Nurul Hidayah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Lelaki Kecilku Galau

Kuusap punggung lelaki kecilku. Raut wajahnya tak biasa. Mendung masih menggantung pada muka lelaki sepuluh tahun itu. “Ayo tidur Nak, supaya bisa bangun shubuh” ucapku. “Gak bisa tidur Bun" katanya sambil membalikkan badan. Biasanya baca sebentar, tak lama kemudian ia akan tertidur pulas.

Ada yang berbeda di malam itu. Sejenak pandangannya tertuju pada piala O2SN tahun kemarin. “Duh, renang" bisiknya lirih. “Kamu masih gak ikhlas melepas lomba renang?” tanyaku. “Bukan begitu Bun” jawabnya pendek. “Tadi Bu Guru WA Bunda, katanya kamu pilih gak ikut lomba renang” hati-hati kulontarkan kalimat itu. Kegalauan sempat hinggap juga di hatiku siang tadi sebenarnya. Bu guru mengabarkan bahwa lomba siswa berprestasi jadwalnya berbarengan dengan O2SN renang. Sebenarnya hatiku lebih galau lagi menyaksikan lelaki kesayangan kehilangan senyumnya. Ibu mana yang tega melihat buah hatinya berduka.

Aku sebenarnya tak pernah memaksa anakku untuk ikut berlomba, namun kepercayaan sekolah telah diamanatkan pada lelaki yang terlahir dari rahimku itu. Sayangnya dua amanat dalam satu waktu tak mungkin dilaksanakan bersamaan. Mungkin ini momen yang tepat bagi anakku untuk memilih. “Iya, aku bilang pilih ikut lomba berprestasi. Sebenarnya aku lebih suka lomba renang” kata-kata mengalir dari mulut mungilnya. Binar di matanya masih saja bersembunyi entah di mana. “Tapi aku kasihan sama Bu Guru, udah ngajarin aku buat ikut siswa berprestasi,” sambungnya. “Kamu harus ridho dengan pilihanmu. Kalau hatimu belum lega, Bunda bisa bilang Bu Guru kalau kamu berubah pikiran” jelasku. “Jangan Bun!” pintanya. “Kalau gitu ikhlaskan, Bunda tahu kamu sudah berlatih renang tiap pekan, dan sekarang kamu korbankan untuk lomba yang lain yang mungkin jarang sekali kesempatannya. Semoga pengorbanan kamu berbuah keberkahan. Kalau kamu senang lomba renang, insya Allah nanti Bunda carikan, bahkan kalau lombanya di luar kota insya Allah bunda antar" hiburku. Akhirnya si anak semata wayang tertidur lelap.

Pagi yang dingin, senyum mentari perlahan menghangatkan, dari kejauhan kuperhatikan anakku berbaris bersama kontingen berbagai lomba. Ah, anakku sudah bisa tersenyum bersama temannya. Lomba itu sejatinya bukan berkompetisi dengan orang lain. Kompetisi yang sebenarnya adalah dengan ego diri, dengan rasa takut yang menghantui serta rasa waswas yang menyelimuti. Selamat berjuang Nak! Kau akan selalu juara di hati Bunda.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereen, barakallaahu aa Utaz

24 Nov
Balas

Aamiiin...terima kasih Bunda Yuki

24 Nov



search

New Post