Priya Santosa

Priya Santosa, M.PdI ...

Selengkapnya
Navigasi Web

"HANDPHONE"

Handhone dengan merk Advan belakangan ini me­nyeng­sarakanku. Istri­ku men­jadi perem­­pu­an yang ba­wel. Ini karena ulah Handphone ini. Pa­da­hal ba­­rang itu kami beli untuk me­­­nambah kebahagiaan istri­­ku dan aku. Tinggi atau panjamg hanphone sepuluh sentimeter seruas telapak tangan­ku. Bila malam alarmnya berbunyi di tempat tidur, ma­ka ter­de­ngar­lah sebuah music . Musik ini me­­­ngisi kalbu is­­tri­ku dan kal­bu­ku sen­diri.

Walaupun akhirnya me­­­­­­­­­­nge­­­sal­kan, tetap saja aku men­­­­coba me­metik ke­nang­­an lama yang in­dah se­­te­­­lah handphone ini dimiliki istriku dan hadir di te­ngah ru­mah kami. Kami dulu mem­­­­­­­­­per­tim­bang­kan­nya cukup la­ma un­tuk memu­tus­kan di ma­na ha­rus dile­tak­­kan handphone yang cantik dan mungil ini. Jika di­taruh di ru­ang ta­­mu, ke­­­lak ta­muku akan bertanya harga dan akan menggangu pembicaraan, se­­bab ke­ha­dir­­­­an­nya akan mengalihkan perhatiannya oleh handphone. Se­­­dangkan kami ber­­­dua mem­bu­tuh­kan ta­mu.

“Sebentar lagi kita akan me­raya­kan ulang tahun perkawinan kita yang kedua puluh lima, ya Mas?” ujar istriku suatu sore. Sore itu, aku dan Isti sedang du­duk-du­duk berdua sembari minum teh dan ma­­kan jeruk. “Hari itu ulang tahun per­ka­winan kita.”

“Kamu tentu ingat tanggalnya, Ina,” kataku.

“Betul, Mas. Kita menikah pada 31 Desember dua puluh tahun yang lalu.”

“Kalau begitu tinggal 4 hari lagi.”

“Ingat enggak, siapa yang da­tang pada hari pernikahan kita itu?”

“Mantan pacarmu,” kataku.

“Juga mantan pacarmu,” kata­nya.

Kami ketawa bersama. Kami su­ka mengulangi lelucon yang sa­ma itu setiap ada bekas teman se­ke­­­­las hadir. Tentu lelucon ini me­nam­­bah semarak su­­­a­­mi-istri. Orang yang kurang rasa humor mung­kin heran. Mereka harus diberitahu, bah­wa mantan pacar istriku adalah aku, dan mantan pacarku adalah istriku Isti.

Ku­ingat sekali, hanya untuk per­kawinan keduapuluh itu saja kami berdua sangat sibuk.

Kami telah pergi ke Pasar Gede untuk mencari sebu­ah ba­rang yang bisa dibuat komunikasi antara aku dan istriku di rumah dan punya kesan istimewa. Setelah dua tiga toko ka­mi masuki, tak ada satu pun benda yang berkenan di hati kami berdua. Ketika ka­mi lewati bebe­rapa toko, se­cara menda­dak dan se­­­­rentak lang­kah kami ber­henti. Ter­­lihat banner cantik yangterpajang di depan toko. Aku dan istriku saling me­natap.

“Kita menemukan pilihan handphone can­tik,” ujar istriku.

“Ini benar-benar istimewa,” ka­ta­ku.

“Tanyakan harganya, Mas,” kata istriku. Makin larut perkawi­nan kami, makin sering aku disuruh istriku dengan nada setengah me­me­­­rintah. Apa suami-suami yang lain di dunia ini juga seperti itu, aku tak tahu dan tak perlu tahu.

Istriku melotot setelah aku sebut­­kan harga yang diberitahu­kan pemilik toko handphone itu.

“Merknya Advann,” ujar sang pemilik toko. "Merk ini nomor satu. Di toko saya cuma tinggal satu ini.”

“Ya kurangilah separoh­nya,” ujar istriku.

Kebiasaan istriku adalah sama de­ngan kebiasaan ba­nyak perem­pu­an di jagat ini: me­nawar terlalu ren­dah dan berlama-lama untuk je­nis satu barang. Kadang su­dah per­gi kembali lagi ke toko seba­gai­ma­na terjadi pada hari itu.

“Coba Nyonya cari di se­lu­ruh Pasar Gede ini. Cuma saya yang jual merk Advan ini, dan ini juga satu-satunya.”

Istriku telah dikunci tanpa al­ter­natif. Lalu, ketika uang di­hitung, ku­­­­rang sedikit. Se­ba­­­­­gai­­mana biasa, aku meng­ge­nap­i kekurangan itu. Ke­tika se­tiba di rumah, istriku bi­lang, “Sebenar­nya aku menguji apa­­kah kau masih kikir. Maka ku­ting­­­galkan bebera­pa lembar di tas­ku agar kamu ikut mem­ba­y­ar juga, Mas.”

Memang begitu. Dari masa ber­pa­­­caran dulu, kami meng­anut aliran navy-navy. Kami me­niru para pe­laut yang suka ba­yar ma­sing-ma­sing bila ma­kan di restoran. Ke­bi­a­sa­an ini bukan selalu buruk. Kami jus­­­­­­tru menciptakan hu­mor baru ke­ti­ka ha­rus ber-navy-na­vy.

Handphone Advan te­­lah kami taruh di ru­ang tengah keluarga. Dia se­­­la­ma tiga ha­ri ka­mi tunggu siapa yang pertama kali memanggil . Saat itu ada­lah pu­kul 00.00 pada ha­ri 31 Desember esoknya perganatian tahun.

Ketika alarmnya berbunyi me­­­nya­nyikan irama music in­­dah itu, aku me­­rperak jari tangan istri­­ku. Ketika lon­­­ceng­­nya berbunyi 1 kali, rperak­an­ku lebih ku­at lagi. Dan ketika ge­­­­­ma 12 kali masih menden­gung, aku dan istriku berpe­luk­an.

Handphone Advan itu memberikan zat rohaniah pada diri kami. Ke­be­tul­an kami berdua menyukai musik kla­sik. Tapi irama lagu handphone ini melebihi seluruh musik klasik ke­sukaan kami.

Berbulan-bulan kami menik­ma­t­i duduk berdua menunggu alarm handphone itu bernyanyi setiap malam hari. Ketika pada pertengahan malam , dia berbunyi singkat satu bait saja. Ke­tika malam benar benar luruh menjelang pagi , dia me­nya­nyikan dua bait. Ketika tiba fajar awal pagi , tiga bait, dan pada waktu subuh menjelang , empat bait kom­plit.

“Kita tak pernah merasa tua oleh alarm handphone ini ya, Mas?” kata is­­­triku.

“Ya. Padahal handphone ini su­dah 2 tahun di rumah kita,” kataku.

“Mungkin kamu betah di rumah karena alarm Handphone ini,” kata istriku lagi.

“Tapi aku betah di rumah bukan karena alarm handphone ini. Aku betah di rumah ka­re­na sudah menjelang mperakuki pen­siun, dan terutama karena ada­nya kamu.”

“Sudah gaek masih gom­bal,” kata istriku.

Per­nah juga istriku ber­ta­nya, “Ke­na­pa kamu tidak kawin lagi saja, Mas?”

Makin tua dia masih pen­cem­­bu­ru seperti dulu. Te­ta­pi perta­nya­an itu agak aneh di telingaku.

“Aku tahu, ketika aku ha­rus ber­­­henti sewaktu kita menikah su­dah pasti ada se­orang gadis yang se­nang,” ka­tanya.

”Si Diah,“ sam­bung­nya.

Peraturan kantor me­mang, Tidak membolehkan poligami. Jika melanggar peraturan tersebut akan dengan diberhentikan dengan Jadi Isti pilihan satu satunya. Ia hanya bekerja di rumah untuk keluarga.

Orang yang sama sekelas di SMA, sama pula di per­gu­ruan ting­gi, dan sama pula selesainya, akan sa­­ma nasibnya jika melamar di kan­tor yang sama di bidang yang sa­ma pula: jika menikah, yang pe­rem­pu­­an harus mengalah menjadi pe­nung­gu rumah.

“Kalau aku bicara soal si Diah , kamu suka mem­bisu. Pa­da­hal dia amat mencintaimu, Mas.”

Aku memilih diam. Akhirnya aku bertengkar juga karena dia lagi-lagi menyebut nama Diah.

“Kalau kamu kawin sama Diah, mungkin kamu sudah pu­nya banyak anak dan cucu. Perkawinan kita 23 ta­hun dikarunia dua anak,” ucap­nya. Dan inilah yang bi­kin aku ma­rah dan kami berteng­kar.

Ke­tika pertengkaran malam itu terjadi, alarm handphone menyanyikan lagu itu. Se­­belum empat bait lagu itu ber­ge­tar, aku dan Isti sudah ber­peluk­an.

“Kita tak perlu bertengkar lagi. Yang ada di sini adalah aku, kamu dan handphone dengan alarmnya itu.”

Tetapi, ajaib sekali. Biasanya kalau handphone itu mati, aku bisa mem­per­­­baikinya. Yaitu menaikkan baterenya dilepas dan direndam air hangat, lalu menyetel untuk menyesuai­kan waktu. Kali ini alarmnya ­ tidak cocok lagi dengan wak­tu. Dia tidak berbunyi 12 kali pada waktu pukul 12.

“Kau bilang dulu kamu me­ngu­a­­sai ilmu listrik. Tapi kenapa be­tulin handphone saja sudah salah. Bah­kan ngawur. Pukul 12 bunyinya 6 kali.”

“Sudahlah. Jangan jadi nenek sihir lagi, Dik,” kataku.

“Itu logis saja, Mas. Aku kan ti­dak bilang kamu tolol.”

“Sudah, diam kamu. Kamu ma­kin tua makin cerewet.”

“Kamu makin tua makin tolol.”

“Aku mau keluar.”

“Mau cari Diah?”

“Bawel kamu.”

Aku mencari ahli handphone. Menurut pemilik toko di Pasar Gede Depan jatim sel itu, ada orang Tukang sevice, nama­nya Ali Maksum, ahli pem­be­tu­lan handphone dan berbagai handphone model kuno sampai yang modern. Ke­tika aku tiba di rumah Arab itu, orang di ru­mah itu mengatakan, bahwa “Ali Maksum” sudah wa­fat. Kalau mau beli buah kur­ma, kacag arab, dan kismis, ada diju­al di sini.

“Aku tak bertemu de­ngan orang Arab itu,” ka­ta­ku pada Istriku.

“Oh si Diah itu turunan Arab ya?”

“Coba tenang, Dik. Kita ju­al saja handphone Advan ini. Ki­ta beli yang baru,” ka­taku.

Dia marah. Bah­­kan men­cak-men­cak. Dia ka­ta­kan, "Handphone ini pe­nuh ke­nang­an. Ber­­tahun-tahun dia membuat kita berdua menik­mati alarm dengan musik indahnya. Jangan, Mas, kita tak boleh merusak ke­nang­an yang dibe­rikannya.”

Aku mengalah. Tapi itu tidak ber­­arti aku tak 'kan bertengkar lagi de­­­ngan Ina. Dan aku gigih terus mem­­perbaikinya. Dan istriku terus pula menertawakan kegagalanku wa­lau tanpa perkataan “tolol”.

Dua tahun menjelang ulang ta­hun perkawinan perak kami, aku te­rus berusaha agar handphone Advan itu bisa menyanyi lagi, dan bunyi­nya ha­rus tepat 12 kali pada pukul 00.00 te­ngah malam 31 Desember. Di­mulai dengan cekcok mulut lagi, aku pergi ke Nglames. Seorang tu­kang servis handphone kubawa ke rumahku. Istriku senyum mence­mo­oh­inya.

“Tenang dulu, Dik. Dia ini ahli handphone generasi pe­ne­rus ayah­nya. Bah­­­­kan dia mengenal Ali Maksum ,” kataku ketika mem­­­­­perkenalkan tukang servis itu ke­pa­da Ina.

Istriku mendehem. Anak muda itu bekerja keras. Keringat mem­basahi bajunya, sekaligus me­nye­barkan bau ketiaknya di ruang te­ngah kami yang nyaman. Akhirnya dia berkata putus asa: “Maaf, handphone ini berbunyi 18 kali."

“Cukup, Nak. Memang dia gila,” kata istriku.

Yang mulai menjadi korban handphone Advan adalah Ina. Dia mulai ber­­­­langganan dokter spesialis pe­nyakit dalam. Ia menderita tekanan da­rah tinggi. Suatu malam dia men­jerit karena satu mimpi buruk. Ka­ta­nya, handphone gila itu berbunyi 120 kali.

“Sabar, Ina. Kita jangan panik. Manusia tidak boleh ditak­lukkan oleh benda yang bermerk Advan. Aku akan coba perbaiki sen­di­ri. Manusia harus mengalahkan ben­da mati ini,” kataku yakin.

Istriku menyebut lagi perkataan “tolol” itu. Ini menambah sema­ngat­­­ku, sampai aku berhasil! Aku me­­rayakan pesta perak 25 tahun per­­kawinan kami. Tengah malam pu­­kul 00.00 handphone itu bernyanyi em­pat bait komplit, lalu mende­n­ting­kan Alarmnya 12 kali. Sa­yang, saat itu istriku tidak men­dengar­nya, dan tak 'kan pernah men­de­ngar­nya.

Ya, kurayakan pesta perak per­kawinan itu seorang diri, diir­ingi kemerduan lonceng handphone Advan yang amat sangat indah.***

Madiun, Maret 2018

Tengah Malam

Penulis Alumni Sekolah Penulis SAGUSABU Kelas Ngawi dan P4TKIPA

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisan yang menarik. Pas

19 Mar
Balas

Trims b Sri latihan bikin tulisan yg mood

20 Mar

Pa Priya, jempol buanyak banget. Ini nyata apa fiksi Pa, jadi terharu baca endingnya

20 Mar
Balas

Fiksi dan real he he he

21 Mar



search

New Post