Pinta Turang Dabutar

Seorang guru biasa yang masih terus belajar untuk meningkatkan potensi diri. Mengajar di SMK Negeri 1 Tapaktuan, jurusan Akuntansi. Alhamdulillah mempunyai 2 an...

Selengkapnya
Navigasi Web

HADIAH MAHKOTA DARI ANAKKU. (Buah Keteguhan Hati Seorang Ibu)

#Part 1

Empat bulan setelah kepergian suamiku menghadap Allah SWT, aku mondar-mandir mencari pekerjaan kesana-kemari. Ya, Aku memang harus bekerja agar bisa memenuhi kebutuhanku bersama kedua anakku. Uang tabungan sisa berobat suamiku waktu itu sudah habis terpakai untuk membeli keperluan sehari-hari kami.

Aku tidak mungkin terus-terusan mengharap transferan dari mas Amran, saudara kandungku satu-satunya yang tinggal di provinsi yang berbeda dengan kami. Sedangkan dia saja hanya seorang sopir mobil online dengan tiga orang anak yang juga masih dalam usia sekolah. Sedangkan mba Siska, kakak almarhum suamiku tidak pernah peduli terhadap kami bahkan saat suamiku masih hidup. Aku masih ingat ketika mas Farhan, suamiku ingin meminjam uang dari Mbak Siska untuk biaya operasi saecarku saat melahirkan Zahra dua tahun yang lalu. Belum genap dua minggu aku melahirkan, dia bolak-balik datang ke rumah menagih uang yang dipinjam Mas Farhan darinya. Padahal waktu itu Mas Farhan belum bisa bekerja karena harus mengurus Aku dan baby Zahra.

“Mbak, tolong kasih kami waktu sebulan lagi. Mas Farhan belum bisa bekerja, sebab dia harus mengurus Aku dan Zahra.” Sambil berlinang air mata aku memohon belas kasihan dari Mbak Siska agar mau memberikan kesempatan sedikit lagi kepada kami.

“Ehh, Kamu itu jadi istri jangan terlalu manja ya! Masak gara-gara Kamu melahirkan suami Kamu tidak bisa bekerja? Kamu tau kan, suami Kamu meminjam uang kepada Aku? Aku butuh uang itu sekarang untuk membeli perhiasan baru yang kemaren dipamerkan di toko Permata. Makanya, biarin suami Kamu bekerja biar dapat duit buat bayar utang kalian kepada Aku! Kamu gimana sich?” Bukannya mau membantu kami, malah Mba Siska terus menyalahkanku.

“Mbak, bukannya Aku tidak mengizinkan Mas Farhan bekerja, tapi Aku kan baru saja melahirkan. Bekas operasi saecarku ini belum terlalu pulih. Itu sebabnya Aku belum bisa bekerja berat, apalagi kalau mengangkat yang berat-berat. Sementara di rumah ini kami tidak mempunyai asisten rumah tangga. Belum lagi jika Wildan, abangnya Zahra merengek minta ini dan itu lalu minta digendong. Aku belum sanggup melakukannya, Mbak. Khawatirnya nanti terjadi sesuatu dengan bekas operasiku ini. Itu sebabnya Mas Farhan memutuskan untuk minta izin kepada bosnya di perusahaan untuk tidak bekerja selama dua minggu ini. Jadi, Aku mohon tolong kasih kami kesempatan. Nanti kalau Mas Farhan sudah bekerja lagi dan memperoleh gajian kami janji akan langsung membayar uang Mbak.” Aku kembali mencoba meminta perpanjangan waktu kepada Mbak Siska sekali lagi, berharap dia bisa mengabulkannya.

“Tidak bisa! Aku tidak bisa memberi perpanjangan waktu lagi. Bisa-bisa perhiasan terbaru yang di toko permata keburu diambil orang. Itu di jari Kamu masih ada cincin. Jual saja, biar bisa dapat uang. Lagian Kamu itu ya, udah tau enggak ada uang tapi masih bisa pakai emas segala.” Gerutu Mbak Siska sambil menunjuk ke cincin yang melingkar di jari manisku.

“Tapi Mbak, ini kan cincin pernikahanku bersama Mas Farhan, masak harus kami jual? Selain buku nikah, ini adalah satu-satunya kenang-kenangan pernikahan kami, Mbak.” Aku tidak mampu lagi menahan buliran bening yang terus mengalir dari sudut netraku. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak Siska sampai hati memintaku menjual cincin pernikahanku dengan Mas Farhan.

‘Pokoknya Aku tidak mau tau. Besok Aku datang lagi ke sini uangnya harus sudah ada. Nanti bilang ke Farhan untuk segera menjualnya. Aku permisi.” Belum sempat ku jawab, Mbak Siska langsung berjalan ke luar rumah meninggalkanku yang masih tergugu.

Setelah menutup pintu, Aku bergegas masuk ke kamar dan duduk di tepi ranjang sambil memandang tubuh mungil Zahra yang sedang tertidur lelap. Aku benar-benar tidak mampu lagi membendung air mataku yang tumpah begitu saja. Kata-kata Mbak Siska tadi terus terngiang-ngiang di telingaku. Ku pandangi cincin yang melngkar di jariku. Apa mungkin Aku harus menjual cincin ini? Sementara hanya ini satu-satunya kenang-kenangan pernikahanku dengan Mas Farhan selain buku nikah kami. “Ya Allah, tolong berikan kemudahan kepada kami dalam menghadapi ujian-Mu ini, Aamiin.”

**

“Tok..tok..tok.. Assalamu ‘alaikum, Bu. Ayah, Ibu di mana? Kenapa tidak menjawab salam kita?” Tanya Wildan kepada ayahnya karena tidak mendengar suaraku.

“Mungkin Ibu lagi di kamar sama adik Zahra. Yuk kita langsung ke kamar saja!” Jawab mas Farhan sambil menggandeng lengan Wildan menuju kamar.

“Ibu, kenapa menangis? Ibu sedih ya? Apa yang membuat Ibu sedih? Apa karena tidak ikut jalan-jalan sama Wildan dan ayah? Tiba-tiba suara Wildan mengagetkanku. “Ti – tidak, Nak. Ibu tidak menangis. Mata Ibu Cuma kelilipan saja tadi.” Jawabku berbohong. “Bagaimana jalan-jalannya tadi? Seru tidak? Wildan lihat apa saja sama ayah tadi?” Sambil tersenyum, Aku berbalik mengajukan beberapa pertanyaan kepada Wildan untuk mengalihkan pembicaraannya.

“Wahh.. seru banget, Bu. Tadi Wildan melihat ada delman dan kereta api. Wildan juga naik mobil-mobilan beremot keliling taman, Bu. Ayah yang pegangin remotnya. Enak banget lho, Bu. Nanti kalau Dedek Zahra udah gede, kita ajak ke sana ya, Bu?” Dengan wajah berbinar farhan sangat antusias menceritakan keseruan jalan-jalan sorenya.

“InsyaAllah, Sayang. Do’akan biar Dedek Zahra sehat selalu dan cepat besar ya, Nak. Do’akan juga biar Allah memberikan rezeki yang banyak kepada Ayah, Oke?” Aku mendekap tubuh mungil Wildan yang masih berusia lima tahun itu.

“Siap, Bu! Wildan pasti selalu berdo’a buat Ibu, Ayah, Dedek Zahra dan juga Wildan sendiri.”

“Alhamdulillah… Ibu bangga sama Kamu, Nak. Masih kecil tapi sudah selalu membuat Ayah dan Ibu bahagia. Ya sudah, sebentar lagi waktu shalat maghrib tiba. Kamu siap-siap untuk ke masjid gih. Tuh ayah udah nungguin Kamu dari tadi.”

“Iya, Bu. Kalau begitu kami berangkat ke masjid dulu ya, Bu.. Assalamu ‘alaikum.”

“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” Aku memandang punggung kedua lelaki yang sangat aku cintai itu berjalan menuju rumah Allah, untuk menunaikan shalat maghrib berjama’ah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

03 Jun
Balas

Terima kasih, Bapak.Salam Literasi kembali

04 Jun

Terima kasih, Bapak.Salam Literasi kembali

04 Jun

Mantap. Semoga kita semua selalu dalam keadaan sehat bersyukur dan dilindungi oleh Allah SWT. Salam kenal

03 Jun
Balas

Aamiin.Terima kasih telah bersedia membaca tulisan saya, Bapak.Salam lierasi

04 Jun



search

New Post