Priya Santosa

Priya Santosa, M.PdI ...

Selengkapnya
Navigasi Web
				“ELEGI   PEMBELAAN”

“ELEGI PEMBELAAN”

Terus terang kehadiranku di dunia ini bukanlah aku kehendaki. Kehadrianku di dunia bukan pula orang tuaku yang menghendaki. Tapi Hanya Allah semata yang maha berkehendak. menghadirkan. Aku biasa dipanggil Nova. Aku pengggiat OSIS di sekolah SMA Negeri Terkemuka Di Semarang. Hitam dan gelap dunia sekarang aku rasakan. Begitu sisa kehidupan ini telah menyingkirkan aku dari sekolah yang aku rindui dan citakan sejak masa SMP dulu. Tapi aku yakin ini sudah tertoreh di kalam-Nya. Dunia dan remajaku telah tergaris. Aku terkapar dalam kehidupan labirin yang beku. Aku merasa berjalan dalam awang. Tepat tanggal 6 Februari 2018 Februari 2018 bulan yang lalu aku sudah tidak jadi santri d SMA Negeri itu. Aku dilemparkan dari sekolah. Aku dituduh menampar nampar semua adik kelasku. Aku dilaporkan oleh semua orang tua. Aku dianggap berlebihan. Aku tidak manusiawi dan meninggalkan adab sebagai kesaantunan di negeri ini. Semua menara dan kamera pengintai di sekolah membenarkan catatan itu. Begitulah hari hari ini aku hanya merenung. Aku tersesat dalam persengkokokan. Ya pasrah! Pernah aku dengar dari sepupuku, di negeri ini ada namanya komisi pembela hak hak para pelajar yang bermasalah dengan sekolah. Tapi, Aku tidak membutuhkan pembelaan dari siapapun. Aku masih ingat akan pitutur Pak Kyai saat aku di langgar desa. “Umur dan usia di dunia ini hanya sebentar nduk. Begitu juga kenikmatan di dunia ini hanya sedikit, ibarat jari jari kamu celupkan ke lautan amat luas, lalu jarimu diangkat dan meneteslah air laut, ya sebegitu itu” Ujar Pak Kyaiku. Kalimat itu masih tersimpan di syaraf syaraf olfaktori dan syaraf Audiotoryku. Aku memang aktif dan pintar, kata teman temanku. Sehingga mereka memilihku sebagai mentor buat adik adiknya. Ya, di sekolahku agenda tetap setiap tahun ada namaya LKS. Latihan Kepimpinan Siswa. Aku pun dulu juga begitu ketika akan masuk jadi anggota OSIS. Aku pun sangat takjub dengan kegiatan ini. Bayangkan selama dua minggu berturut turut di ajari kakak kakak senior berbagai ilmu. Ya, ilmu adalah fitrah. Manusia yang normal pasti menginginkan ilmu. Tapi saat aku menjadi mentor aku ringkas materi LKS itu hanya cukup 5 hari. Berbagai kegiatan materi secara marathon dan kelelahan pun dialami setiap peserta, termasuk diriku.Aku terbaring lemah selesai kegiatan itu. Hingga besok harinya aku terbangun. Ada sepucuk surat dari Pak Pos dikirimkan ke rumah. Surat itu menyebutkan namaku, Aku harus meninggalkan sekolah, madarasahku. Aku dipecat sebagai santri di sekolah negeri itu. Sekolah yang kurindui dan kucintai sejak aku masih di duduk bangku SMP dulu. Aku linglung. Surat dari Pak Pos itu menjadi Nuklir Armagadon yang membelah hati dan mengiris ngiris jantungku. Tapi aku tetap senyum dan sangat bahagia dengan keputusan madarasahku. Surat itu kuterima dengan senyum yang melankolis. Aku masih remaja dan perlu belajar berburu dari pengalaman. Aku ingin mengisi hati ini dengan lautan kesabaran. Aku ingin zuhud dengan dunia ini. Aku ingin jadi orang yang cerdas, orang yang bisa menundukkan diriku sendiri, barangkali ini nasehat Pak Kyaiku yang perlu diujikan. Pelangi pelangi dan gedung magenta, istana dan rumah dan sekolah sebentuk samudra laut dalam tetes air dalam jari jari yang dicelupkan di laut dan menetes netes. Aku pernah baca sebuah prosa, ada motto yang bagus, Homo homini lupus, manusia makan serigala. Wahh! Ngeri juga! Hal itu benar. Mungkin ini bisa dikenakan pada kondisiku saat ini. Betapa hebatnya manusia yang berkuasa dalam jabatan. Aku terbalut luka tapi aku bahagia. Aku baru ingat siang itu. Aku sedang direkam oleh kakak senior dalam pemberian materi. Sekelumit rekaman di telepon genggam itulah awal aku dituduh melanggar adab sekolah. Aku difilmkan sedang menampar menampar dengan semua adik kelas. Aku dikata- katahi tidak manusiawi dan kejam, dan tidak perasaan. Sungguh tuduhan itu aku terima dengan helalaian napas panjang, itulah awal kehancuran mimpi mimpi fase remajaku yang kandas. Tapi aku tetap senyum. Sore hari itu aku hanya melamun dan merenung di dekat jendela kamarku. Sebuah lembaran kertas yang kulaminating dengan pita pink bersimpul yang cantik. Di dalam lembaran kertas itu ada tertulis beberapa paragraph prosa. Kertas berlaminating itu selalu kugantung di dekat meja belajarku. Lembaran kertas prosa selalu kupandangi dan kucermati acapkali mau tidur. Sebuah prosa karya dari sastrawan mashur Taufik Ismail yang men deru deru dalam setiap aktivitasku. Prosa itu sangat bagus dan indah sekali sehingga selalu kutuliskan berulang kali dalam buku harian.

KETIKA BURUNG MERPATI SORE MELAYANG

Langit akhlak telah roboh di atas negeri Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri Karena hukum tak tegak, semua jadi begini Negeriku sesak dengan adegan tipu menipu Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku Berkerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku Bergerak ke atas , di kaki pemeras tergilas aku

Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan Gempa bumi, bankjir, tanah longsor, dan orang kelapara Kemarau paanjang, kebakaran hutan berbulan bulan Jutaam hektar jadi jerebu abu abu berkepulan Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan

Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan Penyakit Nyamuk membunuh bagai ejekan Berjuta belalang menyerang lahan pertanian Bumiku demam berat, menggigillkan air lautan Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti Gemuruh langkah, simaklah , diseluruh negeri negeri Beribu banagunan roboh,dijarah dalam huru hara ini

Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri Kukenangkan tahun’47 aku jalan Ambarawa dan Salatiga Balik kujalani Clash I Yogja, Clas II di Bukitinggi Kuingat ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri Suluruh korban empat tahun revolusi Dengan Mei ’98 jauh beda, jauh kalah ngeri Aku termangu mengenang ini Bumiki sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri

Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan Di Aorta jantungku, musibah bersimbah darah Di cabang tangkai paru paruku, kutuk mencekik nafasku Tapi apakah sah sudah, ini MurkaMu? Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang

(1998, Taufiq Ismail,)

Betapa bagusnya diksi prosa itu. Aku merenung sesore ini. Aku ingin jadi syuhada dan mati di negeri metamorphosis absurd ini. Pikiran remaja yang lemah dan makin kusut. Malam terasa panjang. Aku berstatus sebagai pelajar lemah. Rasanya pembelaan diriku sendiri yang aku ingin hadirkan. Malam jelang tahajud usia remajaku. Nafas tawakalku berlalu hangat. Malam terasa panjang ini ada burung merpati melayang, Malam tak begitu berarti. Begitu mungkin hanya ingin bertemu dengan wajah-Mu pagi, Wajah yang merobohkan hegemoni wajah wajah dusta serta keangkuhan negeri metamorosis ini. Wallu alam.

(aku dedikasikan tulisan ini pada Ananda Anindya Puspita Helga Nur Fadhil, Siswa Negeri 1 Semarang yang dipecat sekolahya).

Madiun Maret 2018

Penulis Alumni Sekolah SAGUSABU

Kelas Ngawi, P4TKIPA Cimahi

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisan indah sekali, Pak! Isinya, sekejam itukah?

29 Mar
Balas

Fantasi fiktif b mimin. Belajar menulis. Trims motivasinya.

29 Mar



search

New Post