Nurul Hidayah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

MINTA JATAH

Saat ada orang di sekitar kita mendapat kebahagiaan, apa yang biasanya kita lakukan? Tentu saja mengucap selamat karena turut bahagia. Namun kadang saya suka iseng minta jatah. Ucapan selamat lantas dibumbui, “kapan traktirannya?”. Kadang mulut ini suka gatal minta jatah, padahal selagi orang tersebut berjuang untuk meraihnya mungkin bahkan kita tak turut andil sama sekali. Parahnya ada juga ungkapan, “Gaji pertama milik bersama” bagi seseorang yang baru mendapat pekerjaan. Kita tidak tahu, mungkin gaji pertamanya sangat dia tunggu untuk membiayai keperluan diri, keluarga atau mungkin bayar utang bekas dulu sebelum bekerja. Bagi orang yang mendapat kebahagiaan tentu saja, bersyukur, berbagi kebahagian dengan berbagi dengan orang sekitar sebenarnya sungguh mulia. Hanya saja jika kita dalam posisi memberi selamat, kebiasan “minta jatah” meski sekedar iseng perlu kita pikirkan kembali. Kebiasaan tersebut bisa jadi tanpa sadar kita tularkan pula kepada anak-anak kita.

Herannya, kebiasaan “minta jatah” ini tak terlihat pada diri anak saya padahal katanya apel tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Dalam hal ini buah apel mungkin jauh terbawa puting beliung.

Suatu hari saat mendapat email dan telpon dari ITSF bahwa saya dinyatakan lolos sebagai penerima Science Education Award, berita itu saya sampaikan pada suami dan anak. Saya mengucapkan terima kasih atas do’a dan dukungan mereka. Saya sampaikan bahwa selain penghargaan, saya juga akan dihadiahi uang sebesar 25 juta rupiah. Lelaki yang belum genap berusia sembilan tahun itu pun menanyakan apa yang akan saya lakukan terhadap uang tersebut bukannya spontan minta traktiran. Saya jawab bahwa uang tersebut sebagian akan ditabung siapa tahu suatu saat bisa membeli tanah untuk membangun kebun organik. Sebagian lagi akan diberikan kepada ibu saya untuk menambah tabungan ongkos haji. Mendengar jawaban saya, dengan nada merajuk ia bertanya, “Aku, anak bunda sendiri enggak dikasih?”.Hmmm...akhirnya dia minta jatah juga. Saya lalu berjanji akan membelikan barang yang dia inginkan asalkan bermanfaat.

Suatu sore, ibu saya bertandang ke rumah. Dari obrolannya saya bisa menyimpulkan bahwa kerinduannya ke tanah suci telah membuncah padahal ia mendapat porsi haji masih lama, sekitar 2030. Setelah ibu pulang, wajahnya masih saja terbayang di pelupuk mata. Saya jadi teringat saat kecil, di malam takbiran ibu masih terjaga hingga subuh, menjahitkan baju demi memenuhi keinginan saya mengenakan baju baru di hari raya. Betapa egoisnya saya. “Bila haji belum bisa, kenapa tidak umrah saja dulu untuk mengobati kerinduan?” pertanyaan itu tiba-tiba saja terlintas. Uang itu jauh akan lebih berguna untuk memenuhi keinginan ibu ketimbang disimpan di bank dan belum tentu juga digunakan untuk apa.

Setelah meminta persetujuan suami, saya menelpon ibu. “Ma, kalau umrah dulu sambil nunggu haji mau?”. Ibu menjawab tentu saja mau namun biayanya tidak ada. Saya sampaikan ia tak perlu risau tentang itu karena Alhamdulillah ada rejeki. Suara ibu tiba-tiba bergetar di seberang sana mengiringi deretan panjang lantunan do’a. Wajah sumringah dan tangis bahagia rasa-rasanya jelas terlihat dari jarak 3000 meter.

Obrolan saya di telpon rupanya terdengar oleh Si anak semata wayang. “Bunda, jadinya uang itu untuk nenek umrah? Memangnya nenek butuh umrah?” pertanyaannya tiba-tiba meluncur memekakan telinga. “Iya nak, setiap muslim pasti menginginkannya. Ibadah adalah sebuah kebutuhan. “Berarti bunda memenuhi kebutuhan orang lain!” ucapannya terasa menusuk hati, mendidihkan darahku hingga ke ubun-ubun.Dengan nada agak tinggi saya berujar,”Itu nenekmu, perempuan yang telah melahirkan bunda, bukan orang lain!”. Dengan tenang ia berkata,”Iya, aku tahu. Orang di luar diri sendiri itu disebut orang lain”.Saya terdiam menerka-nerka apa yang akan dikatakanya. Mungkin dia akan protes, minta jatah seperti di awal.”Kalau bunda mau mengumrahkan nenek berarti bunda memenuhi kebutuhan orang lain. Barangsiapa memenuhi kebetuhan orang, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Bagus Bun, aku setuju” lanjutnya sambil mengacungkan jempol.

Oalah Nak, maafkan ibumu yang mudah menyimpulkan. Maafkan ibumu yang telah berprasangka padahal tak sedikit pun engkau meminta jatah. Semoga Allah senantiasa menjagamu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kerongkongan saya tercekat saat membaca kalimat "Suara ibu bergetar"

03 Jul
Balas

Senangnya punya anak sholeh. Selamat ya bu. Terima kasih sudah berbagi cerita.

03 Jul
Balas

Subhanallah... anak yang berbakti kepada mamanya, perlu dicontoh bu...

03 Jul
Balas

kata 'ibu' siapapun akan terenyuh hatinya. berusaha membahagiakan dan memberi yang terbaik untuk ibu. selamat ya bu nurul. inilah tabungan harta yang sesungguhnya

03 Jul
Balas

Hasil didikan ortu yg top. Slamat

03 Jul
Balas



search

New Post