Nur Syamsiah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Angpao Bersyarat

Angpao Bersyarat

Idul Fitri baru saja terlampaui. Umat Islam di seluruh dunia menyambutnya dengan suka cita. Bermaaf-maafanpun dijalani di hari itu. Walau meminta maaf tidak harus menunggu Idul Fitri. Kapanpun bisa dilakukan. Namun sudah terlanjur jadi adat, maka teman, sahabat, saudara serta kerabat akan saling mengunjungi atau terpaksa memberi pesan via medsos di zaman yang sudah canggih kini. Cukup klik ponsel, tulis pesan “Selamat hari Raya Idul Fitiri, Taqabbalallahu Minna wa Minkum, Mohon Maaf Lahir Batin”, selanjutnya kirim. Duduk manis menunggu balasan dan tak perlu repot ke mana-mana.

Namun sesungguhnya lebih afdol jika bertemu langsung dengan mereka agar pahala ziarah dan silaturahim bisa didapat. Tapi apa boleh buat kalau sanak kerabat, teman sejawat serta sahabat tak dapat dijangkau kecuali dengan kapal atau pesawat.

Maka istilah mudik, untuk bertemu sanak sauadara, handai taulan dan kerabat akan dijalani di hari raya Idul Fitri. Kegiatan rutin tahunan untuk bermaafan atau sekedar berbagi rizqi pada saudara selalu dinanti. Tak lupa angpao sudah disiapkan untuk tujuan ini.

Itulah pula yang dilakukan Neneng di hari raya Idul Fiti yang selalu berarti. Dia mudik bersama keluarganya menuju kampung halaman yang ditempuh sekitar 2,5 jam perjalanan. Angpaopun dia siapkan untuk diberikan kepada kemenakan – kemenakannya.

Dua setengah jam perjalanan baginya sudah cukup melelahkan. Namun demi keinginannya berjumpa dengan handai taulan, rasa itu tidak dia pedulikan. Untuk Idul Fitri kali ini Neneng lakukan di hari H + 2.

Tahun ini dia bersyukur bisa mudik bersama seluruh anaknya yang berjumlah 6 orang. Karena rumahnya yang juga sebagai lembaga pendidikan, kadang kebersamaan ini agak sulit didapatkan lantaran harus bergantian. Bergantian untuk piket menunggu kalau-kalau ada tamu yang bertandang.

Setelah dua setengah jam perjalanan, tibalah dia di tanah kelahiran. Kedua orang tua Neneng sudah lama tiada, jadi sudah beberapa tahun belakangan yang menyambutnya adalah adik beserta anak-anaknya. Walau selalu ada sesuatu yang hilang dari hatinya, Neneng buang rasa itu dalam-dalam. Neneng hanya bisa berdoa semoga kedua orang tuanya mendapat tempat yang layak di sisi Allah Subhanahu wa Ta’la.

Neneng adalah anak ke tiga dari delapan bersaudara. Dia memiliki empat adik yang masih ada. Tiga adiknya tinggal berjauhan, bahkan ada yang di luar Jawa. Kebetulan pada hari raya kemarin tidak bisa berjumpa semuanya. Hanya satu adiknya yang tinggal di rumah warisan orang tuanya. Dia tinggal bersama istri dan 3 anaknya.

Seperti kebiasaan orang pada umumnya, maka di hari raya ada pembagian angpao, atau orang di kampung Neneng menyebutnya pecingan. Nenengpun tidak mau meninggalkan kebiasaan itu. Dia akan memberi pecingan kepada kemenakan-kemenakannya. Tapi yang berbeda dari yang Neneng lakukan adalah dia tidak akan memberikan pecingan itu cuma-cuma. Ada syarat yang harus dipenuhi.

“Siapa yang mau uang?” tanya Neneng kepada kemenakan-kemenakannya.

“Aku ... ,” jawab mereka serempak.

“Nah duduk sini,” ajak Neneng.

Merekapun duduk mengikuti ajakan Neneng.

“Kalau mau uang ini, ada syaratnya lho,” kata Neneng.

“Syaratnya apa Bude?” tanya mereka.

“Harus hafalan Alquran dulu. Kalian siap?” tanya Neneng.

“Siap,” jawab mereka kompak.

“Syukurlah,” kata Neneng dalam hati. Dia sempat khawatir jika syaratnya itu memberatkan kemenakan-kemenakannya.

“Oke, sekarang siap ya. Kak Tasya dulu ya,” pinta Neneng pada kemenakannya yang kelas 6. Diapun diminta Neneng untuk menghafal surat ‘Abasa. Tasyapun menuruti perintah Neneng. Dengan lancar dia melafazkannya. Selembar uang 20 ribuan Neneng sodorkan untuknya.

“Terimakasih,” jawab Tasya.

“Sekarang giliran Leli ya,” begitu katanya pada adik Tasya yang masih duduk di kelas 2.

“Siap Bude, tapi kalau surat ‘Abasa aku nggak bisa Bude,” rajuknya.

“Tenang aja. Kamu coba baca surat Al Kafirun, “ perintah Neneng.

Rupanya Leli masih belum lancar, masih terbolak -balik ayatnya. Raut wajah Leli nampak sedih karena dia merasa tidak akan mendapat pecingan dari Neneng lantaran tidak memenuhi syarat.

Neneng membaca gelagat ini.

“Nih, Leli tetap mendapat pecingan tapi nggak sebanyak kak Tasya ya,” kata Neneng seraya menyodorkan uang 10 ribuan. Leli menyambutnya dengan gembira walau tidak sebesar yang didapat kakaknya.

“Terimakasih Bude,” ucapnya.

“Ya, sama-sama. Besok dipelajari lagi ya,” begitu pesan Neneng pada Leli. Lelipun mengangguk mengiyakan.

Begitulah kebiasaan Neneng untuk melakukan pembelajaran kepada kemenakan-kemenakannya bahwa tidak ada sesuatu yang didapat tanpa usaha. Sehingga angpaopun ada syaratnya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terimakasih Bu.

29 Jun
Balas



search

New Post