PONO

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Sudah Jatuh Tertimpa Motor

“Sudah jatuh tertimpa tangga”. Begitu kira-kira peribahasa yang ku dapat ketika duduk di bangku sekolah dasar. Yang artinya kurang lebih mengalami kesusahan bertubi-tubi. Namun yang kualami sudah jatuh tertimpa motor. Ya, motorku. Sepeda motor butut yang telah menemaniku mengarungi samudra kehidupan sekitar dua tahun. Kok dua tahun...? Karena sepeda motor itu baru kubeli pada 2008 yang lalu dari seorang penjual sepeda motor bekas. Tentunya setelah ada sedikit dana. Walaupun hanya motor bekas namun aku sangat menyayanginya. Karena ia lah harapan saya satu-satunya yang membantu mempercepat langkahku dalam menjemput takdirku.

“Benar-benar menimpaku!” setelah aku terpeleset dan jatuh di salah jalan di sekitar tempat kerjaku. Setelah sekian tahun aku mengendarainya, sungguh tidak kusangka giliran dia manghantamku. “Apa salahku?”’ pikirku. Bagaikan seekor kuda berontak karena selalu mendapat tugas berat dari majikanya. Majikan yang kurang memperhatikan keperluannya.

Jalan ke Sinduaji memang tergolong sulit. Medan yang berbukit-bukit dengan tebing terjal mempersulit untuk mebuat jalan yang lebar. Belum lagi jika musim hujan tiba. Adanya tanah longsor di sana-sini menutupi jalan sudah menjadi pemandangan biasa tahunan. Semua jalan sempit, tebing pun terjal. Di samping jalan, jurang yang dalam. Di tempat itu lah sebagian anak-anak bangsa tumbuh dan berkembang. Anak-anak yang membutuhkan uluran tangan pemerintah. Membutuhkan pendidikan yang layak, membutuhkan bimbingan dari para cerdik pandai untuk membangun masa depannya. Bukankah pendidikan dan pengajaran merupakan hak semua warga negara? Sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar, “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Di manapun ada anak bangsa merupakan tanggung jawab pemerintah untuk menjangkaunya agar dapat mengenyam pendidikan. Tidak terkecuali di Sinduaji. Anak-anak di Sinduaji pun memiliki hak yang sama dengan anak-anak yang lain di belahan bumi nusantara. Merupakan kewajiban abdi negara untuk selalu siap melaksanakan tugas pemerintah yang dibebankan ke pundaknya. Sebagai seorang guru PNS tidak ada alasan untuk menolak tugas negara untuk mengajar di Sinduaji. Seberapapun sulitnya medan, tugas harus dilaksanakan. Karena menyangkut hak setiap warga negara. Akupun berusaha selalu siap dengan kemampuan yang ada untuk melaksanakan kewajiban itu. Tiada patut untuk mengeluh. Semua tugas merupakan kewajiban yang harus dipenuhi.

SDN 1 Sinduaji berada di atas tebing. Berdiri sekitar lima meter di atas jalan umum yang dilalui banyak orang. Untuk ke lantainya harus melalui jalan selebar 50 sentimeter berbahan beton. Cukup licin jika tersiram air hujan. Kemiringan sekitar 35 derajat membuat pilih-pilih orang yang melewatinya. Terlebih jika terguyur air hujan.

Sampai tragedi itu pun terjadi. Ketika musim hujan telah tiba. Mentari pun kerap bersembunyi di balik awan. Panas mentari ibarat barang mahal bagi petani kapulaga maupun petani padi yang baru menuai hasil sawahnya. Hari seakan selalu pagi. Sinar mentari seolah malu menyentuh bumi. Malu dengan rintiknya hujan. Jika hujan tiba mentari pun segera bersembunyi, seakan memberi kesempatan kepada hujan untuk bergantian.

Siang itu mendung menjelma. Setelah awan berarak menuju langit di atas ubun-ubunku. Sinar mentari pun mulai meredup perlahan hingga akhirnya hari berubah menjadi gelap. Rintik-rintik hujan mulai berjatuhan dari langit. Hati pun mulai gugup. Ya, gugup. Jika basah, licin sekali jalan itu. “Aku harus segera menurunkan sepeda motorku”, pikirku.”Sepeda motorku harus berada di jalan sebelum hujan mengguyur”, begitulah yang terlintas dalam pikiranku. Terlebih ketika melihat anak-anak berkumpul dan bermain di jalan yang sempit dan licin itu. Aku tidak terlalu pandai mengendalikan sepeda motor di medan yang sulit. Tidak sepandai warga Sinduaji. Terlebih jika hujan sudah mengguyur. “Sebelum hujan deras sepeda motorku harus sudah di bawah. Di jalan yang rata”, pikirku lagi.

Dengan bergegas aku pun segera menyalakan sepeda motor. Secara perlahan aku gerakan rodanya menuju jalan kecil itu. Sebelum hujan semakin deras. Kusuruh anak-anak menepi. Dengan maksud agar aku leluasa mengendalikan sepeda motorku.

Namun, sungguh di luar perkiraanku. Jalan kecil yang kukhawatirkan akan licin jika terkena air, ternyata memang sudah cukup basah dan licin. “Rupanya aku terlambat”, begitu dalam benak pikiranku. Anak-anak pun tak kunjung menepi. Kini semakin bertambah kekhwatiranku. Bukan hanya mengkhawatirkan keselamatanku, tetapi juga mengkhawatirkan keselamatan anak-anakku. Jika sampai sampai terjadi aku terpeleset dan menyambar tubuhnya yang mungil itu. Alangkah kacaunya. “Tidak”! “Lebih baik aku sendiri yang sakit”! “Aku tak mau melibatkan orang lain menderita karenaku”! begitu yang terlintas di pikiranku.

Setelah kurasakan kedua ban tergelincir, segera kurobohkan sepeda motorku. Tujuanku memperbesar gaya gesek agar tidak lari menuju kerumunan anak-anak. Cukup aku saja. ”Brakk”! ‘setang’ pun menghantam jalan. Kuhempaskan badanku ke tepi jalan sebelah kananku. Agar sepeda motor dapat tidur dengan nyenyak di badan jalan. Kuraih sebatang pohon kecil di tepi jalan agar tidak terjatuh ke jurang di kanan jalan. Jurang yang cukup dalam. Namun apa yang terjadi. Sungguh di luar dugaan. Akar pohon kecil yang kuraih tak kuasa menahan berat badanku. Akarpun tercabut. Badanku terjatuh di jurang sedalam tinggi tubuh. Entah mengapa. Setelah tiga detik berlalu, sepeda motor yang kutinggalkan di tengah jalan menyusulku dan hendak memelukku. Memelukku atau menghantamku. Otakku pun tak dapat lagi membedakkannya. Mungkin karena keget setelah terjatuh di jurang sedalam tubuhku. Syukurlah aku terjatuh dengan punggung sebagai penopang tubuhku.

Untunglah mataku terbuka, hingga dapat kusadari adanya bebek besi jatuh menuju dada dan perutku. Segera kugerakkan kedua tangan dan kedua kakiku ‘menangkisnya’. “ Kurelakan kaki dan tanganku tergores oleh kerasnya benda itu”. “Asalkan jangan dada dan perutku”, pikirku spontan. Benda itupun jatuh ke jurang sedalam belasan meter. Menghantam sebongkah batu besar di dasar jurang. “Brakk”! Dengan jelas dapat kudengar bunyi itu setelah dua detik berlalu. Setelah mengenai kedua tangan dan kakiku. Rupanya bunyi yang terjadi akibat tumbukan dua benda keras. Tumbukan antara logam dengan batu. Ah , tidak mengapa! Hanya sepeda motor. Yang penting aku selamat.

Sebenarnya itu bukan kali pertama sepeda motorku membentur badan jalan karena roboh. Berulang kali aku melepaskan ‘setang’ dari tanganku ketika mendaki di jalan licin. Jika keselamatanku terancam oleh kejamnya badan jalan. Badan jalan yang seolah tidak mau dilewati orang yang masih kurang akrab. Dari kejauhan seolah mengajak siapapun pengendara untuk mendekat. Dengan keindahan pemandangan yang dipamerkan kepada setiap orang yang baru mengunjunginya. Namun dari dekat ia seolah hendak menikam.

Syukurlah kepala mupun dadaku selamat dari amukan benda itu. Sepeda motor yang setiap kari aku naiki. Yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Kurebahkan tubuhku di atas tanah ‘ciut’ dengan tebing di kirinya serta jurang dalam di kanannya. Ku tatap langit. Kutarik nafas dalam-dalam. Kuhembuskan panjang-panjang. Untuk mengusir perasaan gugup dari dalam dadaku. Dalam telentang kudengar dari atas tubuhku riuh suara anak-anak. “Pak Guru terjatuh! Pak Guru terjatuh! Pak Terjatuh terjatuh!”, itu yang terdengar di telingaku. Segera kubangunkan badanku dari tidur pendekku. Walaupun lutut dan siku tanganku sedikit pegal kupaksakan tubuhku berdiri tegak. Sebelum banyak mata tertuju kepadaku. Setelah tegak aku berdiri kesulitan lain pun terjadi. Bingung aku menjawab pertanyaan puluhan anak-anak yang ingin tahu keadaanku. “Bapak, kenapa Pak? Bapak, kenapa Pak?”, kalimat itu serasa memenuhi rongga telingaku. Diucapkan puluhan kali oleh puluhan anak. Sehingga tidak semua dapat kujawab. “Sabar”, kataku. Akupun masih berdiri di tempat aku terjatuh sambil menyiapkan kedua kakiku untuk berjalan. ‘Alhamdulillah’ aku masih bisa berjalan dan tertawa. Walaupun tampak kekwatiran pada wajah-wajah orang di sekelilingku. Ya, mereka mengkhawatirkan keselamatanku.

Bantuanpun segera datang. Puluhan lelaki yang kebetulan sedang bekerja di hutan dan berada di jalan segera menghampiri sepeda motorku yang berada di dasar jurang sedalam belasan meter itu. Sekolah tempat kerjaku memang berada di tepi hutan. Pintu-pintu kelas menghadap ke halaman berlumpur yang dibatasi tebing tinggi hutan pinus. Hutan yang berisi penuh tanaman pinus berusia puluhan tahun. Jika musim angin tiba kami pun harus lebih wasapada karena sering terjadi pohon tumbang akibat hempasan angin kencang.

Puluhan lelaki itu pun segera menarik sepeda motorku satu-satunya. Alangkah parahnya. Tampak olehku beberapa bagian melengkung dan ‘peot’. ‘Oli’ pun mengalir dari sela-sela dinding mesin. Rupanya mesin sudah bocor akibat benturan dengan batu. Segera mereka meletakkannya di tepi jalan untuk di bawa ke bengkal terdekat. Akupun segera masuk ke rumah dinas guru yang berusia puluhan tahun. Atap dan dindingnya sudah lapuk karena usia. Jika hujan tiba air pun masuk dan membasahi lantainya. Walaupun kondisi memprihatinkan namun masih terpakai untuk menginap guru-guru yng rumahnya jauh dari sekolah.

Dengan sedikit repot mencari signal, segera ku telepon istriku dan juga kakakku di rumah. Untunglah salah satu ada teman guru yang pandai memijit. Ia pun segera mengurut kedua tangan dan kakiku. “Semoga saja tidak terjadi apa-apa”’ kata beliau sambil mengurut. Hujan turun semakin deras. Sepeda motor diurus teman guru yang lain untuk diperbaiki di bengkel. Malam itu aku menginap di rumah dinas yang sudah ‘reot’ itu bersama teman-teman guru yang lain.

Esok harinya kakakku bersama keponakanku datang menemuiku di rumah itu mengendarai dua sepeda motor. Tujuannya adalah agar aku bisa mengendarai salah satunya untuk pulang ke ke rumah. Ia pun terkejut melihat sulitnya medan di tempat kerjaku. Setelah pembelajaran hari itu selesai kami pun bergegas meninggalkan tempat itu menuju rumah kediamanku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post