PONO

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Perjalanan ke Sinduaji

Tak banyak yang tahu tempat yang satu ini. Sinduaji. Satu tempat di salah satu sudut wilayah kabupaten Banjarnegara. Begitu pula aku. Sungguh aku terkejut. Ketika kuterima SK pengangkatanku sebagai Calon PNS. Dengan perlahan kubuka dan kubaca isinya, sambil berbisik kepada teman di sebelahku. Sungguh terkejut hatiku!! Ketika kubaca isinya, ternyata aku di tugaskan untuk mengajar di Sinduaji. Suatu nama yang belum pernah kudengar sebelumnya. Baik kudengar dari teman, tetangga, guruku, maupun orang tua. Tidak pernah satupun yang menyebutkan kata itu. Pusing bercampur bingung aku dibuatnya. Di satu sisi aku merasa sangat bersyukur karena di antara ribuan pelamar CPNS, aku merupakan salah satu dari mereka yang bertuah. Diterima menjadi salah seorang Calon PNS. Ya, seorang calon. Masih ada satu tahap lagi untuk menjadi seorang PNS. Aku tidak boleh bersantai - santai. Rupanya kebahagiaan bercampur rasa iba juga dirasakan orang tua, keluarga, tetangga, dan juga teman-teman seperjuanganku.

Terlebih lagi mengingat perintah dari Bupati dalam pidatonya bahwa penerima SK harus segera menempatkan diri di tempat tugas, menjadikanku sulit memejamkan mataku setiap malam. Harus memutar otak, siapa yang harus aku jumpai untuk mendapatkan informasi mengenai tempat tugasku. Maklum, ketika itu aku belum memiliki pesawat Handphone yang bisa mengakses internet. Sebagai guru wiyata bhakti ketika itu, bisa membeli pesawat Handphone yang bisa mengakses layanan pesan singkat saja sudah merupakan hal yang patut disyukuri.

Segera kutemui salah satu teman seperjuanganku. Kutanya-tanya kepadanya. Apakah ia mengerti atau pernah mendengar suatu tempat di Banjarnegara yang bernama Sinduaji. Jawabnya ringan saja, “maaf saya tidak tahu”. Kutanya teman yang lain. Jawabnya, “ maaf, saya malah baru kali ini mendengarnya”. Memang bagi yang tinggalnya jauh dari Pandanarum akan sulit untuk mengetahui desa-desa di sekitar Pandanarum. Ini mungkin karena pandanarum sendiri merupakan tempat yang cukup sulit dijangkau. Akses jalan menuju Pandanarum seringkali mengalami kerusakan demi kerusakan setiap tahunnya. Terutama jika musim penghujan tiba. Medannya yang bernukit-bukit dengan tebing terjal serta jurang yang dalam menjadikannya banyak tempat di Pandanarum miskin signal telepon. Mungkin itulah yang menyebabkan Pandanarum bagi sebagian orang hanya dikenal sebagai nama Pandanarum saja. Bukan sebagai suatu wilayah kecamatan di kabupaten Banjarnegara yang terdiri dari 8 desa yang salah satunya adalah Sinduaji. Pandanarum adalah tempat terpencil yang sulit dijangkau. Kalau Pandanarum adalah tempat yang terpencil, lantas bagaimana dengan Sinduaji yang belum pernah aku dengar?

Bukan orang yang bijak yang selalu pasrah dengan keadaan. Pencarianku untuk mendapatkan informasi seputar Sinduaji tidak berhenti di sini. “Perjuangan masih panjang”, begitu kira-kira kata hatiku. Masih banyak yang harus kujalani. Tidaklah mulia hidup dengan keputus asaan. Dengan tidak mengenal lelah kuteruskan pencarian. Satu persatu teman, kenalan maupun tetangga kutanyai. Harapanku supaya dapat kuperoleh informasi mengenai Sinduaji. Keluargaku memang belum satupun yang pernah menginjakkan kaki di wilayah Pandanarum. Ibuku seorang petani. Walaupun ayahku seorang pedagang namun daerah operasinya hanya sekitar kota kabupaten dan kota-kota kecil disekitarnya. Bukan daerah seperti Pandanarum. Ya, seorang pedagang memang harus mempertimbangkan antara keuntungan, resiko serta biaya transportasi. Sementara dikeluargaku dan juga kerabat tidak satupun yang menjadi PNS.

Setelah puas bertanya – kepada manusia, terlintas dalam pikiranku, “mungkin peta yang kubeli tahun lalu bisa membantu memberikan gambaran tentang Sinduaji”. “Mengapa tidak aku bertanya kepada peta kecil yang kubeli setahun yang lalu dengan honor dari sekolah sebagai guru wiyata bhakti?” Menit demi menit kutatap peta itu. Sampai akhirnya dapat kutarik kesimpulan bahwa perjalanan ke Sinduaji dapat ditempuh melalui Kalibening maupun desa-desa di kecamatan Punggelan dengan terlebih dahulu melewati desa Pandanarum. Mengingat Punggelan merupakan tempat yang masih cukup asing bagiku, maka kuputuskan untuk menempuh jalan menuju Sinduaji melalui Kalibening. Walaupun udara di Kalibening cukup dingin, namun jalan utamanya cukup familier bagiku. Hanya perlu mengetahui simpang mana dan berapa simpang jalan yang harus kulalui. Namun pertanyaan itu pun belum terjawab.

Kuteruskan usahaku. Sore itu kusempatkan berkunjung ke rumah temanku di Paweden. Kadarisman namanya. Teman seperjuanganku mengabdi sebagai guru wiyata bhakti di Paweden. Selalu segar dalam ingatanku, dialah yang menemaniku menjejakkan kaki pertamaku di Sinduaji. Setelah harus mencucurkan air mata terlebih dahulu, karena cobaan demi cobaan sepanjang jalan.

Ketika kuketuk pintu rumahnya, ia tidak di rumah. Ayahnya yang menemaniku duduk bersantai. Kebetulan ayahnya pernah datang ke Pandanarum untuk mendapatkan dagangan. Ya, dagangan. Dahulu beliau adalah seorang pedagang sapi. Singkat cerita beliaulah yang pertama memberiku gambaran tentang jalan menuju Pandanarum. “Tapi itu dulu...”, katanya. “Sudah berpuluh-puluh tahun aku tidak menginjakkan kaki di Pandanarum”, lanjutnya. Beliau memang sudah tidak lagi menjadi pedagang sapi.

Tidak puas sampai di sini, dengan ditemani Kadarisman, kulangkahkan kakiku ke rumah seorang tokoh agama yang ku kenal. Ia seorang ustad yang mengajariku beberapa ilmu agama. Orang-orang menyebutnya Pak Kiyai. “Aku yakin beliau pasti mengerti Sinduaji serta jalan menuju Sinduaji” begitu kira-kira yang ada dalam benakku. Karena beliau sering memberikan ceramah agama di berbagai tempat. Perangainya yang rendah hati namun berwibawa membuatku memberanikan diri untuk berusaha mendapatkan informasi dari belaiau.

Ternyata benar. Dengan nada yang lembut berhias senyuman bak kerlip bintang di malam hari beliau sampaikan kalimat demi kalimat yang menggambarkan jalan menuju ke Sinduaji dengan jelas. Beliau memang pernah menyampaikan ceramah di tempat itu, dalam suatu acara peringatan hari besar Islam yang diadakan oleh warga di sana. Dari beliau aku merasa mendapatkan pencerahan yang sangat berharga. Seorang guru memang harus pandai bergaul. Bukan hanya bergaul dengan sesama guru SD atau SMP saja, namun juga bergaul dengan tokoh pendidikan yang lain. Karena kita semua memiliki tujuan yang sama, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Hanya saja dengan cara yang sedikit berbeda. Tentunya semuanya bermanfaat. Bahkan, seorang guru juga harus menunjukkan keteladanan dalam hal semangat belajar, yang konsekwensinya menerima masukan ilmu yang datang dari siapa saja.

“Jalannnya memang sulit. Jaraknya cukup jauh, licin dan berliku” begitu kata beliau. Hatiku jadi ingin cepat-cepat pergi ke sana. Ingin rasanya sedikit berpetualang menelusuri jalan menuju tempat yang belum pernah aku dengar namanya sebelumnya. Puas aku berdiskusi mengatur waktu dan teknis pemberangkatan. Sampai pada akhirnya tiba masa yang ditentukan.

Dengan ditemani Kadarisman, teman seperjuangan kubulatkan tekadku menyusuri jalanan berliku, menanjak dan mendaki. Menanya setiap orang dipersimpangan. Bukankah kata pepatah, malu bertanya sesat di jalan? Jika mau bertanya pasti selalu ada jalan.

Sungguh suatu pengalaman yang tak dapat kulupakan. Dengan mengendarai sepeda motor bututku yang kubeli dengan uang pemberian Ibuku. Setelah berusaha keras merayu beliau tatkala belu sebulan beliau menjual kayu di kebunnya. Dengan ditambah honor sebagai guru wiyata bhakti selama beberapa bulan yang akhirnya terbeli sepeda motor bekas seharga kurang dari empat juta rupiah di tahun 2008. Bukan kendaraan yang layak dibanggakan bagi seorang pemuda kala itu, namun perlu disyukuri karena dengannya mempermudah berbagai urusanku. Mungkin karena doa serta orang tua yang selalu menyertaiku.

Puas ku berjalan menyusuri jalan dengan berboncengan di atas sepeda motor bekas yang tak mampu berlari cepat. Kutemui setiap orang yang kebetulan berada di persimpanga jalan. Hingga ahirnya kutemui ruas jalan yang luar biasa bagiku. Merupakan turunan yang curam dengan jurang sebelah kiriku serta tebing batu di sebelah kananku. Jalan bergelombang yang disusun dengan bebatuan sebesar bola voli, dibalut dengan tanah liat bercampur air di sela-selanya. Maklumlah kala itu musim penghujan. Sehingga jalan terasa licin. Terlebih pada jalan menurun. Tentunya semakin licin. Kupelankan laju sepeda motorku dengan maksud menahan rodanya agar tidak terlalu cepat melaju di jalan menurun penuh batu-batu besar dan tajam di sudutnya. Dengan semampu tenagaku, dengan kaki yang sudah lekas bergetar karena menahan beban kuinjak pedal rem sepedamotorku. Namun tak mampu mengendalikan lajunya. Peristiwa itu terjadi di atas bibir kali Gintung. Rasa was-was pun hinggap di hatiku kalau-kalau aku akan terperosok ke jurang yang dalam atau harus membenturkan tubuhku di jalan berbatu. Sungguh kekhawatiran itu menyelimuti hatiku.

Bukan hanya diriku yang kukhawatirkan, tapi terlebih lagi dengan keselamatan temanku yang setia menemaniku. Namun tawa kecilpun tak dapat kusembunyikan. Tawa kecil yang menghiasi bibirku seolah menyembunyikan bahkan mengusir kekhawatiranku. Namun itu terhenti setelah sepedamotorku satu-satunya yang menjadi korbannya. (Penulis adalah peserta SAGU SABU Banjarnegara)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren, tapi kok serasa menggantung yah (?)

05 Nov
Balas



search

New Post