Nur Syamsiah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Ibu, Maafkan Aku

Ibu, Maafkan Aku

Sembilan tahun yang lalu, ibu, sosok yang aku cintai dan aku banggakan berpulang kepada Allah SWT. Berita wafatnya beliau begitu tba-tiba karena tidak diawali dengan sakit apapun kecuali hanya batuk-batuk yang aku anggap biasa.

Ibu, yang tinggal jauh denganku hanya akan saling memanggil via telepon untuk berkomunikasi. Aku tinggal di Semarang, sementara ibuku tinggal di Pemalang. Butuh waktu kurang lebih tiga jam untuk ke sana. Sehingga aku hanya dua minggu sekali untuk mengunjungi beliau atau kadang-kadang satu bulan jika kesibukanku menyita waktu.

Ibu tinggal dengan adik bungsuku sehingga aku tidak terlalu mengkhawatirkan beliau. Setiap hari akan ada yang menemani beliau, kebetulan istri adikku juga ada di rumah.

Kala itu hari Kamis awal September 2008, aku dikejutkan dengan bunyi dering telepon selulerku. Tertera di sana atas nama Saiful, adikku. Aku angkat ponselku,’Hallo…assalamu’alaikum.’ ‘Wa’alaikumussalam,’ terdengar suara dari seberang, suara adikku. ‘Mbak… ibu…ibu…,’ terdengar suara parau adikku. ‘Ada apa dengan ibu?’ tanyaku tidak sabar. Jantungku berdegup kencang demi mendengar suara parau adikku. Dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya. ‘Dik…ada apa dik…,’ aku berusaha memanggilnya. Telepon dibiarkannya begitu saja. ‘Ya Allah semoga tidak terjadi apa-apa dengan ibu’, harapku.

Sepuluh menit berjalan, telepon kami biarkan on ,tanpa ada perbincangan,sunyi. Tegang aku menunggu berita dari seberang. ‘Mbak ibu pingsan,’ akhirnya adikku bicara. Dia bilang padaku bahwa baru saja ibu pingsan usai menunaikan sholat dhuha. Alhamdulillah saat itu adik belum berangkat ke kantornya sehingga dia angkat beliau yang dibantu bapak ditempatkan di pebaringan.

Kami masih kontak via ponsel. Aku ikuti perkembangan ibuku. Aku minta pada adikku untuk membawa beliau ke rumah sakit. Dia mengiyakan.

Ponsel baru saja aku letakkan di atas meja, tiba-tiba kembali berdering. Kulihat siapa pemanggilnya. Adikku lagi. Aku berharap dia menyampaikan kabar baik. ‘Hallo… gimana Dik,’ tanyaku. ‘Mbak ibu sudah tidak ada…,’ terdengar suaranya sangat berat. ‘Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun’, ucapku seakan tercekat di tenggorokan. Adikku bilang ibu belum sempat dibawa ke rumah sakit karena sudah meninggal saat baru akan diangkat ke mobil.

Derai air mataku tak bisa kubendung demi mendengar berita duka itu. Ibu, yang baru seminggu lalu berbincang denganku kini pergi untuk selamanya. Kala itu beliau menanyakan kondisiku dan bayiku. Ya baru dua minggu aku melahirkan bungsuku, 17 Agustus 2008.

Aku ikhlaskan kepergian beliau, hanya aku betul-betul menyesal karena tidak dapat berjumpa dengannya di saat-saat terakhir. Bahkan aku tidak bisa juga mengantarkan jenazahnya ke liang lahat karena aku tidak mungkin membawa bayiku yang masih berumur dua minggu untuk perjalanan yang cukup jauh.

Sembilan tahun berlalu, sosok ibuku masih tergambar jelas dalam memoriku. Ibu yang selalu memberi motivasi padaku. Ibu yang tidak pernah membeda-bedakan walau aku satu-satunya anak perempuan. Ibu yang mengirimku pada sekolah madrasah diniyah walau harus menyebrangi sungai dengan sarana jembatan gantung. Ibu yang juga telah membawaku pada guru mengaji dengan harapan aku menjadi anak sholihah.

Ibu, maafkan aku yang membuatmu kesal saat kau larang aku untuk mandi di sungai karena kedalamannya. Engkau khawatir aku tenggelam, namun aku melanggarnya dengan selalu menyelam saat kau mencariku agar engkau tidak bisa menemukanku.

Ibu, maafkan aku yang telah bersembunyi di bawah tumpukan batu bata yang akan dibakar saat kau mencariku untuk pulang karena malam telah larut. Aku langgar aturanmu karena aku ingin tetap bermain petak umpet di malam bulan purnama bersama teman-temanku.

Ibu, maafkan aku yang telah membuatmu khawatir saat aku mengayuh sepeda bersama teman-teman untuk pergi ke pantai yang jauh dari rumah sementara jalan raya dipadati kendaraan besar.

Ibu, maafkan aku yang telah membuatmu cemas saat aku tidak pulang tanpa ijin untuk mengikuti kegiatan pramuka di sekolah.

Ibu, maafkan aku untuk semua itu. Karena kedangkalan otakku, aku tidak dapat menangkap sinyal-sinyal kehendakmu. Aku sering tidak ‘nyambung’ dengan apa yang engkau inginkan.

Kini, aku tahu semua itu adalah untuk kebaikanku.

Ibu, teriring doaku untukmu. Semoga engkau mendapat tempat di sisi Allah SWT. Diampuni dosa-dosamu.

اللهم اغفرلي ولوالدي ورحمهما كما ربيا نى صغيرا

“ Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku ( Ibu dan Bapakku ), sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu kecil.”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ya Pak terimakasih masukannya.

01 May
Balas

Terimakasih Bu Sofi, ya ibu memang tidak pernah hilang dalam ingatan.

01 May
Balas

Subhanallah. Cerita tentang ibu tidak akan bosan didengar ya Bu Nur. Terima kasih sudah berbagi. Kalau boleh memberi masukan, tulisan bisa diedit dari typo.

01 May
Balas

Ibu selalu ada di hati kits sampai kapanpun Bu..terharu bacanya..bagus bgt Bu

01 May
Balas

Ibu selalu ada di hati kita sampai kapanpun Bu..terharu bacanya..bagus bgt Bu

01 May
Balas

Ibu selalu ada di hati kits sampai kapanpun Bu..terharu bacanya..bagus bgt Bu

01 May
Balas

Ibu selalu ada di hati kits sampai kapanpun Bu..terharu bacanya..bagus bgt Bu

01 May
Balas



search

New Post