Osep Muhammad Yanto

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Tired Hard
https://www.iliketowastemytime.com/2012/07/28/indonesia-wallpaper

Tired Hard

Awal pagi suasana dingin menusuk jari-jemari tangan lembut nan lincah. Bergerak kesana-kemari, laksana seorang konduktor di tengah tim orkestra mengelola nada-nada indah lagu klasik. Seorang diri di tengah-tengah tim pemain cello, bass, guitar, violin, dan harp. Konduktor yang lugas, tegas, dan percaya diri tinggi meskipun ditonton sang kepala negara.

Kebiasaan bangun malam, saat semua manusia tertidur sudah sejak lama dilakukannya, sejak SMP. Emil muda senantiasa membantu emaknya, memasak untuk sahur pekanan Senin dan Kamis. Kini, beliau telah tiada. Hanya do’a yang senantiasa deras mengalir untuknya.

“Mana katelnya?” gumam Emil sibuk sendiri di dapur.

Semua bumbu sudah disiapkannya untuk memasak. Kamis subuh itu akan menjadi sangat sibuk untuk jam-jam selanjutnya bagi Emil.

“Allahu akbar Allahu Akbar…..” terdengar suara adzan awal Mang Nana yang sangat indah sekali, serasa di Madinah.

Suara adzan awal merbot masjid itu menemani Emil yang sedang papuket (sibuk sendiri) gusang goseng (suara perkakas dapur ketika sedang memasak) makanan untuk sahur. Sayur lodeh, tempe goreng kriuk, dan telor dadar berhasil disajikan dengan sukses. Semerbak bau harum dapur berubah bak restoran ternama di Bandung.

“De Sayyid, ayo bangun, Nak!” Emil berusaha membagunkan si bungsu yang masih terlelap tidur.

Kaka dan Neng terlihat gigisik (menggosok mata karena bangun tidur). Yang satu langsung bergerak ke WC, sedang yang satu lagi cuci muka di wastafel.

Sang suami terlihat sudah segar. Tangannya masih membuka halaman demi halaman Tafsir Ibnu Katsir. Kebiasaan membaca buku sudah mendarah daging sejak kecil baginya.

“De…bangun, De!” seru sang suami.

Sayyid ngagulisik (bergerak sedikit ketika sedang tidur, biasanya mau bangun) mendengar suara ayahnya membangunkan.

“Ayo De, sahur…sahur…!” tambahnya lagi.

Saat dini hari itu rumah Emil begitu hangat. Sekeluarga berkumpul di meja makan, manyantap hidangan makan sahur untuk shaum sunnah pekanan.

*

Mesin mobil menderu menghangatkan diri, bersiap mengantar mereka ke tujuan masing-masing. Tata sudah siap di balik steer untuk melanjutkan perjalanan.

“Ayo segera naik, Kak!” seru Tata

“Iya sebentar, Bi. Kaka ambil patok tenda dulu di dapur,” jawab Kaka kepada ayahnya.

Ritual pagi pun dimulai. Setelah mencium tangan sang ibu, Kaka, Neng, dan Sayyid pergi diantarkan Tata.

“Do’ain Kaka dan Neng ya, Umi,” pinta mereka sambil mencium tangan ibunya.

“Dede juga!” seru Sayyid.

“Semoga acara camping-mu lancar, Nak. Allah mudahkan segala sesuatunya, rezeki kalian dimudahkan, dan Allah limpahkan berkah bagia kegiatan kalian, Nak,” jawab Emil.

Do’anya begitu deras mengalir dari mulutnya. Tangan Kaka dan Neng pun disalaminya dengan ketat. Rangkulan sang ibu menambah kesiapan Kaka dan Neng berangkat camping selama tiga hari. Sayyid pun senang dirangkul uminya.

“Ayo, Mi. Semoga Umi disehatkan dan dilancarkan segala sesuatunya!” seru Tata merangkul Emil.

“Aamiin,” jawab Emil.

Mereka pun berangkat. Tinggal Emil sendiri di rumah. Sebagai orang terakhir yang keluar dari rumah, segala sesuatunya harus dicek dengan tertib, karena hari itu seharian tidak akan pulang.

Motor bebek Supra senantiasa menemaninya kemanapun ia pergi. Tas kerja, karung, dus, atau baggage lain pelengkap kerja tak masalah untuk sebuah motor bebek tua. Larinya masih kencang, laksana kuciing mengejar bebek.

Bismillaahi tawakkaltu ‘alallah,” do’anya lirih.

Setang gas ditariknya pelan-pelan. Kaki selonjor sebelah mencari keseimbangan. Motor naik turun melewati jalan berlubang menahan beban. Supra melaju menjemput ihktiar.

Assalaamu’alaikum!” seru Emil kepada Satpam Puskesmas.

Wa’alaikumussalam, Bu Mantri!” seru mang Ujang laksana prajurit hormat kepada komandan.

Damang (bagaimana kabarnya), mang Ujang?” seru Emil sambil tersenyum.

Puskesmas masih sepi, meskipun waktu sudah jam tujuh lebih enam. Tanda tangan meluncur di buku Daftar Hadir dengan lancarnya. Cap jempol juga tidak lupa ditempelkan. Mesra sekali kelihatannya antara jempol dengan mesin finger print.

“Tet…Selamat pagi!” kata mesin finger print.

Tas kerja langsung diletakkannya di meja sederhana di ruang pegawai. Tidak ada yang istimewa di ruang perawat tersebut. Hanya saja sebuah pot bunga anggrek berwarna coklat menarik perhatian setiap orang yang masuk ke ruang kumpul para perawat puskesmas tersebut. Warna ungu bunga anggrek, bercampur dengan ulasan putih dan bintik kehitaman, sangat indah dipandang mata. Bunga itu seperti seekor serangga menunggu pasangannya.

…bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Waduh itu iklannyaa

18 Nov
Balas

Mantul.. Mantap betuul

18 Nov
Balas

Menanti sambungannya... Salam literasi Den Osep...

20 Nov
Balas



search

New Post