Mengukir Asa

Atun termanggu membaca lembar tangihan sekolah Intan. Dari mana ia mengumpulkan uang sebanyak itu secepat ini, kalau tidak? Ia khawatir anaknya tak bisa mengikuti tes kenaikan kelas.

Wajahnya makin kusut, binggung apa yang harus ia lakukan, Atun tak ingin putri manisnya Intan menjadi tak bersemangat sekolah gara-gara ia tahu tunggakan uang SPP nya yang belum lunas.

Atun ingat iya telah beberapa kali menitipkan uang sekolah anaknnya itu pada Badrun suaminnya, tapi dasar laki-laki tukang judi pasti uang itu ia pakai lagi untuk berjudi.

Padahal dengan segala upayanya Atun berusaha mengumpulkan uang sekolah anaknya, ia tahu untuk berhasil anak-anak harus diberi dukungan dari orang tuanya.

Buat Atun soal kebutuhan lainnya masih bisa menunggu, yang penting ada biaya makan dan sekolah anak-anak, paling utama.

Atun merasa tak perluh mengemis meminta potongan biaya sekolah atau tak mau membayar Spp karena merasa kurang mampu.

Ia paham sekali sekolah juga butuh dana untuk menyelengarakan pembelajaran, apa lagi Intan bersekolah disekolah swasta. Ia sadar ia tak memiliki ilmu dan cukup waktu untuk mendidik anaknnya, mengajari ilmu agama dengan baik, maka ia menyerahkan Intan disekolah berbasis agama. Agar anaknya mendapatkan ilmu agama lebih .

Tuhan pasti akan memberi rizki jika kita berupaya, tekat Atun, langit masih sangat terik, ia berjalan keluar rumahnya menjemput rizki, dengan keyakinan penuh demi anak-anak, bisik hatinnya.