Nur Syamsiah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Ancaman Mati di Malam Sunyi

Ancaman Mati di Malam Sunyi

Akhir tahun 2008, kurang lebih dua minggu menjelang hari raya Idul Fitri aku mendapat panggilan telepon dari seseorang. Ponselku berdering bekali-kali saat aku sedang sibuk mengurus Si Kecil yang masih berusia sekitar tiga bulan.

“Hallo, assalamu’alaikum,” sapa seseorang dari seberang sana.

“Wa’alaikumussalam,” jawabku.

“Bu Nur, Anda mendapat hadiah RP.35.000.000,00 dari TELKOMSEL yang diumumkan tengah malam di stasiun televisi ... (maaf tidak aku sebutkan nama stasiunnya). Apakah Ibu sudah mendengarnya?”

“Belum,” jawabku.

Percakapan terus berlanjut, yang intinya dia menyampaikan aku diminta untuk segera mengambil hadiahnya. Diapun mulai bertanya. Pertanyaan pertama, apakah aku sendirian di rumah. Aku jawab iya. Karena memang saat itu hanya aku dan Si Kecil. Pertanyaan kedua, apakah aku punya kartu ATM, akupun menjawabnya, iya.

Saat di mendengar bahwa aku punya ATM, dia mulai beraksi. Dia minta aku mempersiapkan kartu ATM ku sementara dia akan terus memandu. Dia memintaku untuk tidak lepas dari ponselku.

Aku turuti perintahnya. Aku cari kartu ATM ku yang sempat lupa di mana kusimpan. Ketika aku sibuk mencari kartu ATM, tiba-tiba dia bilang, “Maaf Ibu, jaringan di sini rusak. Saya tutup dulu ya. Nanti Ibu saja yang menghubungi saya.” Aku iyakan saja apa yang dimintanya.

Beberapa saat kemudian, ketika aku sudah menemukan kartu ATM ku, akupun menelponnya. Diterimanya panggilanku. Kali ini dia bilang,”Ikuti aba-aba saya dan jangan bergerak sebelum ada perintah dari saya ya...” Aku masih saja menurutinya.

Berikutnya dia memintaku untuk membeli voucher pulsa seharga seratus ribuan yang dia bilang ‘cepekan’ sebanyak lima buah. Aku turuti juga. Aku pergi ke counter penjual pulsa. Aku dapatkan semuanya. Lima voucher sudah berada di tanganku. Dia memintaku untuk mengirimkan padanya. Namun entah mengapa kali ini aku menundanya. Aku berencana akan kulakukan nanti saja jika telah berada di rumah.

Telepon tetap tidak putus selama itu. Aku disuruh pulang untuk kemudian menuju ke ATM sesuai dengan kartu yang aku miliki. Baru saja aku masuk rumah, ternyata suamiku sudah kembali dari pekerjaannnya. Tiba-tiba dia bertanya, “Dari mana Bu?” “Beli pulsa,” jawabku singkat. Saat itu ponsel masih menempel di telinga. Rupanya Si Penelpon gelap ini mendengar pembicaraan kami. Diapun marah.

“Bu Nur, tadi katanya Ibu sendiri di rumah. Itu kok ada suara laki-laki. Siapa dia?”

“Suami saya,” jawabku.

“Ibu bohong,” bentaknya.

Suamiku yang berada di hadapanku tentu penasaran dengan siapa aku berbicara, sampai-sampai tidak lepas-lepas ponsel dari telingaku. Aku bilang bahwa aku mendapat hadiah dan aku akan segera ke ATM. Spontan suami berteriak,”Bu, istighfarlah. Kamu kena tipu. Tidak mungkin orang memberi hadiah kok menanyakan kartu ATM. Istighfar Bu, istighfar.”

Aku tidak memedulikan apa yang dikatakan suamiku. Aku tetap bersiap akan menuju ke ATM. Melihat gelagatku yang aneh, suamiku secara reflek memukul bagian punggungku dengan keras. Saat itulah aku tersadar. Aku segera istighfar. Terdengar suara dari seberang sana dengan nada marah.

“Ibu ini bagaimana? Mau diterima tidak hadiahnya?” terdengar suara itu begitu emosional.

“Mau Pak. Tapi mengapa saya harus membeli voucher pulsa segala.? Mengapa Bapak juga menanyakan katu AM saya? Jika memang Bapak mau transfer ke nomor rekening saya, mengapa tidak Bapak tanyakan nomor rekening saja?” tanyaku panjang lebar.

Aku masih menyambungnya, “Jangan-jangan Bapak menipu ya?”

Kemarahan terdengar dari seberang sana,”Ibu jangan ngawur ya. Saya ini haji, Haji Abdul Ghofar. Buat apa peci putih di atas kepala saya? Saya ini haji Ibu, saya haji,” ucapnya berkali-kali.

Setelah percakapan itu, segera kututup ponselku. Akupun tidak memedulikannya lagi. Namun ternyata dia tetap menelponku berkali-kali. Aku biarkan saja ponsel berdering tanpa kuangkat.

Mungkin karena kesal panggilannya tidak dipedulikan, akhirnyanya diapun mengirim SMS. Satu kali, dua kali bunyi SMS nya masih wajar-wajar saja. Isinya masih seputar informasi hadiah dan aku tetap diminta untuk menerimanya. Diapun memintaku untuk menyebutkan nomor KTP ku. Aku tidak menanggapinya.

Kali kesekian dia mengirim SMS. Kali ini dia menulis sebuah ancaman,

“Bu Nur Syamsiah, ingat ya. Malam ini akan ada tangis penyesalan seumur hidup Anda. Saya akan mengirimkan jin kami pada Anda. Saya tahu Anda punya bayi. Ingat itu.”

Aneh, dari mana dia tahu jika aku punya anak bayi.

Perasaan takut, was-was, khawatir, cemas, dan entah perasaan apalagi bergemuruh di dalam hati ini demi membaca ancamannya. Sementara malam yang dia ancamkan adalah termasuk malam sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan. Pada malam nanti suamiku akan berdiam di masjid untuk melakukan i’tikaf. Anak-anakku yang besar juga akan ikut serta bersamanya.

Malampun tiba. Aku memang tidak sampikan ancaman itu pada suamiku karena aku khawatir akan membuatnya urung ke masjid. Aku simpan sendiri rahasia itu. Aku lepas suamiku ke masjid dengan perasaan cemas yang luar biasa.

Kini, kondisi rumah sunyi, sepi, senyap. Hanya suara-suara jangkrik terdengar dari kejauhan. Tinggallah aku dan bayi kecilku di rumah. Rumah yang cukup besar membuat hatiku sedikit ciut. Namun aku masih bisa menguasai emosiku. Aku mulai melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Aku baca ayat kursi, surat An Nas, surat Al Falaq, serta surat Al Ikhlas berkali-kali. Aku juga membaca surat-surat yang lainnya.

Aku berusaha terjaga sepanjang malam. Aku betul-betul khawatir akan ancaman seseorang yang tidak dikenal yang dia menyebutnya Haji Abdul Ghofar itu menjadi kenyataan.

Malam terus berjalan. Jam tiga dini hari, aku gendong Si Kecilku untuk makan sahur. Sampai tibalah waktu fajar. Kumandang azan subuh terdengar dari kejauhan. Alhamdulillah, lega rasanya hatiku. Malam itu telah terlewati dengan aman, tidak ada sesuatupun.

Aku mulai berani meninggalkan Si Kecil sendirian di tempat tidur. Aku ambil air wudhu untuk menunaikan sholat subuh. Aku bersimpuh di hadapan Allah, Penguasa hidup dan mati seorang hamba. Kuucap syukur tak terhingga. Dia telah melindungiku dari mara bahaya.

Esok paginya, saat matahari mulai merekah, aku mulai penasaran.

“Apakah kemarin itu aku terkena hipnotis via telepon? Lantas mengapa aku bisa kena? Apakah dia hilang lantaran pukulan yang dilakukan oleh suamiku?”

Ya, sampat saat inipun rasa penasaran itu masih ada. Mungkinkah kejadian itu merupakan hipnotis? Sampai-sampai aku menuruti semua yang diperintahkan oleh orang yang sama sekali tidak aku kenal. Siapa sebenarnya yang bisa kena hipnotis itu, dalam kondisi bagaimana dia? Bagaimana pula menghindarinya?

Pada kenyataannya ada seseorang yang menuruti perintah untuk mentransfer sejumlah uang kepada seseorang yang tidak dikenalnya. Dan itu melalui telepon. Diapun terus terdorong untuk tetap melakukannya. Dia tidak peduli walau ada orang lain yang mengingatkannya. Bahkan walau sudah dijeda dengan melakukan ibadah sholat. Saat sholatpun dia teringat dengan perintah itu karena dia belum menunaikannya.

Adakah yang bisa amenjawab semua itu? Karena aku berharap tidak ada lagi korban-korban kejahatan akibat dihipnotis.

Semarang, 23 Jumadal Ula 1439 H

10 Januari 2018

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post