Nurul Hidayah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
INDAHNYA TOLERANSI KARENA CINTA

INDAHNYA TOLERANSI KARENA CINTA

Hari minggu seharusnya adalah waktu berkumpul bersama keluarga. Pada sebelas Juni yang bertepatan dengan 16 Ramadhan 1438, hal itu tak berlaku bagiku. Panggilan jiwa mengharuskanku mengikhlaskan hari libur untuk bisa berbagi dengan komunitas sebuah gereja. Alhamdulillah, karena cinta, suami dan anakku rela melepas wanita satu-satunya di keluarga ini tak membersamai mereka sementara waktu. Bukankah cinta tak semata selalu bersama secara fisik?

Sebentar, aku seorang wanita berjilbab beraktivitas bersama dengan komunitas gereja? Ya, benar. Hal ini sudah kupertimbangkan matang-matang sejak tawaran ini datang. Bukankah Rasulullah saw. pun hidup berdampingan, melakukan muamalah bersama kaum non muslim? Bahkan, Rasulullah saw. gemar menyantuni yahudi papa yang tak bisa melihat. Setidaknya itu yang aku pahami. Yang tak boleh dilakukan adalah mengikuti ibadah ritual mereka.

Sejuknya udara Lembang, tempat asalku tak lagi terasa di tempat berjarak 20 km tempat tujuanku. Waktu menunjukkan pukul 10.50 saat aku tiba di gedung sebuah sekolah Katolik yang kukira tempat acara akan berlangsung. Sumringah kuhampiri seorang petugas yang kemudian memberiku informasi bahwa rupanya aku telah salah alamat. Segera kusampaikan pesan pada supervisorku bahwa aku mungkin terlambat karena aku tersesat. Alhamdulillah ojek online yang kutumpangi sengaja menungguku, “Tanya dulu Mbak, Apakah benar ini tempatnya!” begitu katanya. Tak sampai lima menit, akhirnya aku tiba di tempat tujuan. Syukurlah, aku tak mau memberi kesan bahwa muslim itu lelet, tidak tepat waktu.

Seorang pria dengan senyum lebar menyambutku di pintu gerbang, “Selamat siang Bu. Ibu narasumber ya?”. Kuanggukkan kepala sambil tersenyum. Rupanya, aku sudah ditunggu di aula, lantai dua tempat acara akan berlangsung. Ya, tepat pukul 11 siang acara akan dimulai. Dalam SOP trainer, sebetulnya aku bisa dibilang terlambat karena biasanya satu jam sebelum pelatihan dimulai trainer/fasilitator harus sudah tiba di lokasi untuk pengenalan medan. Namun karena salah perhitungan, aku tak bisa menepatinya. Aku berdoa semoga acara berjalan sesuai harapan. Alhamdulillah supervisor pelatihan beserta dua trainer lainnya telah tiba di lokasi lebih dahulu dan segala sarana dan prasarana telah disiapkan panitia.

Di pintu aula, seorang wanita dengan rambut shaggy dan mata sipit melihat ke arahku. Nampak ragu ia membalas senyumku kemudian mengalihkan arah pandangnya. Kupejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam sembari membayangkan wajah-wajah audiens dengan mata berbinar dan senyum tersungging. Seperti halnya aku, mereka datang kemari karena cinta. Sejak 2009, saat di mana aku mulai terlibat kegiatan-kegiatan sukarelawan lingkungan, salah satu bentuk ekspresi cintaku kepada Allah Sang Maha Pencipta adalah berupaya sekuat tenaga memelihara lingkungan juga mengajak orang untuk bersama-sama menjaga bumi dengan sedikit demi sedikit mengubah gaya hidup agar lebih ramah lingkungan. Setidaknya, baru itulah manifestasi pemahamanku akan Quran surat Al Araf ayat 56-58.

Aku yakin, para peserta datang ke lokasi kegiatan karena cinta, cinta mereka kepada Sang Pencipta. Acara bertajuk “Paroki Ramah Lingkungan” itu dilatarbelakangi Ensiklik Laudato Si’ Paus Fransiskus pada bulan Juni 2015 tentang keprihatinan akan kerusakan lingkungan dan perlunya pertobatan ekologis. Acara yang diikuti para pengurus dan aktivis gereja itu berlangsung lancar. Komunikasi berlangsung dua arah penuh antusias. Pertanyaan-pertanyaan berbobot juga solusi-solusi yang tak jarang pula dilontarkan para peserta menghiasi acara yang berlangsung sekitar empat jam tersebut.

Saat sesi istirahat, panitia mempersilahkan para peserta untuk makan siang. Para peserta nampak ragu mengambil makanan. Salah seorang berujar, “Bu, kami gak apa-apa makan? Ini kan Ramadhan, Ibu kan puasa. Apa tidak akan mengganggu?”. Sungguh, pertanyaan penuh penghormatan sementara di luar tak sedikit orang mengatakan, “Bukan minoritas yang harus menghormati, tapi yang mayoritas! Orang yang shaum seharusnya menghormati mereka yang tidak”. Maka tak heran di jalan aku harus mengelus dada saat seorang pria merokok di tempat umum (merokok di tempat umum seharusnya tak bisa ditolelir, bukan soal shaum atau tidak, melainkan kerugian yang ditimbulkan akibat asap rokok yang dihasilkan). Bahagiaaa…rasanya orang-orang di sini sungguh menghormati ibadah yang tengah aku jalani. Aku mempersilahkan mereka makan tentunya, namun sebagian besar memilih makan di luar aula.

Perkara shalat dzuhur aku dan supervisor yang sama-sama muslim berencana menyatukannya dengan ashar nanti, khawatir mengganggu panitia dan peserta yang tengah beristirahat. Tak hanya aku yang memperhatikan saudara-saudaraku para peserta, ternyata merekapun memperhatikanku. “Teh, mau shalat?” tanya salah seorang panitia. Bagai mendapat durian runtuh, tentu saja penuh semangat kujawab, “Mauu”. Aku kemudian di antar ke toilet untuk berwudhu. Disana ada wastafel yang sangat mirip dengan tempat wudhu di masjid. Tempatnya bersih sekali, tak heran jika sekolah tersebut mendapat gelar Adiwiyata. Aku dipersilahkan shalat di perpustakaan. Seorang panitia menanyakan apakah aku memerlukan sajadah. Aku jawab, boleh jika ada, namun jika tak ada, tak apa-apa. Kugunakan quran saku sebagai sutrah (pembatas). Panitia juga minta maaf bahwa mereka tidak tahu arah kiblat. Tentu saja mereka tak perlu minta maaf untuk itu. Kugunakan aplikasi penunjuk arah kiblat saja.

Lega rasanya, meski kami memiliki keyakinan yang berbeda tentang agama, tentang tata cara ibadah. Hal itu justru membuat kami saling mendukung, saling menghormati. Rasa cinta pada bumi telah mendorong kami untuk bersama saling berbagi. Di penghujung acara, wanita berambut shaggy tadi menghampiriku, menjabat tangan dan memelukku erat sambil mengucap terima kasih. Cinta telah mengantarku pada nikmatnya toleransi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

luar biasa. Indahnya toleransi dan saling menghargai. Bukan karena minoritas-mayoritas melainkan karena pemahaman literasi sosial

01 Jul
Balas

"Literasi sosial" kosakata baru bagi saya. Terima kasih banyak Pak

01 Jul

Mantap deh pokoknya setiap tlsn B Nurul nih.

30 Jun
Balas

Hehe... masih belajar Bu. Terima kasih banyak atas supportnya. Bandung haneut bersamamu ;)

30 Jun

Hehe... masih belajar Bu. Terima kasih banyak atas supportnya. Bandung haneut bersamamu ;)

30 Jun

keren teh...

30 Jun
Balas

Hatur nuhun Bu Dati

01 Jul

Saluut....ya seperti inilah muslim yang seharusnya

30 Jun
Balas

Alhamdulillah...terima kasih banyak Bu

30 Jun

Bukan hanya karena "Rasa cinta pada bumi telah mendorong kami untuk bersama saling berbagi." tapi juga rasa cinta pada perbedaan agama telah mendorong saling menghormati.

30 Jun
Balas

Betul Pa

01 Jul

Dahsyat mba'

30 Jun
Balas

Alhamdulillah...terima kasih Bu

01 Jul

Mantapp..Bu Nurul Salam kenal

01 Jul
Balas



search

New Post