Pinta Turang Dabutar

Seorang guru biasa yang masih terus belajar untuk meningkatkan potensi diri. Mengajar di SMK Negeri 1 Tapaktuan, jurusan Akuntansi. Alhamdulillah mempunyai 2 an...

Selengkapnya
Navigasi Web

MAHKOTA DARI ANAKKU

HADIAH MAHKOTA DARI ANAKKU

#PART - 2

“Dek, Kamu kenapa koq sejak tadi Mas perhatikan muram saja? Mas tau, kalau tadi sore saat Mas dan Wildan pulang dari jalan-jalan Kamu sedang menangis kan? Kalau Kamu lagi ada masalah, cerita sama Mas dong, Sayang.. Jangan pendam masalah sendiri, itu tidak baik. Apalagi Kamu sedang menyusui anak kita Zahra.”

Setelah memastikan Wildan benar-benar tidur pulas, Mas Farhan menanyaku prihal apa yang membuatku sampai menangis petang tadi. Pria bertubuh tegap yang telah menjadi imamku selama enam tahun itu melangkah menghampiriku yang sedang duduk di atas ranjang memberikan ASI kepada baby Zahra. Sejak sah menjadi suamiku, Mas Farhan memang sangat perhatian terhadapku. Ia begitu mencintaiku sampai-sampai ia tidak ingin ada sesuatu yang membuat hatiku bersedih apalagi sampai terluka.

Setelah merasa kenyang menyusu, Zahra kembali tidur pulas. Dengan perlahan Aku menaruhnya ke ranjang baby.

Rasanya Aku tidak sanggup berkata apa-apa kepada Mas Farhan untuk menjawab pertanyaannya. Hatiku yang terasa semakin sakit memaksa buliran bening di mataku kembali tumpah. Dengan lembut Mas Farhan menarik lenganku lalu menenggelamkan wajahku di dada bidang miliknya. Tangan kekarnya merangkul tubuhku, membuat air mataku semakin mengucur deras hingga membasahi kaos berwarna hijau yang sedang dikenakannya.

Tiap kali mendapat suatu masalah lalu berada di dalam dekapan suamiku selalu mampu membuat hatiku menjadi lebih tenang.

Sambil membelai rambut hitamku, Mas Farhan berbisik “Dek, Mas sayang banget sama Kamu. Setelah ibuku, Kamu adalah wanita istimewa yang Allah anugerahkan kepadaku. Makasih ya Sayang, sudah menjadi istri dan ibu shalihah buat Mas dan anak-anak. Sampai kapanpun Mas tidak pernah rela melihat Kamu bersedih. Jadi Mas mohon tolong ceritakan apa yang membuat Kamu menangis sore tadi?”

Aku menarik kepalaku dari dekapan Mas Farhan. Aku merubah posisi dudukku menghadap ke arahnya. Sebaiknya Aku memang harus menceritakan perihal permintaan Mba Siska sore tadi kepada Mas Farhan.

“Mas, tadi sore Mbak Siska datang ke sini."

"Oya? Mau apa dia kemari?" Belum lagi sempat kujelaskan tujuan kedatangan Mbak Siska, Mas Farhan langsung memotong pembicaraanku.

"Mas dengar dulu penjelasanku, baru bertanya." Sanggahku.

"Ma'af, ma'af. Habisnya Mas penasaran aja kenapa koq tumben-tumbennya Mba Siska ke sini, secara selama ini dia tidak memperdulikan kita lagi."

"Tadi Mbak Siska kemari untuk menagih uang suaminya yang kita pinjam waktu itu. Katanya dia sangat membutuhkan uang tersebut sekarang untuk membeli perhiasan permata dari teman arisannya."

"Mbak Siska menagih utang kita? Keterlaluan sekali dia. Bukannya waktu itu Mas Andhika mengatakan kalau kita bisa membayarnya kapan saja sampai kita mempunyai uang?" Mas Farhan benar-benar marah mendengar penjelasanku.

"Iya, Mas. Tadi Aku mencoba meminta perpanjangan waktu satu bulan lagi sampai Mas bekerja dan menerima gaji, namun dia menolak. Dia malah marah-marah kepadaku dan mengatakan kalau Aku istri yang manja. Dia menuduhku telah melarang Mas bekerja. Padahal Aku sudah menjelaskan kalau luka bekas operasi saecarku belum terlalu pulih, sehingga Aku belum bisa melakukan pekerjaan yang berat-berat. Tapi bukannya mau memahamiku, dia malah menyuruhku untuk----“ Aku tidak mampu lagi meneruskan kata-kataku. Rasanya lidahku begitu kelu untuk mengatakan kalimat “menjual cincin pernikahan kami itu.”

“Mbak Siska menyuruh Kamu untuk apa, Dek?” Dengan wajah memerah Mas Farhan tak mampu lagi menahan rasa penasarannya.

“Mbak Siska menyuruh kita untuk men-menjual cincin pernikahan kita ini, Mas.. Hiks..hiks..hiks..” Tangisku semakin pecah. Bahuku berguncang hebat.

“Mbak Siska bilang ngapain pakai-pakai cincin emas jika hutang saja belum terbayar?!”

“Mas, Kamu tau kan, cincin ini satu-satunya kenang-kenangan pernikahan kita enam tahun yang lalu? Bagaiman mungkin kita bisa menjualnya, Mas?” Dengan berat hati Aku melepaskan benda bulat berwara kuning seberat tujuh gram itu dari jari manisku.

Mas Farhan menatapku lekat. Matanya turut mengembun. Ia kembali menarikku ke dalam dekapannya.

“Mbak Siska benar-benar keterlaluan! Masak sama adik ipar sendiri seperti itu?! Dia lupa kalau dulu Aku juga pernah menolongnya ketika akan melangsungkan pernikahannya. Berhubung Ayah dan Ibu sudah tidak ada lagi, maka Aku lah yang membantunya menguruskan semuanya saat itu. Aku juga yang telah memperkenalkan dia dengan Mas Andhika, suaminya yang tajir itu.” Mas Farhan benar-benar marah terhadap tingkah kakak kandungnya itu. Beberapa kali dia beristighfar dan memohon perlindungan kepada Allah, agar jangan sampai emosinya terlalu meledak hingga menguasai hatinya.

Setelah beberapa kali beristighfar, kini emosinya sudah reda. Mas Farhan memindahkan kedua telapak tanganku ke dalam genggamannya. Perlahan ia mengambil cincin tersebut dari genggamanku lalu memakaikannya kembali ke jari manisku.

“Sampai kapanpun cincin ini akan terus melingkar di jari manismu ini, Dek. Ini adalah bukti ikatan cinta kita berdua. Kamu sabar ya, Sayang. InsyaAllah besok pagi-pagi Mas akan ke rumah Mbak Siska untuk membicarakan hal ini, sebelum Mas Andhika berangkat ke kantor. Mas yakin pasti Mas Andhika tidak mengetahui hal ini. Apalagi waktu Mas meminjam uangnya, Mas Andhika sudah mengatakan kalau kita bisa mengembalikannya kapan-kapan saja, sampai kita punya cukup uang.”

Mas Farhan benar. Aku juga yakin kalau Mas Andhika pasti tidak tahu kalau Mbak Siska datang ke sini menagih uang tersebut.

**

Malam semakin merangkak naik. Jarum jam sudah menunjukkan ke angka 10.30. Kini hatiku sudah semakin tenang. Menceritakan masalahku kepada Mas Farhan memang selalu membuat dadaku plong. Dengan ketegasannya Mas Farhan selalu mampu memberikan solusi yang bisa menenteramkan hatiku.

“Sekarang kita tidur ya.. Kamu pasti sudah mengantuk. Mumpung Zahra lagi tidur pulas, Kamu bisa tidur lebih nyenyak.”

“Baik, Mas. Aku memang sudah mengantuk. Terima kasih ya, Mas. Mas sudah membuat hatiku tenang. Aku janji, Aku akan berusaha menjadi isteri yang terbaik buat Mas.”

“Iya, Sayang. Mas percaya itu. Mas juga akan selalu berusaha menjadi suami dan ayah terbaik buat Kamu dan anak-anak.” Setelah mengecup keningku, Mas Farhan membaringkan tubuhnya di sampingku.

“Sekarang kita tidur yuk, Sayang! Bismika allahumma ahya wa amuut, Aamiin.”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post