Popon Siti Mariah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Suamiku bukan milikku #day 20

Suamiku bukan milikku #day 20

Keluar dari mobil, dengan sigap Jodi berlari memutar membukakan pintu untuk Zarima yang kemudian bagaikan balita yang manis berjalan digandeng Jodi. Mang Darso mengiringnya dengan kopor Zarima di tangan, berjalan gagah bak pahlawan. Bahagia sekali nampaknya laki-laki berkulit gelap itu melihat majikannya berhasil menjemput nyonya nya.

Bi Dasih menyambut pula dengan tergopoh-gopoh menyediakan sarapan, mempersilakan non Rima makan bagaikan dayang kepada putri keraton. Tanpa ragu, Zarima menuju meja makan karena dia sudah lapar, begitu juga Jodi. Mereka sarapan dengan lahap, walaupun tidak ngobrol akrab namun kelihatannya tabir diantara mereka mulai terkuak.

Namun, kali ini Zarima tak memberi peluang buat Jodi mempermainkan perasaannya. Selesai makan, dia masuk kamar dan mengunci pintunya meninggalkan Jodi yang terbengong sendiri..... Apa boleh buat, Jodi ngeloyor ke kamar kerjanya lagi. Istirahat sendiri melepaskan kelelahan yang amat sangat.

Baiklah....aku harus sabar, Zarima kini menjadi jual mahal, ini karena ulahku tempo hari, bisik hatinya. Nanti kalau sudah cukup istirahat pasti ia keluar, dan akan aku ajak berdamai ia...bisik hatinya lagi. Kantuk pun datang dan dia terlelap. Seharian itu, Zarima mengurung diri di kamar begitu juga Jodi ternyata tidak bisa melawan lelahnya. Alhasil hari itu dia tidak berangkat kerja...

Sore hari, saat keduanya sudah cukup istirahat, sudah mandi dan keduanya kelihatan segar...keduanya keluar dari kamar masing-masing untuk menikmati makan malam. Tapi justru setelah seharian mereka berada di rumah, tak terdengar adanya obrolan diantara mereka. Zarima tak ingin memulai pembicaraan, sedangkan Jodi, mendadak mati gaya. Beneran dia merasa kalah pamor oleh ketenangan pembawaan perempuan itu. Kegagahan dan keangkuhannya mendadak lenyap, bahkan nyaris tak ada harga diri dan keberanian untuk membuka percakapan. Jodi tak tahu harus bicara apa..... Keadaan seperti itu berlangsung sampai malam, sehingga akhirnya mereka berdua kembali ke kamar masing-masing. Di dalam kamarnya, berbeda dengan Zarima yang kalem yang mengisi waktu sendirinya dengan membaca novel terbitan Media Guru, maka Jodi sangat gelisah.

Keesokan harinya, Zarima bangun dan menyiapkan sarapan untuk mereka berdua tapi tetap tak bicara, bahkan menawarkan makanan pun tidak. Dia hanya menyimpan makanan itu di meja makan, kemudian dia sendiri memakan yang ada di depan kursinya. Agak kaku Jodi memakan masakan istrinya itu, kali ini terucap juga ucapan terima kasih nya pada Zarima karena telah menyediakan sarapan. Tentu saja dalam hati Zarima senang, tapi dia hanya tersenyum sekilas.....jual mahalkah dia? Bukan, itu karena dia sedang berhati-hati karena takut tersakiti lagi.

" Rima.... "

" Ya kang.. "

" Ini uangmu yang kemarin kamu titip ke mang Darso, dan ATM nya, kamu simpan lagi ya..." katanya, lembuuuut sekali ucapannya. Aiiiih...hati Zarima hampir lumer. Bukan karena uangnya, tapi karena kemanisan sikap Jodi. Tapiiii...dia masih tak mau bermudah-mudah didekati, cuma senyum tipis dan mengangguk. Ya Allah sikapnya yang kalem itu membuat pesona yang menggetarkan. Cantik sekali dia.....lirih hati Jodi berbisik.

" Mungkin kamu perlu beli kebutuhanmu? Kelihatannya kamu cuma bawa kopor satu.....tentunya banyak yang harus kamu beli kan? "

" Bagaimana kalau nanti sore aku antar kamu ke mall? "

" Gimana nanti saja ya kang...."

" Ok, Rima, kalau kamu siap hubungi aku ya, aku akan antar kamu belanja.... "

" Sekarang aku pergi dulu ya..... "

Zarima mengangguk, Jodi ngeloyor keluar setelah sebelumnya ragu, pengen meluk tapi maluuuu.... Takut ditolak.

Sesungguhnya, seharian di kantor itu tak banyak yang ia kerjakan. Bahkan jadwal meetingpun dia minta agar sekretarisnya membatalkan. Seharian itu dia hanya berkutat dalam kegundahan, dia sungguh merasa bimbang. Niat hati ingin memutuskan hubungan dengan Gina secara baik-baik, tetapi setiap kali pikirannya sampai ke arah sana maka kegalauan nya muncul lagi. Bagaimanapun, Ginalah yang selama ini dia cintai dan sangat mencintai dirinya. Gina itu makhluq paling manis yang selalu membuatnya terpukau oleh kecantikannya. Kepintaran Gina yang membuat gadis itu selalu percaya diri dan tak pernah ragu bergerak. Membuat dia nampak sangat lincah dan energic. Mungkin hanya manusia buta yang tidak akan mengakui pesona Gina.

Begitulah Jodi. Sifat penyayangnya yang membelitnya untuk tidak memutuskan Gina. Dia masih sayang padanya. Disisi lain, Jodi mulai menaruh hati pada Zarima yang punya keistimewaan tersendiri. Malah kalau dijumlahkan, pesona Zarima jauh lebih kuat dari Gina, walau tampilannya tidak glamour seperti Gina, tapi Rima kalem dan elegant juga berselaput aura ketaqwaan...

Seharian itu juga Jodi nunggu telpon Rima, berharap dia minta ditemani belanja atau apapun yang dia pikir akan memudahkan dia untuk mendekatinya. Jodi sebegitu naifnya, menganggap Rima seperti umumnya wanita, akan klepek-klepek berserah diri disanjung suara berdesah tatapan mesra apalagi plus gepokan uang merah. Jodi tidak tahu siapa Zarima. Dia cepat belajar dari pengalaman. Sekarang, dia tidak terlalu mempercayai Jodi. Walaupun nampak berbalik membaik, tapi bagi Rima ini belum saatnya dia menyerahkan kepercayaan dan bersandar penuh sebagai istri.

Alhasil, penantian Jodi nihil. Besoknya, dan besoknya lagi....tak juga Rima mendekat. Naifnya Jodi, dia hanya menunggu tidak berinisiatif mendekati secara lebih agresif dan menyatakan sikap dengan tegas. Sebetulnya Rima ingin Jodi berbicara padanya mengucapkan janji akan memulai kehidupan pernikahan yang sebenarnya. Mengapa demikian? Rima kapok.....tanpa mendengar ikrarnya tak akan dia membuka diri. Sebab, kalau sudah berikrar Rima bisa memegang janjinya itu. Rima pikir, bagaimanapun plin plan nya Jodi, dia tetap laki-laki berpendidikan yang mengerti tanggung jawab sehingga bisa diharapkan bisa menepati janjinya. Sedangkan apabila tidak berikrar, Rima hawatir Jodi masih akan goyah.....

Dan kehawatiran Zarima tidak terlalu salah. Suatu sore, saat keduanya duduk-duduk di teras belakang rumahnya, telpon Jodi berbunyi. Zarima yang duduk cukup dekat, bisa mendengar Jodi menyebut orang yang nelponya itu tante Yeni.

" Ya tan....? "

" Ohhhh tentu tante, aku akan datang..... Besok sore ya.....ya sabtu sore ya.... Siap tan.... Siap... "

Ditutupnya telpon sambil melihat ke arah Zarima, dia bertanya...

" Kamu, kenapa tidak juga minta aku temani belanja? "

" Kalau kamu mau, hayo aku temani sekarang, sekalian aku mau beli kado buat om Isnandar... "

" Siapa om Isnandar....?"

" Om Isnandar itu suaminya tante Yeni, tantenya Gina....besok ulang tahun. Barusan aku diundang.....gak enak kalau gak datang... "

" Oh.... Ya? .....Jadi akang akan datang juga...? "

" Kan kamu dengar barusan aku bicara ditelpon? "

" Ya, aku dengar.....tapi haruskah akang datang? "

" Ya iyalah Zarimaaa.....masa sih tidak. Mereka itu, om dan tantenya Gina, yang merawat Gina sejak kedua orangtuanya meninggal. Mereka sangat baik padaku.... "

" Ya iyalah baik kang.....kan akang pacar dari ponakan kesayangan mereka... " Zarima mulai gusar.

" Menghadiri undangan om nya, kan berarti ketemu sama ponakannya juga.... " Walau berusaha untuk tidak marah, tak urung Zarima ketus juga. Dia mangkel, sebulan ini menunggu Jodi membicarakan kelanjutan hubungan dan berjanji setia, malah blingsatan mau beli kado buat om nya Gina. Dasar...laki-laki ini tidak peka atau tidak pintar ya? Apa tidak paham situasi? Seberapa sih IQnya? Kenapa jongkok amat....? Si kalem Zarima bersungut-sungut dalam hati.

Sebulan ini Zarima telah menunggu, dan tinggal bersama Jodi. Dia berusaha bersikap yang wajar. Berusaha melakukan kewajiban seorang istri dan menantu, walau belum sepenuhnya dijalani. Sebagai menantu, dia selalu menyiapkan perhatiannya kepada mama mertuanya itu bahkan jauh lebih besar dibanding kepada ibunya.

Hampir dua kali seminggu dia mengunjungi mertuanya, menunjukkan perhatian dan baktinya. Kepada mertuanya itupun dia jujur, bahwa hubungannya dengan Jodi masih belum sepenuhnya sesuai harapan. Dia jujur belum sepenuhnya menjalani tugasnya sebagai istri, karena dia menunggu ada ikrar kesungguhan dari Jodi. Rima menyampaikan juga kepada ibunya bahwa, kalau Jodi belum berjanji akan berperilaku sebagaimana seharusnya seorang suami, dan bahwa dia akan meninggalkan Gina, dia hawatir bahwa memang hati Jodi masih terpaut pada kekasihnya itu.

Namun, Zarima juga selalu menyampaikan kepada mertuanya itu tentang segala sesuatu mengenai dirinya. Bahwa dirinya tidak mau memaksakan kehendak kepada Jodi. Bahwa dirinya akan baik-baik saja tanpa Jodi. Pun, Rima menyampaikan penyesalannya juga mengapa harus ada perjodohan yang dipaksakan yang menimbulkan semua derita ini? Sebetulnya menurut Rima, Jodi berhak menikahi siapa saja yang dia cintai seperti juga dia seharusnya menerima saja pendekatan dari laki-laki baik yang mendekatinya dan tidak harus menolak karena merasa terikat oleh janji perjodohan orangtuanya.

Pembicaraan itu, seringkali terjadi diantara dia dan mertuanya. Hingga lambat laun mertuanya menyadari kekeliruannya, dan memahami sikap Jodi. Namun, tetap saja dia menuntut apa yang juga dituntut oleh Zarima, yaitu kedewasaan Jodi sebagai suami karena saat ini mereka sudah resmi suami istri.

"Semoga pernikahan kalian tetap langgeng dan segera diberikan kebahagiaan.... " begitu selalu katanya.

Seiring dengan itu nampak kesehatannya membaik. Pada dasarnya, mertuanya itu hanya tidak boleh menanggung beban batin yang berat saja. Jadi, saat pemahamannya tentang semua masalah pernikahan anaknya ini clear bagi dia, maka tubuhnya semakin kuat.

Mungkinkah karena semua itu yang membuat Jodi merasa tidak bersalah lagi kepada mamanya? Mungkinkah karena semua itu Jodi merasa dia bisa bebas meraih impian lamanya? Mungkinkah karena semua itu Jodi merasa tak butuh lagi dirinya...?

Agggrrrhhhhhh..... Zarimaaa....! Sungguh naif dan dungunya dirimu! Menunggu sesuatu tanpa hasil. Menyia-nyiakan waktumu untuk orang dungu seperti Jodi, sungguh perbuatan dungu Zarima...!

Kemarahan Zarima sudah sampai pada batasnya yang bisa dia tahan. Namun dia masih penasaran mengenai sikap Jodi....

" Akang serius mau datang ke pesta mereka...? Tidakkah akan dipertimbangkan baik-baik? Bukankah disana akan ada Gina...? Lagi pula, dengan menghadiri acara seperti itu, menunjukkan akang masih perhatian pada Gina? "

Eh malah dia bilang, " Aku tidak bisa mengabaikan mereka Rima, Gina dan keluargnya. Mereka teralu baik padaku.... "

" Jadi.....? "

" Gak enak kalau tidak datang.... Maafkan aku kalau kamu tak suka...."

" Baiklah..... Lakukan yang akang suka....aku tidak bermaksud menghalangi. Tapi hanya mengingatkan segala tindakan pasti ada sebab dan akibat, ada aksi dan reaksi... "

" Akang sudah siap...? "

Jodi tak begitu paham apa yang dimaksudkan Zarima. Mau bertanya, Zarima pergi begitu saja ke kamarnya. Telpon ditangannya berdering lagi. Kali ini yang nelpon Gina.

" Hai.... "

" Kata tante.....kamu mau datang di ultah om besok? "

" Waw aku surprised saja.....kirain tidak perhatian lagi sama keluarga aku.. Ok yaa....see you.. " Gina masih manja aja....membuat angan Jodi melambung ke masa yang lewat saat mereka sangat bahagia bersama.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ih si Jodi...sifatnateh equivalen dengan lakilaki pada umumnya...punten ah para lelaki tong sok kitu tah..si ibu berhasil membuat emosi pagi....

12 Feb
Balas

Aya koreksian teuuuu....?

12 Feb



search

New Post