Priya Santosa

Priya Santosa, M.PdI ...

Selengkapnya
Navigasi Web
REST IN PEACE: ULAT ULAT JATI

REST IN PEACE: ULAT ULAT JATI

Malam yang tenang ini memaksaku bangun terjaga dari kantukku di depan mesin CPU. Tiba-tiba saja ada tiga ekor ulat jati bergelantungan didepan mesin CPU. Kelihatannya dari atap rumah mereka turun. Aku perhatikan dengan seksama. Umumnya ulat-ulat yang bergelantungan ini berukuran 4- 5 cm. Aku pun takjub dengan fenotip serta keberadaan organism unik ini. Ya ulat ulat jati hari ini secara bergelombang menebar di segenap penjuru desa. Tepatnya semenjak dua hari ini rumahkau menjadi etalase penampakan hewan hewan unik ini. Mereka bergerombol di teras-rumah, di pagar rumah ataupun di lantai lantai dasar tegalan depan rumah. Secara kebetulan tegalan depan rumah ini dipenuhi tegakkan pohon jati dengan luas kurang lebihnya 1 hektar. Dan rata-rata tegakkan pohon jati yang beberapa hari ini terguyur hujan memunculkan daun daun mudahnya. Hal ini menarik keriuhan ulat-ulat jati untuk mendatanginya. Suasana depan rumah yang tadinya kering dan meranggas diterpa kemarau panjang, kini menghijau. Maka aku begitu suka dan berfantasi. Layaknya lembaran lembaran plasma nutfah dengan tanaman dan tunas serta pucuk yang masih kecil dan rapi. Aku begitu sejuk dan tentram melihat panorama depan rumah saat ini. Tapi suasana ini hanya sekejab. Setelah kemunculan para ulat yang memborbardir daun daun tanaman jati , pagi –siang- malam. Nampak tegakkan pohon jati menjadi merana lagi. Tapi aku sedikit nervous melihat kedatangan para ulat ini?entahlah dengan memperhatikan dengan seksama serta melihat organisma yang lemah lembut sepintas menjijikan. Ulat ulat jati dengan kepiawiannya mulai bergelentungan dari etalase kanopi pucuk tanaman. Dari kanopi kanopi yamng tinggi lalu tiba tiba melorot turun kebawah. Ternyata mereka memiliki kelenjar liur yang dapat mendukung mobilitas gerakan turun ataupun naik pucuk pohon yang berpuluh puluh meter tingginya. Hal yang kutangkap dari fenomena ini sebuah tarbiyah yang satir. Secara paradox hewan hewan lemah ini diibaratkan mesin pemotong daun yang sangat efektif. Begerak makan dari mulai terbenam matahari hingga larut malam menjelang terbit pagi. Akupun terkesima. Sebatang pohon jati dengan ketinggian 12-15 meter mereka ratakan semua daunnya dalam sekejab saja. Begitu mentari terbit, seluruh populasi ulat-ulat tanpa aba aba komando akan bergegas turun menutup permadani ke tanah! Pada saat itu keseluruhan populasi ulat dalam keadaan kenyang!!! Begitu indah perilaku ini. Memakan dalam dimensi psikologi secukupnya. Jika input tatanan kebutuhan ada pengendalian semua berjalan dengan ritmik keindahan dan kesadaran diri yang agung. Apa makna dari symbol ini? Dalam dunia pewayangan digambarkan “jejeran”. Jejeran itu pondasi kehidupan pewayangan secara riel di mayapada. Ketika sang sutradara (Ki dalang) memainkan barisan “Jejeran” yang berada di bagian tangan kirinya, maka pada saat itulah hati nurani dan akal sehat “sang sutrada” mengarah “energi negative”. Tatanan energi negative liar yang dimiliki oleh manusia, akan merobohkan segenap pondasi dan sendi sendi kehidupan. Energy negative sebagai lorong waktu yang menjelma menjadi seorang bertubuh raksasa ataupun seorang resi jahat ataupun tokoh watak dewa yang bersembunyi pada “titah” kemanusiaan. Akan tetapi, jika “sang sutradara” memainkan kelompok “jejeran” barisan di sebelah tangan, “jejeran di sebelah kanan dari “sang sutadara” ini mereplikan kehidupan baik dan bermanfaat bagi “titah” kemanusiaan lainnya. Replikasi watak dan perilaku “jejeran” kanan menimbulkan soko guru winasis yang berbudi luhur. Kemunuculan para tokoh “Pandawa” maupun sang peretas mimpi impi “Ratu” mulai dari Ki lurah Semar beserta para ponokawan dan santrinya merupakan janji suci “roh kebaikan” yang turun “ngejawantah “di pelataran bumi. Jejeran kanan, melambangkan janji suci dan adi luhur yang disampaikan melalui humoris dan jenaka. Ada kegembiraan. Dunia pendidikan hari ini tidak ubahnya sekumpulan populasi ulat ulat jadi yang booming. Hari ini muncul tunjangan tunjangan. Ada TPP , ada kenerja dan ada honor wali kelas, honorr wakasek dan honor kepela sekolah. Guru sebagai profesi yang mulia dalam dunia kerja. Profesi ini tidak bisa serta merta tergantikan mesin mesin digital ataupun robot. Guru membentuk karakter, budi pekerti, perilaku dan toleransi, nilai nilai kebaikan. Para guru pemegang janji suci “titah”manusia. Menyempurnakan “Sangkan Paraning Dumadi”.Akan tetapi, puncak pengabdian guru tidak lain merubah serta menumbuhkan empati sosial, membangun imajinasi serta kreativitas. Mengokohkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Kerja guru guru itu ekivalen mirip gerak dinamika ulat-ullat jati. Guru sosok sebagai suluh pengabdi pesan suci”sang maha Esa” pada seluruh umat penghuni bumi. Metaphor dunia berubah dengan cepat sebagai alibi pengalihan kewajiban pembawa pesan suci. Banyak para guru menyanyikan hymne kesulitan dan mengeluh kan pengabdian tanpa batas, banyak para guru membordir dirinya seolah-olah “pekerja buruh pendidikan” naudzubillahi mindalik. Hal ini teremosikan dan kegalauan tiadanya kapal yang menggangkut mereka ke gerbang ASN! Sungguh ironi! Akankah guru nantinya berputus asa dan meninggalkan tugas mulianya”sebagai pembawa pesan suci’! Sekali lagi fenomena kehidupan ulat jati menjadi daya tarik untuk hal ini. Ulat jati yang memiliki ukuran tubuh seberapa sentimeter. Ulat ini tatkala telah kenyang memakan dedaunan akan segera turun dari kanopi. Mereka menggunakan sulur lidah lidah yang mirip “ala jejaring manuisia laba laba”. Mereka tidak peduli ketika turun ke lantai tanah tanpa melihat fenomena alam. Pagi, siang, malam, gelap, terang, maupun saat hujan. Setelah saampai di permdani tanah lalu tiba tiba dalam hitungan jam mereka merubah dirinya menjadi kepompong. Dan selang beberapa minggu populasi kepompong pun jadi kupu kupu yang menguntungkan kehidupan manusia. Artinya dalam tugas pengabdian tidak seyogyanya bergeser. Sebagai profesi guru ada saat jalan terjal dan menukik. Ini semua perlu waktu panjang untuk menempa karakter. Dipihak lain para stakeholder pendidikan perlunya berbenah terus menerus. Administrasi yang sederhana, percepatan sertifikasi dengan proses sederhana serta tersedianya follow up pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan. . Mengakhiri tulisan ini, sebentuk kontemplasi, sudahkan kita sebagai generasi “mileneal:” belajar fenomena ulat jati ini? Sudahkah bekal ilmu tersampaikan pada siswa? Ketika mendidik sang buah hati, alangkah baiknya menteladani dari mahluk yang lemah ini. Maka analogi pengendalian dan focus pendampingan siswa sebuah kanopi tanaman dengan tajuk dedaunan hijau yang perlu dijaga. Ulat-ulat jati telah mevisualisasikan dan mencabarkan karakter pendidikan yang kokoh. Bahwa kehidupan ini tidak berjalan linear, akan tetapi bersifat polarisasi! Analogi lainnya, pada seluruh manusia yang mau memperhatikan fenomena alam, azas kebersamaan dan visioner ke depan perlu proses melawan kemauan dan pola pikir. Serta niat yang lurus dalam merengkuh mahkota bunga kesuksesan. Tanpa itu semua niat guru sebagai pengemban”Sangkan Paraning Dumadi” akan nonsen. Wallu Alam.@@@

Madiun. 10 Desember 2018

Penulis

Alumnu Santri SAGUSABU Ngawi dan P4TKIPA Cimahi

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post