinku berbisik antara ya dan tidak. Lama aku berfikir. Akhirnya ku putuskan, aku harus mengajaknya. Aku tidak tahu sampai saat aku masih belum bisa meninggalkan si bungsu untuk kesenanganku. Walau sebenarnya acara gebyar bukanlah untuk bersenang-senang belaka.

“Mas, pesan tiket kereta lagi satu, buat dik Ihsan”, perintahku pada anak ke duaku. Ihsan adalah nama si bungsu. “Lo katanya tidak ikut?” dia bertanya. Akhirnya dia turuti juga perintahku. Alhamdulillah masih ada kursi kosong.

“Dik besok kalau Ummi ke Jakarta kamu boleh ikut”, kataku pada si bungsu. “Yes, aku ikut”, ucapnya dengan raut wajah yang ceria.Senyumnya mengembang demi mendengar berita ini. Aku trenyuh melihatnya. Ya… ternyata di balik diamnya selama ini menyimpan harapan untuk bisa bersama sang bunda. Kesibukanku di luar rumah sungguh menyita waktuku sehingga kuantitas pertemuanku dengannya sangat sedikit. Itulah mengapa jika aku bepergian hampir selalu ku ajak serta.

Aneh mungkin ya. Kan sudah besar, mengapa harus risau? Ternyata itu bukan tipeku. Aku ingin meninggalkan kesan pada anak-anakku bahwa aku bukanlah ibu yang bersenang-senang tanpa mereka.

Sebuah hadits dari Abi Burdah, ia melihat Ibnu Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar Ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang itu bersenandung , “Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibuku yang sangat patuh. Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tak akan lari.” Orang itu bertanya, “Wahai Ibnu Umar, apakah aku sudah membalas budi ibuku?” Apa jawab Ibnu Umar? “Engkau belum membalas budinya, walaupun setarik nafas yang ia keluarkan ketika ia melahirkan” (Adabul Mufrod no. 11. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih secara sanad).

Berdasar hadits di atas bukanlah berarti aku tidak ikhlas mendampingi anak-anakku. Aku hanya ingin mengajarkan pada mereka bahwa jasa seorang ibu demikian besarnya. Maka akupun harus tunjukkan jasa-jasa itu pada mereka walau tanpa kata-kata.

Semarang, 14 Mei 2017

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ya Pak, insya Allah, aamiin.

14 May
Balas

Dilematis ya bunda. Inshaa Allah diniatkan sebagai perjuangan di jalan pendidikan akan menjadi keputusan terbaik. Aamiin

14 May
Balas



search

New Post