Uang untuk Pak Mantri
Senja jingga menyinari Anom Jaya, seperti sebuah lampu alam yang begitu indah. Bukit yang berbaris terlihat hijau dari kejauhan, sungai mengalir dengan air yang jernih, udara bersih tanpa polusi, menambah asrinya desa itu.
Namaku Milatika Senja, temanku biasa memanggilku Mila. Umurku menginjak sembilan tahun dan aku tinggal di desa itu, desa yang memberiku kenangan dan pengalaman yang berharga.
“Kena….ayo…bebasin aku…” terdengar teriakan, dan tertawa anak-anak yang berasal dari sebuah lapangan yang cukup luas, lapangan itu merupakan surga anak-anak desa. Aku berada di antara teriakan dan tertawa riang anak-anak yang sedang berlari mengejar temannya, namun terkadang aku berlari ke sisi lapangan yang lain, akan tetapi bukan mengejar temanku.
“Ade…Ii..jangan jauh-jauh mainnya..sini aja ya…” begitu yang terlontar dari mulutku sambil menggendong adikku yang kira-kira berumur enam bulan. Adik kecilku itu akan merangkak menuju ke tengah lapangan dengan senang dan beteriak lucu tanpa mengerti akan tertabrak atau tertendang anak-anak yang sedang main bentengan.
Maka, apabila hal itu terjadi lagi aku akan melakukan hal yang sama, menggendong dan memindahkan tempat adikku ke sisi lapangan. Bagaimana lagi, aku tidak mau melewatkan hari-hari bermain bersama temanku, sekalipun sambil mengasuh adikku, karena ibuku sedang sibuk dengan pekerjan rumahnya. Maklum anak ibuku ada empat bersaudara dan masih kecil-kecil, sehingga ibu sering sibuk mengerjakan pekerjan rumah sampai malam. Namun, untuk urusan mengaji ibuku membebaskanku dari pekerjaan rumah termasuk mengasuh adikku.
Tak terasa, senja mulai merayap menuju malam. Asyik rasanya bermain bersama teman, sampai lupa waktu dan.. tidak lama kemudian, Allahhuakbar, Allah…huAkbar.. terdengar suara adzan yang berasal dari mushola yang berada di pinggir jalan tidak jauh dari lapangan.
“Mila…!”terdengar suara seorang ibu memanggil yang suaranya berasal dari sebuah rumah sederhana terbuat dari setengah tembok dan setengah bilik dengan kondisi yang mulai rapuh, dan jendela yang berteralis besi namun tanpa kaca. Letak rumah itu berada di seberang lapangan.
“ Iya bu…” sahutku.
“Teman-teman, kita lanjut besok lagi ya.. jangan lupa ngajinya bareng..aku tunggu!”. Aku berlari sambil menggendong adikku, tidak lupa tengok kanan, dan kiri jalan memastikan tidak ada kendaraan, dan..aku pun menyebrang sambil menggendong adikku.
“Lampu yang satu lagi, semprongnya belum kamu bersihkan ya?,” tanya ibu. Semprong adalah semacam penutup lampu yang terbuat dari kaca bening tapi tipis dan fungsinya untuk melindungi sinar lampu agar tidak cepat mati ketika tertiup angin. Maklum di desaku belum masuk listrik.
“Astagfirullah..maaf bu, lupa soalnya tadi ade nangis”. Jawabku.
“Ya, sudah, sini adiknya ibu gendong”, kamu bersihkan dulu semprongnya, setelah itu shalat magrib”. Kata ibu.
“Iya, bu,” sahutku. Aku membersihkan semprong lampu menggunakan tongkat kecil terbuat dari bambu dengan dibalut kain. Setelah selesai membersihkan semprong lampu, aku bergegas menuju kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan salat magrib.
“Mila, ini uang dua ribu kasih ke Pa Mantri ya, ibu baru bisa bayar sekarang, sampaikan maaf ibu, jangan lupa ya!”. Kata ibu sambil memberikan uang dua ribu rupiah.
“Iya, bu..,” sahutku sambil menerima uang dua ribu rupiah dari ibuku dan kumasukkan ke dalam saku bajuku tanpa banyak bertanya. Uang dua ribu pada masa itu terhitung cukup besar untuk ukuran di desa kami.
Gelap mulai menyelimuti desa Anom Jaya. “Mila…..” terdengar suara teman-temanku memanggil dari pinggir jalan. “Sebentar,,,” sahutku. “Ibu, aku ngaji ya bu.. Dapi, Luki... ayo…berangkat, tuh Neng Wawat sudah nyamper..” teriakku.
“Iya..teh..,” adikku menyahut sambil berlari.
“Assalamu’alaikum…,” aku dan adikku mengucap salam sambil berlari. “Wa’alaikumsalam…,” Jawab ayah dan ibuku dari dalam.
“Jangan lupa kasih uangnya ya…”. Kata ibuku dari dalam rumah. Aku belum sempat menjawab, karena mengejar temanku yang sudah lari lebih dulu.
Pa Mantri adalah sebutan bagi orang yang mengobati pasien apabila sakit, dan di desa kami ada seorang mantri yang bernama Pa Hasan, beliau mantri dan juga guru ngaji kami.
Pa Hasan, kira-kira berusia lima puluh tahunan. Terlihat gari-garis tipis di wajahnya menandakan usia yang tidak muda lagi, rambutnya ikal diselingi warna putih. Sorot matanya teduh, wajahnya tenang menandakan sosok yang sabar.
Sudah hampir tiga tahun kami mengaji dibimbing beliau, namun kami belum pernah melihat Pa Guru ngaji kami marah atau pun mengatakan kata-kata kesal padahal, seperti layaknya anak-anak, kami sering membuat ulah. Pa guru..begitu sabar mengajari kami mengaji.
Pak Guru ngaji kami belum pernah meminta bayaran berupa apapun. Setiap hari kami mengaji disambut dengan salam dan senyum. Perkataannya berwibawa sekalipun cara menyampaikannya pelan.. Beliau membimbing kami membaca qur’an dengan tulus. Jumlah anak-anak yang mengaji tidak banyak, sehingga pengawasannya cukup baik.
“Sadaqallahula’dziim..” aku mengakhiri bacaan juz’amaku.
“ ya, cukup untuk hari ini, Insya Allah besok kita lanjutkan lagi, dan untuk Mila besok urutan pertama ya, ngajinya, karena masih banyak yang harus dibetulkan bacannya”. Kata guru ngajiku. “ya ,Pak,” jawabku.
Setelah selesai mengaji aku teringat pesan ibu, kalau aku harus memberikan uang berobat ayah ke Pa Mantri. Kumasukkan tanganku ke dalam saku bajuku…saku kanan..saku kiri…tiba-tiba...wajahku menjadi pucat dan badanku seperti melayang.
Rasa malu…marah…menyesal…takut… bergemuruh di dalam dadaku. Sesak..dadaku rasanya. Aku diam sejenak, dengan keadaan yang tidak karuan aku sembunyikan perasaanku dan aku meminta izin kepada guru ngajiku.
“Pa, kami pulang dulu..Assalamu’alaikum..” kami segera keluar dan mengucap salam.
“Wa’alaikum salam..” sahut pa guru ngajiku. Aku berlalu tanpa mengatakan apapun mengenai uang itu.
Aku berjalan perlahan. Tidak biasanya aku tidak punya keinginan tersenyum, tertawa, atau pun berlari riang dan kejar-kejaran bersama temanku. Perasaanku masih takut ketemu ayah dan ibu...
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Faksi ya?
Faksi ya?