"HANDPHONE"
Handhone dengan merk Advan belakangan ini menyengsarakanku. Istriku menjadi perempuan yang bawel. Ini karena ulah Handphone ini. Padahal barang itu kami beli untuk menambah kebahagiaan istriku dan aku. Tinggi atau panjamg hanphone sepuluh sentimeter seruas telapak tanganku. Bila malam alarmnya berbunyi di tempat tidur, maka terdengarlah sebuah music . Musik ini mengisi kalbu istriku dan kalbuku sendiri.
Walaupun akhirnya mengesalkan, tetap saja aku mencoba memetik kenangan lama yang indah setelah handphone ini dimiliki istriku dan hadir di tengah rumah kami. Kami dulu mempertimbangkannya cukup lama untuk memutuskan di mana harus diletakkan handphone yang cantik dan mungil ini. Jika ditaruh di ruang tamu, kelak tamuku akan bertanya harga dan akan menggangu pembicaraan, sebab kehadirannya akan mengalihkan perhatiannya oleh handphone. Sedangkan kami berdua membutuhkan tamu.
“Sebentar lagi kita akan merayakan ulang tahun perkawinan kita yang kedua puluh lima, ya Mas?” ujar istriku suatu sore. Sore itu, aku dan Isti sedang duduk-duduk berdua sembari minum teh dan makan jeruk. “Hari itu ulang tahun perkawinan kita.”
“Kamu tentu ingat tanggalnya, Ina,” kataku.
“Betul, Mas. Kita menikah pada 31 Desember dua puluh tahun yang lalu.”
“Kalau begitu tinggal 4 hari lagi.”
“Ingat enggak, siapa yang datang pada hari pernikahan kita itu?”
“Mantan pacarmu,” kataku.
“Juga mantan pacarmu,” katanya.
Kami ketawa bersama. Kami suka mengulangi lelucon yang sama itu setiap ada bekas teman sekelas hadir. Tentu lelucon ini menambah semarak suami-istri. Orang yang kurang rasa humor mungkin heran. Mereka harus diberitahu, bahwa mantan pacar istriku adalah aku, dan mantan pacarku adalah istriku Isti.
Kuingat sekali, hanya untuk perkawinan keduapuluh itu saja kami berdua sangat sibuk.
Kami telah pergi ke Pasar Gede untuk mencari sebuah barang yang bisa dibuat komunikasi antara aku dan istriku di rumah dan punya kesan istimewa. Setelah dua tiga toko kami masuki, tak ada satu pun benda yang berkenan di hati kami berdua. Ketika kami lewati beberapa toko, secara mendadak dan serentak langkah kami berhenti. Terlihat banner cantik yangterpajang di depan toko. Aku dan istriku saling menatap.
“Kita menemukan pilihan handphone cantik,” ujar istriku.
“Ini benar-benar istimewa,” kataku.
“Tanyakan harganya, Mas,” kata istriku. Makin larut perkawinan kami, makin sering aku disuruh istriku dengan nada setengah memerintah. Apa suami-suami yang lain di dunia ini juga seperti itu, aku tak tahu dan tak perlu tahu.
Istriku melotot setelah aku sebutkan harga yang diberitahukan pemilik toko handphone itu.
“Merknya Advann,” ujar sang pemilik toko. "Merk ini nomor satu. Di toko saya cuma tinggal satu ini.”
“Ya kurangilah separohnya,” ujar istriku.
Kebiasaan istriku adalah sama dengan kebiasaan banyak perempuan di jagat ini: menawar terlalu rendah dan berlama-lama untuk jenis satu barang. Kadang sudah pergi kembali lagi ke toko sebagaimana terjadi pada hari itu.
“Coba Nyonya cari di seluruh Pasar Gede ini. Cuma saya yang jual merk Advan ini, dan ini juga satu-satunya.”
Istriku telah dikunci tanpa alternatif. Lalu, ketika uang dihitung, kurang sedikit. Sebagaimana biasa, aku menggenapi kekurangan itu. Ketika setiba di rumah, istriku bilang, “Sebenarnya aku menguji apakah kau masih kikir. Maka kutinggalkan beberapa lembar di tasku agar kamu ikut membayar juga, Mas.”
Memang begitu. Dari masa berpacaran dulu, kami menganut aliran navy-navy. Kami meniru para pelaut yang suka bayar masing-masing bila makan di restoran. Kebiasaan ini bukan selalu buruk. Kami justru menciptakan humor baru ketika harus ber-navy-navy.
Handphone Advan telah kami taruh di ruang tengah keluarga. Dia selama tiga hari kami tunggu siapa yang pertama kali memanggil . Saat itu adalah pukul 00.00 pada hari 31 Desember esoknya perganatian tahun.
Ketika alarmnya berbunyi menyanyikan irama music indah itu, aku merperak jari tangan istriku. Ketika loncengnya berbunyi 1 kali, rperakanku lebih kuat lagi. Dan ketika gema 12 kali masih mendengung, aku dan istriku berpelukan.
Handphone Advan itu memberikan zat rohaniah pada diri kami. Kebetulan kami berdua menyukai musik klasik. Tapi irama lagu handphone ini melebihi seluruh musik klasik kesukaan kami.
Berbulan-bulan kami menikmati duduk berdua menunggu alarm handphone itu bernyanyi setiap malam hari. Ketika pada pertengahan malam , dia berbunyi singkat satu bait saja. Ketika malam benar benar luruh menjelang pagi , dia menyanyikan dua bait. Ketika tiba fajar awal pagi , tiga bait, dan pada waktu subuh menjelang , empat bait komplit.
“Kita tak pernah merasa tua oleh alarm handphone ini ya, Mas?” kata istriku.
“Ya. Padahal handphone ini sudah 2 tahun di rumah kita,” kataku.
“Mungkin kamu betah di rumah karena alarm Handphone ini,” kata istriku lagi.
“Tapi aku betah di rumah bukan karena alarm handphone ini. Aku betah di rumah karena sudah menjelang mperakuki pensiun, dan terutama karena adanya kamu.”
“Sudah gaek masih gombal,” kata istriku.
Pernah juga istriku bertanya, “Kenapa kamu tidak kawin lagi saja, Mas?”
Makin tua dia masih pencemburu seperti dulu. Tetapi pertanyaan itu agak aneh di telingaku.
“Aku tahu, ketika aku harus berhenti sewaktu kita menikah sudah pasti ada seorang gadis yang senang,” katanya.
”Si Diah,“ sambungnya.
Peraturan kantor memang, Tidak membolehkan poligami. Jika melanggar peraturan tersebut akan dengan diberhentikan dengan Jadi Isti pilihan satu satunya. Ia hanya bekerja di rumah untuk keluarga.
Orang yang sama sekelas di SMA, sama pula di perguruan tinggi, dan sama pula selesainya, akan sama nasibnya jika melamar di kantor yang sama di bidang yang sama pula: jika menikah, yang perempuan harus mengalah menjadi penunggu rumah.
“Kalau aku bicara soal si Diah , kamu suka membisu. Padahal dia amat mencintaimu, Mas.”
Aku memilih diam. Akhirnya aku bertengkar juga karena dia lagi-lagi menyebut nama Diah.
“Kalau kamu kawin sama Diah, mungkin kamu sudah punya banyak anak dan cucu. Perkawinan kita 23 tahun dikarunia dua anak,” ucapnya. Dan inilah yang bikin aku marah dan kami bertengkar.
Ketika pertengkaran malam itu terjadi, alarm handphone menyanyikan lagu itu. Sebelum empat bait lagu itu bergetar, aku dan Isti sudah berpelukan.
“Kita tak perlu bertengkar lagi. Yang ada di sini adalah aku, kamu dan handphone dengan alarmnya itu.”
Tetapi, ajaib sekali. Biasanya kalau handphone itu mati, aku bisa memperbaikinya. Yaitu menaikkan baterenya dilepas dan direndam air hangat, lalu menyetel untuk menyesuaikan waktu. Kali ini alarmnya tidak cocok lagi dengan waktu. Dia tidak berbunyi 12 kali pada waktu pukul 12.
“Kau bilang dulu kamu menguasai ilmu listrik. Tapi kenapa betulin handphone saja sudah salah. Bahkan ngawur. Pukul 12 bunyinya 6 kali.”
“Sudahlah. Jangan jadi nenek sihir lagi, Dik,” kataku.
“Itu logis saja, Mas. Aku kan tidak bilang kamu tolol.”
“Sudah, diam kamu. Kamu makin tua makin cerewet.”
“Kamu makin tua makin tolol.”
“Aku mau keluar.”
“Mau cari Diah?”
“Bawel kamu.”
Aku mencari ahli handphone. Menurut pemilik toko di Pasar Gede Depan jatim sel itu, ada orang Tukang sevice, namanya Ali Maksum, ahli pembetulan handphone dan berbagai handphone model kuno sampai yang modern. Ketika aku tiba di rumah Arab itu, orang di rumah itu mengatakan, bahwa “Ali Maksum” sudah wafat. Kalau mau beli buah kurma, kacag arab, dan kismis, ada dijual di sini.
“Aku tak bertemu dengan orang Arab itu,” kataku pada Istriku.
“Oh si Diah itu turunan Arab ya?”
“Coba tenang, Dik. Kita jual saja handphone Advan ini. Kita beli yang baru,” kataku.
Dia marah. Bahkan mencak-mencak. Dia katakan, "Handphone ini penuh kenangan. Bertahun-tahun dia membuat kita berdua menikmati alarm dengan musik indahnya. Jangan, Mas, kita tak boleh merusak kenangan yang diberikannya.”
Aku mengalah. Tapi itu tidak berarti aku tak 'kan bertengkar lagi dengan Ina. Dan aku gigih terus memperbaikinya. Dan istriku terus pula menertawakan kegagalanku walau tanpa perkataan “tolol”.
Dua tahun menjelang ulang tahun perkawinan perak kami, aku terus berusaha agar handphone Advan itu bisa menyanyi lagi, dan bunyinya harus tepat 12 kali pada pukul 00.00 tengah malam 31 Desember. Dimulai dengan cekcok mulut lagi, aku pergi ke Nglames. Seorang tukang servis handphone kubawa ke rumahku. Istriku senyum mencemoohinya.
“Tenang dulu, Dik. Dia ini ahli handphone generasi penerus ayahnya. Bahkan dia mengenal Ali Maksum ,” kataku ketika memperkenalkan tukang servis itu kepada Ina.
Istriku mendehem. Anak muda itu bekerja keras. Keringat membasahi bajunya, sekaligus menyebarkan bau ketiaknya di ruang tengah kami yang nyaman. Akhirnya dia berkata putus asa: “Maaf, handphone ini berbunyi 18 kali."
“Cukup, Nak. Memang dia gila,” kata istriku.
Yang mulai menjadi korban handphone Advan adalah Ina. Dia mulai berlangganan dokter spesialis penyakit dalam. Ia menderita tekanan darah tinggi. Suatu malam dia menjerit karena satu mimpi buruk. Katanya, handphone gila itu berbunyi 120 kali.
“Sabar, Ina. Kita jangan panik. Manusia tidak boleh ditaklukkan oleh benda yang bermerk Advan. Aku akan coba perbaiki sendiri. Manusia harus mengalahkan benda mati ini,” kataku yakin.
Istriku menyebut lagi perkataan “tolol” itu. Ini menambah semangatku, sampai aku berhasil! Aku merayakan pesta perak 25 tahun perkawinan kami. Tengah malam pukul 00.00 handphone itu bernyanyi empat bait komplit, lalu mendentingkan Alarmnya 12 kali. Sayang, saat itu istriku tidak mendengarnya, dan tak 'kan pernah mendengarnya.
Ya, kurayakan pesta perak perkawinan itu seorang diri, diiringi kemerduan lonceng handphone Advan yang amat sangat indah.***
Madiun, Maret 2018
Tengah Malam
Penulis Alumni Sekolah Penulis SAGUSABU Kelas Ngawi dan P4TKIPA
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Tulisan yang menarik. Pas
Trims b Sri latihan bikin tulisan yg mood
Pa Priya, jempol buanyak banget. Ini nyata apa fiksi Pa, jadi terharu baca endingnya
Fiksi dan real he he he