Pamula Trisna Suri

Lulusan dari FIK UNY tahun 2009, lahir di Purworejo dan tumbuh besar di kota berhati nyaman, Yogyakarta. Merantau ke Pulau sumbawa selama kurang lebih li...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menua Bersama (1)

Menua Bersama (1)

Menua Bersama (1)

Waktu bergulir begitu cepat, tumpukan kertas kosong menungguku. Sementara mesin fotocopy masih berdesing mengeluarkan lembaran kertas yang masih hangat. Seseorang memanggil-manggil namun kuabaikan, tanganku lincah menekan streples, membalut plester hitam dan segera memberikan kepada pelanggan.

"Mbak, aku wes ketmau e le nunggu."

Seorang lelaki berkulit hitam manis, kumis tipis dengan kancing kemeja dilepas pada bagian atas menegurku.

"Njih, Mas, sabar nggih. Gantian kaleh liyane," jawabku sambil tersenyum semanis mungkin.

Langit telah berubah warna menjadi sedikit gelap, suara adzan terdengar dari berbagai sudut kota jogja.

"Nyuwun ngapunten, Mas. Tutup riyin, njih? Mangkeh bakda magrib fotocopyanipun saged dipendet," kataku sopan pada lelaki itu.

"Walah, nanggung to Mbak. Kosku adoh e. Aku nunggu kene wae oleh ra?" jawabnya sambil mengambil kursi dan duduk di sudut ruangan.

Aku berpikir cepat, mungkin lebih baik kusarankan agar ke mushola terdekat. Namun aku ragu, apa dia muslim atau non muslim. Kuputuskan untuk membiarkannya menunggu dan segera menutup pintu toko.

"Tik, sholat sik. Gaweane selehle sik," seru Bude Jinah.

Bude Jinah termasuk keluarga yang sukses dibanding saudara-saudara lainnya. Beruntung Bude mengajakku bekerja di sini setelah kegagalanku dalam seleksi akhir untuk menjadi polwan.

Aku tahu ini hanya masalah rupiah, jika dilihat dari postur tubuh, fisik dan keterampilan, aku tidak kalah dibanding dengan teman lain. Ah sudahlah, sudah khatam kuratapi nasib kegagalanku. Bisa jadi ini yang terbaik menurut Tuhanku.

Setelah sholat magrib dan makan malam, aku kembali ke toko dan melanjutkan pekerjaan. Kulihat lelaki itu membaca buku tebal. Sesekali dia hisap rokok yang ada di tangan kanannya, sesekali dahinya terlipat seolah berpikir keras.

"Khusyuk nggih Mas," sapaku.

"Kaget aku Mbak, teko-teko kok wes nang kono. Wes rampung, Mbak?"

"Dereng, Mas. Sekedap malih," jawabku sambil menutup mesin fotocopy.

"Jenengku Yanto, jenengmu sopo, Mbak?"

"Atik, Mas. Kuliah teng pundi?"

"Aku ki mung dolan kok," jawabnya diiringi gelak tawa.

Kami pun berbincang semakin hangat dan akrab, ternyata dia kuliah di salah satu sekolat tinggi swasta jurusan teknik sipil. Pantas saja bukunya tebal-tebal dan bergambar.

"Sampun, Mas."

Kuserahkan tumpukan buku padanya dan menyebutkan nominal yang harus dibayar. Dia pergi dan mengucapkan terimakasih.Toko kubuka lagi dan segera melayani pelanggan.

***

"Mbak, fotocopy meneh." Suara khas itu menyapa. Tanpa mendongakkan wajah aku tahu itu Mas Yanto. Dalam seminggu ini hampir tiap hari dia fotocopy.

"Rajin men, Mas," kataku nyengir.

Tak ada jawaban, kulihat dia sudah larut dengan bacaannya. Kali ini hanya beberapa lembar kertas sehingga dengan cepat bisa kuselesaikan.

"Tugas nggih, Mas?"

"Iyo, Mbak. Pendak dino ono wae tugase, mumet aku."

"Ngunjuk bodrek lho, Mas. Lak mari le mumet," candaku. Aku tahu dia pusing bukan karna sakit.

"Sisan ngombe baygon wae piye?jawabnya sambil tertawa.

Sore itu sepi, hanya ada beberapa pelanggan, entah bagaimana sosok lelaki itu lekat dalam ingatku. Jika boleh jujur, dia sangat manis, hidungnya mancuny namun matanya kecil. Saat dia tertawa, matanya seperti terpejam.

"Eh, omahmu ngendi e, Mbak? Aku oleh dolan ndono ra?"

Deg, jantungku berdetak kencang.

"Angsal, Mas. Monggo," kataku yang tiba-tiba saja meluncur.

"Mengko bali jam piro? Tak terke mulih."

Waduh, bagaimana ini? Lagi-lagi mulutku yang bandel ini menjawab cepat, "Jam wolu, Mas."

Mas Yanto pamit dan memintaku jangan pulang dulu sebelum dia datang.

Mati, batinku. Kenapa harus kuiyakan tadi? Bukankah aku baru saja mengenalnya. Kalaulah dia laki-laki baik,kalau tidak. Aduhh! Kuputuskan untuk minta saran Bude Jinah.

"Pripun, Bude?" desakku setelah kuceritakan perkenalan dengan Mas Yanto dan niatnya mengantarkanku pulang.

"Sik koyo wong india kae to bocahe?"

Aku mengaguk.

"Yo lumayan bagus kok, sopo reti jodomu, Nduk."

"Namung rencang, Bude."

"Lha yo kan sopo reti lho, wong arep dolan nang omah ki lak yo wes kendel to," jelas Bude meyakinkan.

Bener juga kata Bude.

Tepat saat kututup toko, Mas Yanto datang dengan honda bebek. Dia tersenyum, teelihat gigi-gigi yang bersih dan rapi. Kontras dengan warna kulitnya.

Saat itu aku mengenakan rok panjang dan kemeja merah. Agak repot memang, tapi syukurlah kami sampai rumah dengan selamat.

"Ro sopo, Nok?" sapa Bapak setelah membuka pintu.

Yang kupanggil bapak adalah orang tua ibukku. Sejak kecil aku tinggal dengannya. Setelah usia remaja aku baru tahu bahwa dia bukan bapakku. Bapak kandungku menikah lagi, begitu juga dengan ibuku.

"Kalih rencang, Pak," jawabku sambil mencium tangannya. Kulirik Mas Yanto melangkah santai mengikutiku dan meraih tangan bapak dan menciumnya.

"Gawekke teh, yo!"

"Nggih, Pak. Simbok pun sare?"

"Wes ket bar isya mau. Rodo ngregesi jare. Saking pundi, Mas?" tanya bapak pada Mas Yanto setelah menjawab pertanyaanku.

"Asli Purworejo, Pak. Kuliah ten riki," jelas Mas Yanto santai. Dari dapur aku bisa mendengar percakapan mereka, keduanya bersuara sama kencang.

"Wes pirang taun nang kene?"

"Telung tahun, Pak."

Haduh, Mas Yanto sepertinya gak bisa pakai bahasa halus, batinku. Kudengar percakapannya mulai hangat, seperti biasa Bapak suka cerita sejarah. Saat kuberikan teh panas bapak sedang bercerita tentang pengalamannya jualan tembakau di Purworejo. Mas Yanto pun menanggapi dengan antusias. Aku pun ikut duduk dan mendengarkan perbincangan.

"Lha nek kowe cen kesengsem ro anakku, ndang rabeni wae."

Sontak aku tersedak mendengar itu. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba ada petir menyambar. Mas Yanto pun begitu, kulihat wajahnya terkejut mendengar pernyataan Bapak.

Kulihat Mas Yanto menelan ludah, dia pasti tidak menyangka dapat todongan seperti itu.

*bersambung.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post