PRIMA DANU ASTRI SUSANTI

Guru SD N Karanganyar II Kabupaten Karawang ...

Selengkapnya
Navigasi Web
KAMIS KERAMAT

KAMIS KERAMAT

“Bangun le!”, panggil ibu Tumino tepat saat adzan shubuh berkumandang. Biasanya jagoannya itu sangat rajin bangun pagi dan bergegas ke masjid untuk shubuhan bareng bapaknya. Tapi, ini hari aneh kesekian kalinya sejak dia masuk SMP. Hari Kamis jadi hari aneh bagi ibu Tumino karena selalu mendapat alasan baru bagi Tumino untuk tidak masuk sekolah.

Hari Kamis dua minggu yang lalu, alasan pusing membuat ibu terpaksa mengirim surat ijin sakit ke sekolah Tumino. Kamis minggu berikutnya, dia bilang mules – mules yang tetap mampu memaksa ibu untuk menulis surat yang sama dengan bahasa yang sedikit diubah. Minggu ini Kamis ketiga Tumino akan memulai aksi anehnya lagi. Dalam hati ibu, apa lagi alasan dia kali ini.

“Bangun le, Bapak sudah siap ke masjid. Sudah mau qomat lho le!”, ibu mengulang lagi panggilannya. Tumino tak bergeming, berlindung di balik selimut dengan mata kethip – kethip. Sebenarnya dia sudah bangun jauh sebelum adzan shubuh terdengar. Tetapi Kamis nya Tumino membuat dia tak kuasa beranjak dari kasurnya.

“Ya sudah kalo ngantuk, sholat di rumah saja. Tapi bangun ya, sudah jam lima ini lho!”, bujuk sang ibu sembari mengaduk nasi yang baru saja turun dari dandang siap untuk dihidangkan. Dengan gaya khas hari Kamis, Tumino beranjak ke kamar mandi dengan lunglai seolah tenaganya habis untuk berlarian di dalam mimpinya semalam. Batuk – batuk, dehem – dehem akting rutin tiap Kamis nya masih masuk dalam skenarionya pagi itu.

Ibunya mulai curiga dengan kelakuannya yang ketiga kali dalam bulan ini. “ Mosok saben Kemis kok loro tho? Opo ono loro kemisan?” (masa setiap hari Kamis kok sakit, apa ada sakit kamisan ?) Ucap ibu pelan sambil siapkan tempe goreng teman sarapan buat keluarganya. Sejurus kemudian, dengan langkah sigap dia papah anak lanang nya yang baru selesai shubuhan. Di gandengnya untuk duduk di lincak bambu belakang rumahnya.

“Ibu harus buat surat lagi le?” kata ibu sambil senyum agak kecut, mirip baunya Tumino yang belum mandi itu. Tumino sedikit tersentak dengan pertanyaan ibunya. Sepertinya kali ini dia harus ungkapkan rahasia besarnya. Mengapa hari kamis jadi hari keramat buat dia. Keramat sehingga pantang baginya masuk sekolah.

“Aku kalau hari Kamis suka pusing kok bu.” Kalimat keramat lagi yang keluar dari mulutnya. Lho! Dia malah bingung, kok itu lagi yang terucap. Ibunya mesem kecut untuk kedua kalinya pada pagi itu. Ibunya belum mau menyahut. Masih dalam fase investigasi ada apa sebenarnya. Kamis keramat nya si Tumino tidak bisa dibiarkan. Harus terungkap misteri di balik ini semua. Gumam sang ibu menahan rasa penasaran.

“Sudahlah, cerita saja. Apa kamu mau tak bawa ke puskesmas biar dapat obat buat sakit kemisanmu itu le? Kalo setiap Kamis ga masuk apa ga ketinggalan pelajaran tho le. Sudah SMP mbok jangan kaya anak SD gitu lho. Ada apa sebenarnya?” akhirnya ibu mampu memberondong Tumino dengan pertanyaan dan pernyataan terpendamnya yang hampir tiga minggu itu.

“Ampun bu. Saya ga sakit kok. Sebenarnya, aku kapok bu. Kalau hari Kamis ada pelajaran yang susah. Jadi ya mending ga masuk saja.” Jawab Tumino penuh keraguan. Sejenak memorinya merangkak ke hari kamis empat minggu yang lalu.

Jam terakhir, pelajaran seni musik. Mungkin di sekolah lain pelajaran seni musik itu menyenangkan. Apalagi di jam terakhir, pas ngantuk-ngantuknya dapat hiburan. Belajar musik atau menyanyi jadi semangat. Hari itu hari pertama pelajaran seni musik bagi Tumino, di SMP. Walaupun di SD juga ada pelajaran kesenian, ada harapan pelajaran ini lebih menyenangkan. Kepenatan dari jam pelajaran sebelumnya akan terobati dengan seni musik.

Hingga terdengar suara sepatu dari arah kantor guru, tok tok tok… nyaring dan agak sedikit horor terdengar di telinga. Wah, itu pasti Bu Siti yang katanya guru seni musik itu. Begitu masuk, deg! Wajahnya, tegas. Tatapannya, tegas. Suaranya, lebih tegas atau tepatnya keras. Kenapa seperti ada firasat buruk, baik bagi Tumino maupun teman sekelasnya. Suarana riang berubah bermuram durja penuh tanya. “ Siapa ketua kelas?” tanya Bu Siti membuka pelajaran. Tumino lah yang dicarinya. “ Saya bu.” Jawabnya penuh ketakutan dan meragukan.

“Pergi ke perpus, ambil suling yang ada di lemari alat musik disana. Ambil sebanyak anak di kelas ini.” Perintah Bu Siti itu langsung di laksanakan olehnya dengan bantuan salah satu temannya. Suling yang dimaksud Bu Siti sudah ada di tangan setiap siswa. Bu Siti menuliskan rangkaian not angka di papan tulis. Sebuah lagu tentunya. Pelajaran hari itu tentang bagaimana memainkan suling dengan benar. Bu Siti menjelaskan fungsi masing – masing lubang dari suling sekaligus tehnik agar menghasilkan suara yang benar dan enak didengar.

Setelah penjelasan panjang dari Bu Siti, langsung lanjut praktek memainkan suling. Di awali dengan notasi solmisasi do sampai do. Bu Siti selalu bilang, “Tutup lubang not yang tidak akan dibunyikan dengan rapat!” Mengulang – ulang kalimat itu sebelum praktek “meniup” dimulai. Hingga aba – aba dimulai sudah di eksekusi. Do mengalun lancar, re mengalun lancar, mi fa sol dan ketika nada la di tiupkan terdengar suara melengking yang ga nyaman di telinga. Tentu akibat sang empunya tidak menutup lubang dengan rapat. Bu Siti langsung beraksi, wajahnya berubah menjadi lebih “tegas” berusaha mencari tersangkanya.

Suasana pencarian tersangka itu terasa begitu menegangkan. Dan tersangkanya pun tidak akan mau menampakkan diri karena takut. Bu Siti mengulang instruksinya untuk menutup rapat – rapat lubang not yang tidak mau dibunyikan. Praktek meniup itu dilanjutkan masih dengan solmisasi awal. Dan suara “ngiiiik” yang tidak enak di telinga itu muncul lagi. Kali ini, Bu Siti langsung menagkap basah tersangkanya, dan dialah Tumino. Dengan secepat kilat, cubitan mesra mendarat di pundaknya. Tidak sakit tapi cukup memalukan. Karena diiringi orasi Bu Siti yang berseru untuk lebih kuat menutup lubang not yang tidak mau dibunyikan.

“Le, kamu ini ditanya malah ngalamun.” Ucapan ibu membuyarkan lamunannya. “Sudah mandi sana. Hari ini ibu libur bikin surat ijin sakit. Kamu harus berangkat sekolah.” Ibu beranjak dari samping Tumino yang masih larut dalam lamunannya tentang Bu Siti.

Tumino memutuskan untuk masuk sekolah hari itu. Kamis keramatnya mungkin sudah berlalu, mungkin Bu Siti sudah selesai mengajar materi “tiup meniup” suling itu dan sudah ganti alat musik yang lain. Wajahnya mendadak sumringah dan bergegas mandi. Semangat terbarukan oleh motovasi diri sendirinya berhasil membuatnya mantap membuang Kamis keramatnya. Dengan angkutan umum yang biasa, dia pergi ke sekolah yang bisa ditempuh dalam 20 menit.

Di angkutan bertemu teman – temannya, saling menyapa menambah semangatnya untuk melalui hari Kamis kali ini. Jam demi jam berlalu hingga masuk ke jam terakhir yang sempat membuatnya kapok masuk sekolah di hari Kamis. Bu Siti pun hadir di tengah – tengah mereka dengan senyum mengembang “mencurigakan”. Tanpa basa basi, matanya menemukan sosok Tumino yang hampir sebulan tak dilihatnya. “ Tumino, kamu sudah sehat? Maju ke depan ya, kamu belum ikut ulangan memainkan suling. Yang lain sudah. Sekarang giliranmu.” Ucapan Bu Siti bagai petir di musim kemarau, porak porandalah kebahagiaannya hari itu. Dalam hati kecilnya berdoa, semoga jariku yang kurus ini mampu “menutup lubang” seperti yang Bu Siti mau.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post