Tiga Zulhijjah, tepat satu pekan sebelum pelaksanaan puncak ibadah haji. Masjidil Haram sudah dipenuhi oleh jamaah haji dari berbagai negara. Tawaf sudah dipenuhi sampai lantai teratas. Tiga kilometer berjalan kaki mengelilingi ka’bah di saat tawaf di lantai bawah atau tiga kali lipatnya jika tawaf di lantai teratas. Tawaf, tak pernah berhenti meskipun hanya sedetik.

Shafa dan Marwa sesak dengan jamaah yang melaksanakan umroh sunnah. Tak ada sudut yang sepi di masjid yang mampu menampung ratusan ribu jamaah ini. Pagi, siang, malam apalagi dini hari semua meninggalkan kasur empuknya di hotel untuk beribadah kepadaNya.

Berbagi tempat duduk saat menunggu masuknya waktu salat. Berbagi tempat sujud saat mendirikan salat. Hingga berbagi beberapa butir kurma dengan sesama jamaah. Mereka bukan saudara, bukan tetangga, bukan pula teman se negara. Hanya tersenyum dan berbahasa isarat. Tapi merekalah saudara se iman yang Tuhan dan Rasulnya sama.

Mengenang semuanya, membuat seakan-akan kembali pada suasana 3 Zulhijjah 1438 H, empat tahun silam. Masih terbayang jelas setiap detik waktu yang dilalui bersama. Bergandengan tangan di teriknya kota Makkah selepas Zuhur saat berada di antrian bis. Bertemu di pilar pertama lantai tiga setelah salat subuh, hingga menikmati bersama air zam-zam beserta aneka buah selepas salat fajar.

Rindu pada suasana itu, rindu pada kekasih hatiku yang telah kembali pada pelukanMu. Dalam sukurku, Engkau telah ijinkan aku merasakan nikmatnya hari itu. 3 Zulhijjah, empat tahun silam. Alhamdulillahirabbil’alamin. Terima kasih Ya Allah.