Osep Muhammad Yanto

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Pesawat Besar Itu
Sumber gambar: www.angkasa.grid.id dan www.muvila.com

Pesawat Besar Itu

Hanya rumput hijau yang menghampar luas di siang hari itu, di sebuah besa bernama Minsk, Belarus. Angin berhembus menyapu rerumputan setinggi lutut orang dewasa. Tidak ada orang, tidak ada binatang. Menghitam terlihat di kejauhan, pepohonan laksana hutan yang membatasi luasnya rerumputan. Hamparan hijau itu melenakan siapa saja yang melihatnya.

“Banji! Kau dengar?” tiba-tiba suara seseorang memanggil Banji melalui headset. “Banji!” orang itu memanggil lagi untuk kedua kalinya.

“Iya, aku di sini. Aduh, ribet banget ini baju,” jawab Banji muncul dari dalam rerumputan dengan seragam kamuflase laksana rumput. Dia mengeluarkan teropongnya, dan ditujukan ke satu arah, jauh dari lokasinya.

“Mana Sam?”

“Aku tak bisa bicara sekarang,” jawab Banji

Teropong Banji mengarah kepada pesawat pengangkut besar sekelas Hercules dengan warna khas militer. Terlihat oleh Banji pesawat itu sedang bongkar muat ditemani sebuah truk pengangkut dan beberapa orang penjaga, dengan senjata laras panjang di punggungnya.

“Paketnya di dalam.”

“Iya, aku tahu,” jawab Banji sambil terus meneropong pesawat seolah tanpa berkedip sekejappun.

“Saat ini kita jalankan rencana B, meskipun secara teknis, ini rencana C,” kata Brendt di ruang kendali nun jauh di markas MI di lain benua. Tiga layar monitor besar berjejer, memperlihatkan citra satelit yang jelas dari pemandangan sebuah pesawat besar di bandara yang sedang diawasi oleh mereka. Seorang operator berpakaian jas hitam, dengan postur seorang prajurit tengah mengoperasikan layar dan keyboard di sekitarnya, menunggu perintah Brendt. Pada layar datar kedua terlihat Banji yang sangat kecil.

“Ini tak akan berjalan lama.” Kata Brendt kepada Banji.

“Aku tahu, Brendt. Kau tak membantu,” kata Banji

“Dimana Sam?” tanya Brendt

“Aku tidak tahu,” jawab Banji yang masih terus memegang teropong.

“Pesawatnya tak bisa lepas pandas dengan paket di dalamnya. Kamu mengerti?” kata Brendt.

“Kami sedang berusaha mengatasinya,” jawab John menyela pembicaraan Banji dengan Brendt.

“John? Mau apa kau di sana? Seharusnya kau bertugas di Malaysia,” tanya Brendt sambil berbalik arah memandang layar di ruang kendali Brendt. Brendt terlihat heran dengan masuknya John dalam percakapan mereka.

“Aku tidak sedang di Malaysia. Aku sudah di sini 2 hari yang lalu dan Banji butuh bantuanku,” jawab John yang baru saja tiba di puncak menara antena tertinggi di sebuah kota. Jauh dari Brendt dan Banji..

John yang ahli dalam menyadap gelombang komunikasi, rupanya sudah siap untuk membantu Banji untuk meretas pesawat angkut tadi dari kejauhan. John langsung beraksi, dengan membuka kotak listrik dan kabel jaringan komunikasi. Dia mengambil obeng dan tang untuk memutus dan mengganti saluran kabel, agar Banji dapat bekerja dengan maksimal.

Sementara itu, paket bom berdaya ledak sangat tinggi sudah masuk pesawat. “Ngiikk…..,” suara pintu gerbang belakang pesawat mulai menutup. Deru mesin pesawat sudah terdengar keras dari tadi, dan baling-baling pun mulai berputar semakin kencang.

“Ayo kita lumpuhkan pesawat itu dari kejauhan,” kata Banji dalam saluran komunikasi.

“Kau bisa lakukan itu?” tanya Brendt.

“Kita bisa melakukannya jika pilot menyalakan satelit uplink,” jawab John sambil terus memeriksa ratusan saluran kabel kecil.

“Bagaimana kau bisa meretas saluran kabel uplink?” tanya Brendt.

Sementara itu, Banji masih terus mengawasi pesawat dengan teropongnya dan siap-siap beraksi menunggu perintah Brendt.

“Ini melibatkan peretasan satelit Rasia,” kata John sambil memindahkan satu dua kabel ke saluran kabel lainnya, dan melakukan reset komunikasi.

“Aku tidak mengijinkannya,” jawab Brendt dengan suara yang lebih keras.

“Aku memang tidak sedang meminta izin,” jawab John.

“Jika kau melakukan itu, maka itu sebuah tindakan kriminal,” kata Brendt.

“Paketnya ada di dalam pesawat di sana. Kau ngin aku bagaimana?” kata John melawan pernitah Brendt.

Sementara itu pesawat sudah mulai bergerak perlahan.

“John!” kata Banji sambil melihat pesawat memang sudah mulai bergerak melalui teropong canggihnya.

“Aku tahu Banji, pesawat itu sudah mulai bergerak,” kata Brendt karena memang dia juga melihat melalui layarnya.

Sementara itu roda pesawat terus bergerak.

“Aku tidak bisa melakukan apa-apa, sampai aku dapat terhubung dengan satelit,” kata Banji.

“Banji! Kau sekarang sudah terhubung dengan satelit,” jawab John sambil menekan tombol merah. “Tep…”

Mendengar jawaban John, Banji pun langsung menyimpan teropongnya dan membuka tablet tipis 13 inchi miliknya yang sudah siap beraksi. Dengan cepat, jari jemarinya menekan berbagai tombol untuk meretas pesawat pengangkut agar jangan sampai meninggalkan bandara.

Sementara itu Brendt masih terus mengawasi pesawat di ruang kendalinya.

“Matikan bahan bakarnya!” perintah Brendt.

Banji pun mencoba masuk ke bagian mesin pesawat melalui tabletnya untuk menghentikan aliran bahan bakar.

“Mesinnya terkunci. Aku tidak bisa masuk!” jawab Banji sambil melihat tampilan mesin pesawat di tabletnya, dengan tulisan ACCESS DENIED.

“Bagaimana dengan sistem listrik?” Brendt menyarankan cara lain.

“Mungkin bisa, saya coba,” jawab Banji. “Tidak bisa!”

“Hidrolik!” saran John.

“Tetap tidak bisa, stausnya terenkripsi,” jawab Banji dengan nada putus asa.

Pesawat semakin menjauh dan berputar arah menuju landasan pacu.

“Banji! Pesawatnya!” kata Brendt mengingatkan Banji bahwa pesawat akan terbang dengan paket peledak di dalamnya.

“Ya! Saya tahu. Paketnya ada di dalam pesawat itu!” jawab Banji dengan suara berteriak sambil memukul-mukul tanah, dan tidak bisa melakukan apa-apak dengan tablet canggihnya.

“Bisa kau buka pintuya?” kata Sam yang tiba-tiba muncul di atas bukit ketika pesawat memutar arah menuju landasan pacu, untuk mendekati sayap pesawat.

“Sam? Kau di mana?” tanya Brendt.

“Aku di pesawat,” jawabnya.

Banji langsung terperangah untuk melihat di mana posisi Sam sebenarnya di pesawat itu.

“Banji, bisakah kau buka pintunya?” pinta Sam.

“Bisa kubuka pintunya? Mungkin,” jawab Banji terlihat kikuk dengan situasi yang ada, dan langsung mengakses tabletnya untuk membuka pintu pesawat dari jarak jauh. Jari-jemarinya menari dengan lincahnya di layar tablet yang bening dan cerah. Tampilan tombol dan gambar pesawat secara rinci, terlihat jelas pada layar.

“Buka pintuya ketika kusuruh!” teriak Sam ketika berusaha loncat menuju sayap pesawat dari atas bukit ketika pesawat akan menuju landasan pacu. Sam berlari sekuat tenaga. Dan, tiba-tiba dia loncat ke sayap pesawat sebelah kiri. Dia berjalan membungkuk untuk meraih initu pesawat yang sedang diusahakan untuk dibuka oleh Banji.

Angin dari dua bagian baling-baling besar terasa begitu besar, dan pesawat bergerak semakin cepat untuk meraih ancang-ancang kecepatan terbang. Sam mempercepat langkahnya. Dan……ia loncat memegang handel pintu pesawat, sementara kakinya berusaha menginjak salah satu bagian pesawat agar tidak jatuh dan terseret aspal.

“Bruk…..tap….,” Sam memegang pintu pesawat bagian kiri.

“Aku di pesawat. Buka pintunya!” kata Sam.

Sementara itu, Brendt melihat pemandangan yang seakan tidak dapat dipercaya, bahwa Sam ada di bagian luar pintu pesawat besar yang sedang bergerak cepat untuk tinggal landas. Sam berusaha memegang sangat erat pada bagian pesawat agar tidak jatuh terhempas angin kencang.

“Banji, open the door! I’m on the plane,” teriak Sam

Are you in the plane?” jawab Banji yang kelihatan masih bingung posisi Sam.

“Bukan di dalam pesawat, aku di atas pesawwat!” teriak Sam lagi memastikan Banji.

Pesawat sudah mulai berbelok dan siap menambah kecepatannya. Terlihat sesosok tubuh dengan posisi miring berpegangan pada lubang-lubang pintu sebelah kiri pesawat bagian belakang.

“Brrrrr…….,” deru pesawat terdengar semakin keras, dan Sam terus berteriak kepada Banji untuk membuka pintu pesawatnya. “Open the door, Banji!”

Melihat posisi Sam Banji sedikit terpaku. Dengan agak gugup dia langsung mengambil tabletnya dan berusaha memijit beberapa tombol untuk membuka pintu pesawat.

Sementara itu pilot pesawat mulai menggerakkan handling pesawat tanda take off. Badan pesawat pun mulai naik dengan bertambahnya kecepatan.

“Brrrr………,” suara pesawat semakin keras dan angin pun semakin kencang.

Sam semakin erat memegang lubang dekat pintu pesawat. Baju Sam berkibar-kibar tertiup angin kencang. Tubuh Sam mulai terbawa angin, dan kakinya sudah tidak bisa menahan angin. Sam melayang sambil berpegangan kuat pada lubang pintu.

“Banji, buka pintunya sekarang juga!” teriak Brendt di ruang kendali

“Ya, sedang saya coba,” jawab Banji yang terus mengusap-usap tabletnya berusaha membuka pintu pesawat yang sudah mulay melayang di udara.

“Ayolah, Banji. Buka pintunya!” teriak Brendt dengan keras.

“Ya, iya!” jawab Banji

“Kraakk…..,” suara pintu belakang pesawat mulai terbuka.

Sam melihat pintu belakang pesawat mulai terbuka. Pesawat semakin tinggi.

“Ya, sekarang sudah terbuka!” kata Banji

“Salah pintu. Itu pintu belakang. Buka pintu yang samping!” teriak Sam dan John.

Pilot pesawat melihat keanehan pada layarnya di ruang pilot. Dia memeriksa tombol pintu belakang pesawat yang tidak dipijitnya.

“Tolong periksa!” kata pilot kepada salah satu pengawalnya. Dia pun pergi ke belakang pesawat untuk memerikanya.

Sementara itu, Banji mencoba lagi mengusap-usap touch screen tabletnya. Dan ternyata, “Jesss…….!” suara pintu samping terbuka.

“Bruukk….,” ubuh Sam pun tersedot ke dalam pesawat dan terbanting ke bagian belakang pesawat, hampir saja dia jatuh melalui pintu belakang pesawat yang masih terbuka. Dia segera berpegangan.

Dia terkejut, tepat di depan matanya, satu paket besar ukuran box truk, terlihat ratusn bahan peledak. Stempel berbahaya dan beracun terlihat jelas oleh mata Sam. Tiba-tiba, pengawal pilot tadi datang untuk menutup pintu belakang. Dia mengambil tombol pintu yang tergantung di samping pesawat. Dia tidak melihat Sam yang sedang bersembunyi dibalik paket bom tersebut.

Prajurit itu meraih tombol penutup pintu, dan ketika akan menekan tombolnya, dia mendengar sesuatu. Dia berbalik ke arah paket bom itu. terlihat ada seorang pria sedang mengikatkan dirinya kepada paket bom tersebut, tiada lain adalah Sam. Dia ikatkan diriya kuat-kuat ke paket tersebut.

Prajurit itu terpana melihat situasi tersebut. Dia hanya melongo tanpa bertindak apapun. Kemudian, Sam segera menarik tuas parasut yang ada di sampingnya.

“Bruss……,” suara tali dan parasut terbawa angin dan mulai mengembang.

“Hey…hey….jangaannn…..!” teriak prajurit yang baru sadar paket itu dicuri Sam dengan menjatuhkannya memakai parasut.

“Srekkkk…..,” paket itu pun meluncur terbawa parasut, begitu juga Sam.

Prajurit itu hanya melihat Sam dengan paketnya jatuh berparasut di bawah sana. dia tidak dapat melakukan apa-apa. Dia hanya terpana. Dia pun kembali ke ruang pilot untuk melaporkan keadaannya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Heheheheh.......

30 Apr
Balas

MI: versi cerpen ni pa? mantaap :D

30 Apr
Balas

Cerita yang kereeen...

13 Jan
Balas



search

New Post