PRIMA DANU ASTRI SUSANTI

Guru SD N Karanganyar II Kabupaten Karawang ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Antara Anshor dan Telur Bebek Pak Kodirin

Antara Anshor dan Telur Bebek Pak Kodirin

Lebaran tahun ini kuputuskan untuk pulang kampung ke Cilacap. Ke orangtuaku. Seperti biasa aku lakukan perjalanan mudik pada hari H untuk menghindari macet. Rumah orangtuaku berada di dusun yang jaug dari jalan utama. Jalannya becek jika hujan, kadang malah mblesek jika dilewati mobil. Tanahnya sangat labil. Kalau musim hujan tiba biasanya mobil dari luar ga bisa masuk, atau yang di dalam ga bisa keluar.

Begitu masuk menyusuri jalan desa menuju rumah orangtuaku, kutunjukkan kepada istriku SD tempat aku bersekolah dulu. Sejurus mengingatkanku sebuah peritiwa luar biasa yang pernah ku alami yang tidak akan kulupakan.

Jam istirahat kedua dimulai. Anak – anak kampung itu berhambur keluar. Tanpa alas kaki. Karena sekolah itu masih belum punya lantai. Maksudnya lantainya masih tanah. Kalaupun punya sepatu, di tas kresek hitamlah tempatnya. Anak – anak yang sekolah di SD Bumireja 1 itu rata – rata anak petani. Beli sepatu itu adalah momen langka yang entah dengan apa merayu bapak agar mau beli sepatu baru. Merknya warior warna hitam talinya putih. Daripada sepatu itu jadi barubah warna, mending disimpan saja di kresek. Budaya itu berlaku sampai sekolah itu punya lantai.

Anak – anak ndeso biasa ga diberi uang jajan. Pagi sudah sarapan dianggap lebih dari cukup untuk bekal amunisi bagi perut kalau mau belajar. Bahkan bapakku selalu bilang kalau sekolah bawa duit malah jadi bodoh hasilnya. Jadi ga ada ceritanya aku bawa duit ke sekolah. Tapi. Ada juga anak yang bisa jajan. Mesti, karena anak orang berada. Tapi itu tak akan membuatku punya alasan untuk minta uang jajan sama bapak atau mamakku.

Dikelasku ada bocah yang nakalnya level wahid. Namanya Anshor. Bocahnya gede, jegger lah istilahnya. Tapi kalau di kelas kaya cacing kepanasan. Apalagi di depan guru. Anteng kaya patung. Paling takut kalau disuruh maju. Apalagi pelajaran matematika. Udah kaya patung gapura aja dia. Diam seribu bahasa. Tapi di jam istirahat kedua itu, apes sekali nasibku. Saat aku sedang asyik mengorek ngorek empang di belakang sekolah menggoda kodok – kodok yang berlompatan didalamnya, tiba – tiba si Anshor itu memegang tanganku dan menarikku ke pojok kebun sekolah yang sedang sepi. Sambil berbisik diiringi pelototan matanya yang sipit dia minta uang padaku. Tentu saja aku bilang, ga ada duit. Modus pemalakan nya tidak berhenti disitu. Dia mengancam akan mengempiskan ban sepedaku jika aku tak memberinya uang. “Mau diapakan juga percuma aku ga pernah punya uang jajan !” kataku sambil menahan tangis. Tubuhku yang kecil ( sampai kini masih kecil) menggigil takut sekali jika Anshor memukulku.

Hingga bel masuk dibunyikan dia belum juga melepaskan aku sebagai sandranya. Hingga suara dehem muncul dibelakang kami, ekhem ekhem… Nah, aku kenal suara itu. Itu Pak Kodirin wali kelas kami. Dalam hati aku bersorak,”Rasain kamu Anshor, kapokmu kapan!” Pak Kodirin tidak berkata apapun pada kami. Anshor langsung melepaskan ku tanpa menunggu lama. Dan dia lari masuk kelas. Pak Kodirin tidak bertanya, mungkin beliau sudah tau apa yang terjadi barusan.

Dua jam terakhir hari itu adalah pelajaran agama. Jadi, Pak Kodirin tidak mengajar kami di jam terakhir. Wah, aman si Anshor. Di kelas dia mesam mesem puas sambil memandangku penuh dendam. Hari itu berlalu dengan kebebasan Anshor dari hukuman Pak Kodirin karena telah berlaku kriminal padaku.

Rumah Anshor tak jauh dari sekolah. Pada sore hari, dia yang hobi mancing di sungai yang membelah kampung itu menemukan telur bebek. Telur bebek yang jumlahnya lumayan di sebuah kebun dekat sungai tempat dia memancing. Mungkin lebih tepat nyuri atau mengambil paksa telur – telur itu. Soalnya, telur itu ada di dalam kebun yang diberi pagar cukup pendek. Tak disangka ia melanjutkan hobinya mancing sambil “mengambil” telur bebek. Aksi Anshor berlangsung hingga hampir seminggu.

Sang pemilik telur pasti merasa rugi karena telurnya hilang stiap hari. Hingga tiba sore apes buat Anshor. Saat ia melancarkan aksinya, tiba – tiba pundaknya ditepuk dari belakang. Seorang bapak bercaping, badannya tinggi dan kumisnya lebat. Tak asing bagi Anshor. Dialah Pak Kodirin, wali kelasnya dan sekaligus pemilik bebek beserta telurnya yang seminggu ini diambil paksa oleh Anshor.

Bagai petir di siang bolong, bagai hujan di padang pasir. Hatinya remuk dan bibirnya kelu. Tak mampu bicara. Seperti orang kesurupan. Diam mematung seperti gapura di peringatan 17-an. Ke “jegger”annya porak poranda oleh rasa malu yang menggunung. Keringat dingin membanjiri badannya yang tingginya hampir sama dengan Pak Kodirin.

Pak Kodirin seperti biasa. Diam. Tapi kali ini beliau tidak membiarkan orang buronannya lolos. Tak disangka orang buronannya itu adalah muridnya sendiri. Di bawanya Anshor ke dalam rumahnya. Ditanya kenapa dia mengambil telur – telur bebeknya. Lagi – lagi Anshor tak mampu menampilkan keperkasaannya seperti kalau sedang malak teman-temannya. Pak Kodirin tidak memaksa Anshor menjawab. Dengan bijaksana dielus kepala Anshor hingga keperkasaannya dan kejeggerannya remuk dihantam air mata yang luluh di pipinya. Pak Kodirin mengantarkan jagoan kebon itu pulang kerumahnya. Dengan wajah membiru syahdu diliputi deru dihantui ragu dan ketakutan menggebu Anshor masuk ke rumahnya. Ternyata dia memang hanya tinggal dengan seorang ibu. Yang ternyata “galak”. Begitu nampak wajahnya menyembul di balik pintu, suara ibunya yang nyaring menggelegar menyambutnya dengan meriah. Anshor yang gagah itu, ternyata anak yang patuh kepada ibunya. Hal itu membuat Pak Kodirin urung menceritakan apa yang sudah diperbuat Anshor di kandang bebeknya.

Keesokan harinya, di jam pertama bersama Pak Kodirin, tampak lesu wajah Anshor menahan malu. Rahasia besarnya yang disimpan bersama kebijaksanaan Pak Kodirin tak terungkap. Hingga siang itu, seperti disambar petir, saat jam pulang sekolah dia mendeklarasikan apa yang terjadi antara dia dan telur – telur bebek Pak Kodirin di depan kelas. Apa yang mendorongnya berbuat itu, sampai sekarang belum terungkap. Menangis sesenggukan sambil mencium tangan gurunya dengan satu kalimat, “Terimakasih Pak, Bapak menyelamatkan saya dari hantaman sapu lidi mamak saya. Jika tau aku mencuri, sapu lidi titipan almarhum bapak saya wajib di sabetkan ke kaki saya. Bapak saya ingin saya menjadi orang jujur. Tapi Bapak menutupi kesalahan saya di depan mamak saya.”

Seisi kelas mendadak mengharu biru melihat si jegger menangis seperti itu. Dua pelajaran yang didapat dari kisah manis Anshor, dia nakal tapi masih hormat dan patuh pada ibunya. Yang kedua, Pak Kodirin mengajarkan kita bagaimana mendidik dengan hati dan teladan. Tidak menjatuhkan atau menghinakan. Kesadaran dalam diri Anshor cukup awet hingga lulus SD.

Lamunanku pudar ketika suara klakson motor dibunyikan di sampingku. Ternyata dia adalah Anshor. Sudah sukses jadi pemborong di Jogja. Anak istrinya tinggal di Bumireja, Cilacap menemani ibunya yang berusia senja. Tak kusangka, “tobat” Anshor awet hingga sekarang, usia kami menjelang 40 tahun. Kepatuhannya kepada ibunya dan hasil didikan Pak Kodirin membuahkan hasil manis. Hingga kini Pak Kodirin masih mengajar di SD Bumireja 1. Dan masih punya ternak bebek di kebun yang sama ketika Anshor tertangkap basah. Pertemuan dengan Anshor itu dilanjutkan dengan sowan ke rumah Pak Kodirin. “Siapa tau aku dapat telur bebek gratis!” seru Anshor dengan senyum jeggernya yang legendaris.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post